“Allah menyuruh untuk berbuat adil, bersikap ihsan, dan memberi kepada kaum kerabat” -QS al-Nahl: 90
“Yaitu mereka yang bisa menahan emosi, memaafkan manusia, dan Allah senang kepada orang yang berbuat ihsan” QS Al Imran: 134
Assalamualaikum Wr Wb
Kusaksikan hari ini gelombang massa mengalir memenuhi stadion, lapangan, dan jalanan. Suara takbir merayap di mana-mana dan menandai sebuah harapan yang sedang meluap-luap. Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno telah diputuskan dalam Ijma Ulama sebagai calon presiden dan wakil presiden masa depan. Sebelumnya telah bergema tuntutan Ganti Presiden 2019. Ummat Islam -meski tak semua- merasa diwakili harapannya oleh Prabowo-Sandi. Berdua mereka seperti simbol pemimpin yang dirindukan oleh ummat Islam, bisa melindungi, dan membawa kebaikan bagi ummat Islam.
Tak ingin aku menyangsikan pilihan itu karena memang itulah yang terjadi. Faktanya, gelombang massa berdatangan dari berbagai tempat dengan membawa atribut Islam. Habib Rizieq dari kota suci Mekkah berpidato memberikan dukungan yang hebat. Bagi para pendukung, Prabowo telah dipercaya akan membawa kebaikan bagi agama dan ummat. Resep Prabowo dalam memimpin belum begitu jelas, tapi yang terang Prabowo marah pada apa saja: keadaan sosial hingga orang yang tak mendengarkan ceramahnya. Mungkin itulah yang disukai hari ini: marah yang bisa ditafsirkan secara positif sebagai tegas.
Ummat Islam memang jumlahnya besar. Dulu juga begitu, tapi sekarang yang besar itu ternyata punya kekuatan. Mampu mengalahkan Ahok dan diharapkan nanti bisa mengalahkan Jokowi. Daya kekuatan ummat untuk mengalahkan orang yang tak disukai dilakukan dengan selalu mengumpul dalam jumlah raksasa. Jumlah itu begitu menggetarkan apalagi kalau mampu memenuhi stadion. Jumlah itu membanggakan apalagi kalau punya daya pukul yang mematikan. Pemilu dan Pilkada kini menjadi unjuk kekuatan suara ummat yang sesungguhnya. Tak dengan konsep, tapi asalkan bisa memenangkan kandidat pilihan dan mengalahkan lawannya.
Kepuasan kita pada keinginan untuk mengalahkan, menaklukkan, dan menundukkan. Di bawah istilah mayoritas itulah kita merasa berkuasa, pantas untuk memperjuangkan kepentingan, dan boleh melakukan apa saja. Ummat Islam yang di masa Orde Baru hidup dalam tekanan, diberi kesempatan tapi dikooptasi, dan dilanggar HAM-nya, kini merasa penting untuk unjuk gigi. Menyatakan pilihan politik yang berbeda dan meyakini bahwa pilihan itu harus menang. Walau itu dengan memilih figur yang erat dengan Orde Baru, bahkan didukung oleh partai dari keluarga Cendana.
Lupakanlah apa yang dialami di masa Orde Baru. Masa ketika ummat disakiti, dianiaya, dibunuh, dibui, bahkan dibatasi hak-haknya. Lebih mudah untuk merasakan sakit saat ini. Terutama pada rezim yang selalu dianggap mengkriminalkan ulama, meminggirkan ekonomi ummat, hingga dicampuri dengan mudah oleh kepentingan asing. Kita jauh lebih yakin dengan teori konspirasi yang buktinya tipis dibandingkan dengan kenyataan masa lalu yang korbanya masih hidup. Rasanya kita berada dalam situasi genting jika tak memenangkan Prabowo-Sandi.
Sadar atau tidak kita telah dibawa dalam suasana politik yang saling berseteru. Baik pendukung 01 maupun 02 seolah tidak berada dalam identitas dan keyakinan yang sama. Sebagai ummat mayoritas, kita lebih mudah menuduh yang berbeda sebagai musuh dan mengutuk yang berbeda sebagai lawan. Dihinggapi bukan hanya perasaan lebih unggul, lebih benar, dan lebih kuat, kita seperti diseret dalam perangai yang memalukan: sombong, takabur, dan berlebihan. Pidato maupun ungkapan yang beredar luas hanya berupa cacian, ancaman, dan menyerang. Kita kehilangan adab dalam berpolitik.
Politik sebagai upaya untuk melayani yang lemah, melindungi yang minoritas, dan mengungkapkannya dalam akhak yang luhur hanya jadi harapan semu. Kita amat bangga dengan gelombang massa yang dipandu oleh kebencian pada sosok tertentu serta kehendak bulat untuk mengalahkannya. Politik bukan memberi harapan pada siapa saja, tapi keinginan untuk membinasakan dan mengalahkan ummat itu sendiri. Yang kita lukai bukan apa yang membuat kecewa, melainkan muka kita sendiri. Jokowi atau Prabowo adalah bagian dari ummat Islam yang tampil karena rubuhnya tirani Orde Baru.
Siapa yang kita perjuangkan hari-hari ini? Gelombang massa yang turun ratusan hingga jutaan untuk kepentingan apa sebenarnya? Hanya memilih seorang figur yang seperti kebanyakan manusia lainnya bisa saja penipu, pembohong, dan mungkin saja bandit? Ataukah keinginan kita untuk melindungi ummat yang dilukai rasa keadilannya pada masa Orde Baru serta pemerintah sebelumnya? Cita-cita apa yang kita bawa untuk menjadi mandat bagi pemimpin berikutnya? Tugas apa yang diberikan oleh ummat Islam untuk pemimpin yang dipilihnya?
Lebih spesifik pertanyaannya adalah apa yang akan dilakukan pemimpin pada ummat Islam yang mayoritas jumlahnya? Ummat yang sudah punya apa saja: tempat ibadah, kebebasan menjalankan ibadah, hingga mampu merintis ekonomi ummat. Sekaligus ummat yang kehilangan segalanya: tauladan menjadi bangsa yang menjunjung kejujuran, teladan untuk memimpin dengan kesederhanaan, dan tegas atas pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di masa lalu. Kita memang besar jumlah tapi apa kita juga besar dalam pengaruh? Pengaruh di dalam negeri atau pengaruh di kancah Internasional.
Marilah kita tak lagi menakar kekuatan hanya dari massa yang datang atau massa yang akan memenuhi gedung apa saja. Kita tak ingin seperti ummat yang dicemaskan oleh Rasulullah SAW, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air.” Petuah itu mengingatkan kita bukan pada seberapa banyak kita, tapi seberapa besar kualitas sumber daya manusia kita. Jangan melihat pada banyaknya massa yang berhasil kita himpun, tapi capaian prestasi yang bisa kita banggakan pada dunia: misalnya pendidikan terbaik, kejujuran yang jadi budaya, atau penghormatan kemanusiaan pada ummat yang berbeda agama. Jujurlah apa kita sudah bangga dengan itu semua?
Benar masih banyak yang jadi pekerjaan berat kita. Keadilan yang masih jadi utopia, pembangunan ekonomi yang tak merata, hingga kejahatan yang beredar dengan begitu leluasanya. Tapi ini semua masalah tidak semua pemecahannya dengan lahirnya pemimpin. Ia hanya manusia belaka yang dikelilingi oleh sistem politik yang memang membuatnya tak leluasa. Ingatlah di masa lalu tak pernah ada pemimpin yang memuaskan semua kalangan dan mustahil dirinya tak terjerat oleh kepentingan dirinya sendiri. Itu berlaku sejak Soekarno hingga Jokowi hari ini.
Marilah kita belajar sejenak pada sistem yang kita punya dan cara apa yang bisa membenahinya. Ummat Islam kaya akan contoh para ilmuwan, penemu, bahkan ulama yang mencetuskan buah gagasan agung. Sejenak marilah kita belajar pada mereka tentang apa yang baiknya dilakukan, melalui organisasi yang kita miliki dengan cara yang akan membuat semua bisa ikut terlibat di dalamnya. Perubahan itu bukan pekerjaan singkat, sederhana, apalagi hanya dengan pidato yang menyala-nyala. Perubahan itu buah ketekunan yang landasanya adalah kesabaran. Itulah ‘harta yang hilang’ tersebut.
Ada baiknya kita kembali untuk menengok pesan Rasulullah SAW untuk selalu bersabar. Allah berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang bersabarlah yang diberikan pahala tanpa dihitung (tidak terbatas),” QS al-Zumar: 10.
Marilah kita meningkatkan kesabaran dalam membuka pintu perhelatan politik yang sebenarnya tak terlalu istimewa. Ini bukan hari perhitungan di alam baka, tapi perhitungan kotak suara. Jangan terlampau berlebihan dalam menjalankan kegiatan politik yang sangat duniawi ini, sebab semua ini sesungguhnya semu, karena tiap kemenangan bisa bawa bahagia tapi juga petaka. Sama halnya kekalahan tak selamanya mengakhiri apa yang kita perjuangkan.
Kuakhiri tulisan ini dengan nasehat Nabi Muhammad SAW:
Betapa menganggumkan urusan orang mukmin. Semua urusanya baik. Bila mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Bila mendapat kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya. Tidak ada yang demikian kecuali orang mukmin.
Tidakkah kita mau mengikuti petuah Rasulullah SAW ini?(*)