Saya di bulan Ramadan ini menikmati acara dialog antara ayah dan puterinya. Abi Quraish Shihab dengan puterinya Najwa Shihab. Hidangan dialog yang bermutu, indah, dan hangat. Suguhan topiknya meyentuh dan membuat kita merasa beragama itu jadi mudah dan senang. Kata Pak Quraish Shihabm berhubungan dengan Tuhan itu seperti menjawab soal matematika: bukan berapa 5 ditambah 5, tapi 10 itu berasal dari mana. Bisa 5 tambah 5 dan bisa pula 8 tambah 2. Agama itu butuh kearifan.
Memang sempat ada isu panas soal tuduhan Syiah pada Pak Quraish Shihab. Tuduhan yang sama dialamatkan pada Kang Jalal, Panggilan akrab Jallaluddin Rakhmat. Dua intelektual Islam yang jago dalam mengangkat soal agama dengan pendekatan populer. Pak Quraish Shihab melalui tafsir Al Misbah, sedang kang Jalal dengan mendasarkan pada berbagai referensi: Al-Qur’an, puisi, kisah, hingga hasil riset psikologi. Keduanya memang tak sepopuler Abdul Shomad atau AA Gym, bahkan ustadz Arifil Ilham sekalipun. Tapi, keduanya adalah perintis pemahaman keagamaan yang terbuka, modern, dan percaya diri.
Pak Quraish Shihab bukan orator yang piawai dalam menjawab semua soal. Karyanya Tafsir Al Misbah merupakan upayanya untuk berkomunikasi dengan ummat. Tiap kali saya membaca karya itu, saya tercenung lama: memahami ayat suci sedikit demi sedikit. Kita tidak hanya dilatih untuk sabar, tapi kita juga diberi pemahaman yang mendalam. Belajar Islam dengan Pak Quraish Shihab seperti memasuki kebun yang kaya dengan tanaman, dan kita seperti diajak berjalan dengan pelan.
Kini ditemani oleh Najwa Shihab mereka berdua tampil. Najwa yang kritis, tajam, dan berani mulai mengajak abinya untuk menembus kabut pemahaman keagamaan yang kolot. Pemahaman agama yang seringkali dianggap reaksioner, konservatif, dan intoleran. Keduanya berusaha untuk meneguhkan kembali keberagamaan yang santun, bijak, sekaligus terbuka. Kalau ibarat medan, maka dua Shihab ini mencoba merangkul apa yang langka dalam keberagamaan kita hari ini: bijak dan santun.
Konservatisme tak muncul karena pemahaman agama semata. Pastilah ada situasi sosial yang melahirkan keyakinan semacam ini. Telah banyak riset yang mengangkat masalah ini, tapi kita memang belum tahu bagaimana menghadapinya. Abi Quraish Shihab berusaha dengan cara luar biasa: menulis tafsir, karya, hingga ceramah di televisi. Kini bersama Najwa puterinya, berusaha membuka wawasan keagamaan dengan cara lebih dialogis. Menjawab pertanyaan lalu kerap juga tampil di ruang yang dipadati massa.
Bahkan meluncurkan situs Cari Ustadz, sebuah ihtiar yang penting di tengah kekacauan politik yang kerap memanfaatkan sentimen agama. Sentimen ini terbit juga karena polah elit yang tamak atas kekuasaan. Apa pun yang menuju tahta akan digunakan untuk menarik dukungan. Agama kemudian diluncurkan sebagai tangga menuju ambisi. Abi Quraish Shihab dengan Najwa Shihab mirip pasangan pendekar yang punya pedang tajam tapi berperang melawan pasukan raksasa.
Pasukan ini sudah membuat koloni sendiri. Pasukan ini telah menciptakan identitas sendiri. Dan pasukan ini punya keyakinan yang sulit dirobohkan. Tapi pasukan ini bisa saja kehilangan dukungan, simpati, hingga penghormatan, kalau keyakinan yang ditularkan tampak cacat dan dibuat-buat. Bukan hanya itu, tapi kalau tumbuh jamaah yang kritis, pintar, dan peka. Bahwasanya, agama tak mungkin melahirkan sikap picik, apalagi permusuhan yang membabi buta. Agama tidak lahir untuk membuat kerusakan.
Waktunya Abi Quraish Shihab dan Najwa Shihab menguliti, tak hanya cara beragama, tapi situasi sosial yang menciptakan keberagamaan semacam itu. Najwa yang punya pengalaman dalam diskusi politik memiliki kelebihan untuk mendiskusikan topik panas semacam ini. Abi Quraish Shihab yang memiliki pengetahuan kitab suci dapat menuntun dengan kearifan. Maka, soal yang dibicarakan bisa hal-hal yang kerap kali bersinggungan dengan kepentingan umat yang ditindas. Soal seperti penggusuran, ketidak-adilan hukum, hingga pelanggaran HAM. Sebab, lewat jendela topik semacam itulah Islam akan dirasakan sebagai Rahmat.
Islam yang selalu membela soal kemanusiaan, yang berpihak pada yang lemah, dan memperjuangkan keadilan. Karena kaum dogmatis sering kali dengan alasan semacam ini: Islam ditindas, teraniaya, dan terus terancam. Rasa sebagai korban itu yang kerap kali menimbulkan simpati, dukungan, dan keterlibatan. Soal yang sering diangkat kerap kali yang jauh dari negeri ini: Palestina, Suriah, hingga Chechnya. Padahal, masalah seperti penggusuran dan dirampasnya kedaulatan banyak terjadi di negeri ini.
Menyeret kasus kemanusiaan dalam terang Islam jadi relevan. Sehingga, agama ini memang tidak hanya mengajak orang untuk berdamai dengan umat lain, tapi juga melawan ketidakadilan. Tentu caranya bukan provokasi, tapi dialog yang renyah, segar, dan bisa jadi inspiratif. Hal yang saya rasa mahir dilakukan oleh Najwa Shihab. Hanya soalnya, apa memang duet Shihab ini berani mengetengahkan topik-topik semacam ini? Atau jangan-jangan soal semacam ini dianggap bukan soal Islam?
Tapi saya berbaik sangka saja bahwa duet maut ini memang belum waktunya mengangkat topik panas semacam ini. Saya percaya kalau cepat atau lambat, topik-topik ketidakadilan akan jadi menu yang akan dibahas ke depan. Semoga.(*)