“Kala norma saling toleransi lemah, demokrasi sukar dipelihara” -Steven & Daniel Ziblatt
Hitler datang setelah kerusuhan tak bisa diredakan. Milisinya gemar melakukan aksi brutal. Mula-mula, Hitler ditangkap kemudian dimasukkan dalam penjara. Tapi popularitasnya mulai menanjak. Dianggap sebagai pemimpin berani yang bisa atasi segalanya. Terutama Jerman yang sedang dipukul oleh krisis. Kharisma Hitler membuat sebagian elit mempercayainya. Mereka membentangkan Hitler kapet merah menuju tahta. Pertaruhan bengis yang berakhir dengan tragedi. Hitler menjadi penguasa keji yang tak ada bandingnya.
Sama halnya dengan Mussolini. Berbaju hitam dengan jas hitam dan topi hitam, Mussolini membawa zaman kegelapan. Tapi Roma malam itu tak menduga sama sekali: pria keji itu datang didahului oleh aksi massa yang dilakukan oleh para pengikutnya: kaum fasis. Propagandanya mengerikan: bersihkan Roma dari komunisme, jauhi sosialisme, dan tegakkan ketertiban serta keadilan. Mussolini seperti dewa yang oleh pendukungnya sudah dianggap setara dengan Tuhan. Saat itu dunia tak menyangka pria berbaju hitam tersebut membawa api neraka.
Kini suasana politik juga mengalami hal yang sama. Pemilu yang mustinya sudah usai memulai babak baru yakni pertarungan kata. Dua pasang kandidat saling menyatakan diri berkuasa dan berhak duduk di tahta. Walau Jakowi yang sebenarnya menang menurut perhitungan suara, tapi Prabowo tak percaya. Pendukungnya dan Prabowo diiringi oleh elite politik yang ikut bersamanya mulai tak percaya dengan KPU bahkan MK yang berhak menerima gugatanya. Keinginan politik mereka kasar dan terang: berkuasa dengan dukungan massa.
Berkuasa itulah tujuan utamanya. Tangga menuju ke sana yang disediakan oleh konstitusi kini dianggap tak berguna. Sialnya, kepercayaan ini menjalar ke mana-mana. Bukan dihidupkan oleh pidato saja tapi media sosial menggemakannya jauh lebih nyaring. Maka terbitlah tragedi yang dipicu oleh ulah para penggemar: ingin memenggal kepala Jokowi hingga menyatakan kematian panitia pemilu sebagai kejahatan kemanusiaan luar biasa. Upaya polisi menangkap dianggap berlebihan bahkan mengancam hak asasi manusia. Di titik ini yang terancam bukan hanya demokrasi, tapi kehidupan berbangsa.
Kita tiba-tiba menjadi rakyat yang tersusun mengikuti arus dukungan: ikut sebagai pendukung Jakowi atau bertahan mendukung Prabowo. Polarisasi ini bukan makin reda tapi menajam hingga ke mana-mana. Bahkan pembangkangan atas konstitusi seperti sebuah amalan yang bisa dilakukan di mana saja. Ada kejadian di dusun Yogyakarta ketika hasil pemilihan dukuh ditolak karena dianggap tak kompeten dan seorang perempuan. Padahal mekanisme sudah dilalui dan seleksi telah dilakukan. Politik bukan pertarungan yang adil dan setara, tapi kehendak untuk menaklukkan lawan atau yang tak disetujui, dengan cara apa saja.
Siasat politik kotor macam begini tumbuh bukan karena partai kehilangan ideologi atau ketamakan segelintir orang saja, tapi itulah cerminan angkuh Orde Baru yang merias wajahnya kembali. Setidaknya upaya itu dilakukan dari kampanye politik yang digemakan berulang kali: bangkitnya komunisme di masa depan, tampilnya harapan akan kekuatan bersenjata yang bisa mengatasi segalanya, dan mengajak rakyat untuk bertarung dengan sesamanya sendiri. Itulah resep yang dulu disuntikkan oleh Orba ketika mau meraih tahta dengan cara yang keji.
Tentu resep Orba itu bisa ditanam mudah karena semua komponen yang pernah bekerja di dalamnya berada dalam lingkaran elite kekuasaan. Para penyamun demokrasi itu mulai menggunakan kekuatan massa untuk mengancam, mengintimidasi, bahkan meluapkan isu yang pada dasarnya banyak bohongnya. Lebih tepatnya, mereka mencoba menanam keresahan untuk menggerakkan kekuatan massa yang dulu pernah berhasil dilakukan. Di sana agama jadi perantara yang manjur tapi juga rawan untuk disalahgunakan. Daya magnet agama tidak hanya membakar lahan yang kering, tapi juga dapat meluapkan energi politik yang lama sudah dikubur. Hasrat untuk mendirikan kedaulatan religius-lah yang belakangan mulai mencuat dan dapat banyak dukungan.
Sayangnya, kekuasaan menegakkan ketertiban terlampau berlebihan. Penangkapan dilakukan terus-menerus sehingga menimbulkan kesan kepanikan atau melanggar batas HAM. Dihujani tuduhan otoriter dan ingin mengembalikan Orba membuat persoalan makin runyam. Pecundang demokrasi bisa jadi tokoh pahlawan, sedangkan penegakan hukum dianggap melakukan upaya untuk memeluk keyakinan otoriter. Terlebih dengan aktifnya penegak hukum dalam memanggil, mengusut, dan menjatuhi hukuman para oposan. Situasi yang bisa jadi benih lahirnya fasisme yang biasanya terbit ketika keadaan dianggap darurat.
Karena, tiba-tiba kita butuh orang kuat. Bisa mengatasi semua tekanan dan dapat menjamin stabilitas. Orang kuat itu bisa muncul dalam mengatasi aksi jalanan atau muncul melalui aksi jalanan. Sebab aksi jalanan sekarang bukan menjadi bagian dari demokrasi, tapi telah jadi penentu kekuatan suara. Berhasil pada Pilkada DKI dan ingin diulang pada peristiwa politik apa saja. Diantaranya sekarang ini Pemilu yang oleh Prabowo beserta timnya dianggap curang. Meski tak banyak bukti bahkan dianggap kurang kuat tuduhan itu, tapi media sosial menyebutkannya berulang-ulang. Hingga sejumlah orang mempercayainya bahkan meyakininya begitu rupa.
Persekutuan apa saja kemudian dibentuk guna menghadang konstitusi. Spontan sikap pemerintah melawan semua upaya itu. Bukan jalan dialog lagi, tapi hukum jadi senjata untuk menghadirkannya. Padahal Prabowo dengan Jokowi bukan orang yang beda ideologi, bukan orang yang tak pernah bertemu, dan bukan orang yang selalu punya pandangan berbeda. Pada jejak masa lalu keduanya pernah bersama dan dikelilingi oleh orang yang hampir serupa: alumni Orde Baru, para reformis, dan ketua partai yang pikiranya pragmatis. Tali ikatannya lebih mudah dicari ketimbang mengusut secara hukum para pendukungnya yang sebagian sikapnya dipicu oleh sikap elitenya.
Upaya hukum yang keras malah bisa membawa akibat permanen: krisis kepercayaan. Meyakini kalau penegakan hukum ini hanya akal-akalan untuk bungkam oposisi atau mempercayai kalau hukum ini digunakan untuk kepentingan penguasa. Suara itu mustahil mampu diatasi dengan menangkapi semua orang yang punya pandangan berbeda. Kebijakan yang malah bisa bawa celaka. Kian orang percaya memang penguasa mengalami krisis legitimasi sehingga dukungan hanya bisa diberikan jika menghukumi siapa saja yang menolaknya. Dan penolakan itu akan jadi amunisi gerakan yang sedari awal memang berniat menuju tahta. Tanpa melalui Pemilu, tapi tekanan massa.
Jangan sampai dibuka kesempatan muncul orang yang hanya bermodal pidato dengan dukungan liar massa. Kalau itu yang terbit, kita membuka kotak pandora yang sudah lama dikubur. Pribadi otoriter yang percaya akan dirinya sendiri dan memecahkan masalah mengikuti nalurinya. Hitler muncul di tengah krisis sebagaimana Mussolini yang tampil karena panasnya keadaan. Karena krisis, mereka berusaha menyajikan resep apa saja karena yang dibutuhkan rakyat hari ini: tentram, normal, dan bekerja seperti biasa.
Fasisme bisa menjawab itu semua asalkan demokrasi dibunuh dan kita semua tunduk pada dirinya. Tragedi yang sepertinya sekarang mulai dipercaya sebagai sebuah keniscayaan ketimbang kemustahilan.(*)