“Tak ada keraguan bahwa sekelompok kecil warga yang memiliki pikiran dan ketetapan hati yang sama dapat mengubah dunia. Tentu hanya itu yang dapat membuat perubahan!” -Margaret Mead
Berita menyebut ada 90-an lebih petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal. Semua disebabkan oleh aktivitas pencoblosan 17 April yang lalu. Memilih wakil rakyat, DPD, hingga Presiden dalam waktu sehari.
Katanya lancar dan kalau ada masalah mohon dimaklumi. Ucapan yang tampak santun ini meniadakan fakta dramatis soal hilangnya nyawa para petugas KPPS. Mereka yang membuat kubu Jokowi dan Prabowo sampai hari ini belum tampak ada keinginan untuk akur.
Bayangkan, 17 April kemarin orang datang untuk mencoblos. Beberapa memang memilih untuk golput, tapi sebagian besar tetap datang ke TPS untuk memilih kandidat yang bertarung. Yang kita temui pertama kali adalah petugas KPPS yang mengatur warga, yang mempersilahkan untuk datang ke kotak suara, memberitahu kotak mana saja yang harus dimasukkan, hingga meminta pemilih untuk mencelupkan tangannya ke botol tinta.
Adegan ini bukan yang utama karena mereka nanti juga sibuk saat penghitungan. Tetangga saya petugas KPPS, saat coblosan kemarin pulang hingga subuh. Jika dinilai dari bayaran tentu jauh dari waktu yang dihabiskan. Mereka pasukan terdepan dalam pemilu. Dipilih atas dasar kerelaan, terkadang dan sebagian besar adalah tokoh masyarakat.
Para pecinta demokrasi ini punya niat sederhana, ingin memuluskan jalanya Pemilu. Di tangan mereka harusnya para wakil rakyat hingga calon pemimpin malu kalau berbuat culas, curang, dan licik. Sebab melalui panitia inilah kegiatan pencoblosan berlangsung tanpa ricuh dan ribut. Memang ada kendala. Tapi secara umum pengorbanan petugas KPPS itu tak sederhana.
Kini mereka meninggal dalam jumlah yang besar: 90 orang lebih. Rekor kematian panitia pemilu dalam sejarah. Siapa yang membunuhnya? Malaikat pencabut nyawa atau aturan yang mendasarinya? Jawaban pertama itu yang membuat kita pasrah, sedang jawaban kedua itulah yang menjadi penting untuk kita usut.
Pak Jusuf Kalla menilai kejadian ini karena semua berlangsung pencoblosan secara serempak, memilih Presiden hingga Wakil Rakyat. Di samping itu, dirinya juga resah dengan masa kampanye yang panjang. Boleh saja ini efek dari diubahnya aturan.
Tapi siapa yang ubah aturan? Wakil rakyat dan Pemerintah. Mengapa itu diubah? Pasti pertimbangan efisiensi dan efektifitas. Kalau berujung pada kematian apa yang musti dilakukan? Pasti jawabanya pragmatis: berikan santunan untuk korban. Begitulah metode kita menyelesaikan urusan publik selama ini: berikan uang pada jumlah tertentu.
Bahkan kita semua sebagai pelaku tak merasa penting untuk diadili apalagi dihukum. Seolah ini hanya efek dari aturan yang berubah. Karena aturanya diubah, ‘maklumi saja’ jika kemudian jatuh korban.
Jika begitu ini demokrasi macam apa? Kalau suara rakyat sangat berarti, mustinya kematian mereka jadi bermakna. Sebutkan satu persatu nama yang tewas lalu telusuri siapa mereka sebenarnya? Tak lain itu adalah wajah rakyat yang sehari-hari bergelut dengan urusan kehidupan dan pada hari Pemilu berusaha untuk menjadi warga yang bertanggung jawab.
Kepada mereka sebaiknya para elite politik paham kalau keputusan yang dilahirkan mustinya mempertimbangkan ‘suara’ rakyat. Bagaimana kita bisa memuliakan suara rakyat jika itu dianggap hanya sebagai angka yang hanya berarti lima tahun sekali.
Sudah jauh kita ingkari suara rakyat yang ketika Orde Baru jatuh ingin kita rombak. Tak mampu kita melakukannya karena dengan ringan kita semua menerima ‘alumnus dan siswa’ Orde Baru untuk membuat format politik alternatif. Sengaja mereka longgarkan syarat partai politik sehingga banyak kekuatan politik yang diuntungkan di masa Orba kembali tampil, bahkan memegang tongkat kemenangan.
Batas rezim Orba dengan Reformasi kini mencair dan kita sekarang menyambut para keluarga Orba dengan tangan terbuka. Dihukum kita hari ini oleh sejarah dengan cara yang menyakitkan: rakyat teraniaya oleh sistem yang ditetapkan oleh elite politik.
Tak hanya itu, rakyat kini beradu sendiri untuk menetapkan pemimpinnya. Mereka dilanda rasa kecewa sekaligus tak percaya. Kecewa karena pemimpin yang diinginkannya ternyata kalah oleh proses pemilu. Lebih dahsyat lagi, pemimpinnya sendiri tak percaya kalau dirinya dikalahkan dalam proses pemilihan.
Bukan hanya kita kehilangan adab berpolitik, tapi lama-kelamaan kita kehilangan akal. Maka pesta demokrasi yang baru kita adakan ini sebenarnya untuk kepentingan siapa? Rakyat yang selalu kita sebut-sebut sekaligus yang kini beberapa di antara mereka mati karena mematuhi aturan yang dibuat oleh elite, atau sebenarnya untuk elite politik yang tak mengalami kerugian apa pun?
Berkat Pemilu, rakyat dan elite hubungannya tidak lebih jelas: elite tak bertanggung jawab atas keinginan rakyat yang bisa jadi tak mampu dipenuhi, dan sebaliknya rakyat juga tak mampu menghukum elite kalau mereka tak memenuhi janji.
Hubungan mereka kontan dan spontan saat Pemilu. Pola hubungan macam inilah yang membawa demokrasi tak lagi dekat dengan keadilan, tapi malah menciptakan kontradiksi dan kesenjangan. Rakyat bisa jadi menjadi pendukung fanatik, tapi elite sulit untuk menjadi fanatik dengan kepentingan rakyat. Hingga hari ini situasi itulah yang terjadi.
Pak Jokowi dan Pak Prabowo, jika masih akan bertarung silahkan saja. Mau setuju atau tidak setuju dengan hasil pemilu itu hak pribadinya. Paling rakyat nanti yang lagi-lagi jadi korban dari perseteruan ini.
Begitu pula elite politik yang masih merasa perlu untuk beradu keunggulan dan meyakini merekalah yang berhak berkuasa. Konflik ini juga tak akan merugikan mereka karena rakyatlah yang kelak akan dipakai sebagai senjatannya. Rakyat dalam demokrasi kita memang hanya ‘korban yang selalu dikorbankan’. Suaranya dianggap bisa dibeli dan kini nyawanya pun akan dihargai.
Demokrasi kita hari ini memang melihat rakyat hanya sebagai KOMODITI!