Mahasiswa, Apa yang Terjadi?

Aku tak kan memperindah kata-kata
Karena aku hanya ingin menyatakan
Cinta dan kebenaran
Adakah yang lebih indah dari
Cinta dan kebenaran Maka
Memerlukan kata-kata indah?
(Aku Tak kan Memperindah kata-kata, Gus Mus)

“Jangan pernah tunda besok apa yang bisa kaukerjakan lusa” -Mark Twain

“Kreativitas adalah membiarkan diri kita melakukan kesalahan. Seni adalah mengetahui kesalahan mana yang harus dipertahankan” -Scott Adams

Saya diminta mengisi diskusi ini dengan rasa keingintahuan. Membaca TOR yang dikirim panitia saya terhenyak (Judul TOR-nya unik dan mengejutkan: Siasat Jitu Kuliah Bahagia. Sebuah judul yang tak pernah saya dapatkan ketika mengisi diskusi mahasiswa yang topik biasanya kalau tidak gerakan atau pendidikan melawan).

Ternyata ada keresahan yang bergolak dalam diri mahasiswa. Terutama dalam menjalani studinya dan melihat masa depannya. Studi yang dijalani ternyata tak semua menikmatinya. Katanya memilih jurusan sebatas pertimbangan pekerjaan ketimbang menikmati pengalaman belajar. Dan masa depan seperti perjalanan spekulatif yang mencemaskan.

Mungkin ini bukan hal istimewa. Tiap kali saya diundang diskusi selalu muncul pertanyaan yang meresahkan. Di antaranya kuliah yang dijalani makin membebani, kurang memberi inspirasi, dan selalu ukuranya ditentukan oleh nilai semata. Bagi mahasiswa yang biasa membaca buku Paulo Freire atau Ivan Illich, situasi itu memuakkan: pendidikan membelenggu dan pendidikan membekuk kesadaran kritis. Kuliah dirasakan kian lama kian menjerat ketimbang membebaskan.

Mungkin karena itu kuliah berjalan hambar: ruangan sunyi dari debat dan aktivitas yang dominan tak lain di media sosial. Kemudian yang terjadi, kuliah hanya pengantar untuk kegiatan lainnya: mendapatkan pemahaman agama yang mengubah identitas, menikah semasa mahasiswa, dan bekerja apa adanya. Kuliah seperti pintu, bukan untuk mendapat pengetahuan yang direncanakan, tapi perjumpaan dengan pengalaman baru yang kerap mengubah segalanya.

Tapi kampus tetap dipercaya sebagai tempat pengantar masa depan. Banyak anak muda memilih untuk menjadi mahasiswa meski biaya yang ditanggung tak lagi murah. Mereka meyakini kampus telah menjelma jadi sarang pelindung bagi tangga menuju masa depan. Tangga itu dirawat dengan disiplin, kepatuhan, dan rutinitas. Hal yang tak semua anak muda senang mengikutinya dan tak semua antuasias menjalaninya. Karena kampus kerap kali tak seperti yang diimpikan.

Biaya utamanya yang tak lagi murah. Pada kampus negeri terutama dan fakultas tertentu. Beban biaya yang tak murah membuat mahasiswa dari kelas sosial mana saja melihat kuliah sebagai perjalanan yang buru-buru. Lekas lulus, lekas meraih gelar, dan lekas melanjutkan strata berikutnya jika ada yang biayai. Tak hanya itu, beban biaya membuat mahasiswa lebih berhitung pragmatis dalam mengikuti kegiatan: aktivitas itu mempercepat kuliah atau menunda.

Wajar kalau makin sedikit mahasiswa yang tertarik untuk ikut organisasi. Angkanya belum pasti, tapi ini bisa dilihat dari sedikitnya partisipasi kegiatan organisasi mahasiswa. Apalagi kalau organisasi itu punya aktivitas yang menyerempet bahaya -demonstrasi misalnya- atau mulai menggugat kebijakan kampusnya sendiri. Mahasiswa benar-benar menghindari resiko karena itu bisa bawa bahaya bagi dirinya. Pilihannya hanya mematuhi apa yang diatur oleh kampusnya.

Kepatuhan terjadi begitu rupa. Kini aturan kampus bukan makin longgar tapi kian tak masuk akal. Larangan berbusana tidak rapi hingga rambut gondrong. Ini belum lagi ada ketentuan untuk tidak melakukan demonstrasi. Sebuah kampus malah membuat kontrak ketika mahasiswa baru datang pertama kalinya. Agar mahasiswa tak melakukan aktivitas yang berbahaya dan disumpah untuk selesai pada waktunya.

Secara bersemangat kampus mendorong mahasiswa untuk punya prestasi. Di antara yang paling senang dilakukan adalah memotivasi mahasiswa untuk berbisnis sejak dini. Pujian diberikan pada mahasiswa yang pintar hasilkan uang meski masih kuliah. Judul mata kuliah dan pelatihan yang populer adalah wirausaha. Bersama kuliah macam inilah mahasiswa berlomba untuk menjadi jutawan yang dapat membiayai dirinya sendiri sekaligus mengembangkan usaha.

Tapi kampus tak selamanya mampu memenuhi harapan itu semua. Banyak mahasiswa yang memang tak mahir untuk menjalani dua kegiatan: kuliah sembari mengumpulkan uang. Walau belum ada survei yang mencoba menelusuri prioritas mahasiswa ketika kuliah, tapi bisa dipastikan ada kebutuhan untuk segera bisa mendapatkan uang. Kemandirian merupakan posisi yang ingin diraih semua mahasiswa. Bahagia rasanya kuliah tapi sudah memperoleh penghasilan. Tapi apa memang itu yang membuat mahasiswa menjalani kuliah dengan kenangan yang indah?

Saya memang beruntung kuliah tidak dalam suasana semacam ini: uang kuliah pada masa saya masih murah, kegiatan mahasiswa jika tidak kuliah ya pacaran atau ikut gerakan, dan tuntutan untuk selesai tepat waktu tidak seperti saat ini. Saya kuliah dengan harapan sederhana: bisa menjalaninya, asyik melaluinya, dan bisa punya kawan sebanyak-banyaknya. HP memang belum ada apalagi media sosial.

Dibesarkan dengan ide-ide menawan, kuliah seperti perjalanan ke luar angkasa. Saya bertemu dengan Karl Marx waktu kuliah: pikirannya mengguncang pandangan saya selama ini dan kisah hidupnya membuat saya tercekam berhari-hari. Begitu pula saya berjumpa dengan manusia gila bernama Nietzche. Pendapatnya membuat iman saya berguncang dan peryataannya bikin saya sulit tidur. Saya merasa terpesona karena punya pengalaman luar biasa.

Kalau saya cerita seperti itu, selalu ditangkis dengan kalimat yang diulang-ulang tiap saat: itu kan zaman dulu. Seolah zaman sekarang itu seperti masa yang terputus dengan yang lalu. Sepertinya yang lalu itu berada dalam periode purba: masa ketika dinosaurus berjalan ke mana-mana. padahal perasaan anak muda tetap sama: ingin dihargai, ingin berpetualang, dan ingin pula melawan apa yang tak disetujui. Baik anak muda zaman millenial atau anak muda era kolonial.

Tapi saya pikir perasaan petualangan itu bisa diraih oleh siapa saja pada zaman apa aja. Kenapa musti petualangan? Menurut saya dengan ‘jiwa’ petualangan itulah kita berani mencoba hal baru tiap saat: mulai berani ikut organisasi, mulai meyakini ide yang lebih besar ketimbang diri kita sendiri, mulai keluar dari rutinitas, dan mulai berani membela pilihan yang berbeda dengan yang lain. Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan adalah perasaan untuk ‘tak mudah percaya’. Ini bukan hasutan tapi benar kalau kamu punya keyakinan itu hidupmu sedikit banyak bergeser ke titik yang tak lagi nyaman.

Memang tak percaya pada apa? Pada ketentuan kampus yang konon untuk membuat diri mahasiswa berhasil. Kepatuhan untuk datang tepat waktu sedang dosen belum tentu tepat waktu mengajarnya; berbusana yang disiplin dan rapi yang belum tentu itu sesuai dengan jiwa anak muda; memilih untuk tak banyak bertanya padahal itu ciri utama manusia muda. Sehingga keyakinan untuk tak percaya begitu saja dapat membawa akibat luar biasa.

Kita tak mudah dibodohi apalagi dimanipulasi. Meski ada berita tentang Jokowi keturunan PKI atau China, kita otomatis tak percaya sama sekali. Walau ada cerita kalau Pilpres mirip perang Badar, kita akan dengan ringan tertawa karena kekonyolan analoginya. Singkatnya dengan tidak mudah percaya, kita akan mendengar apa saja dengan pertimbangan sederhana: akal, kesadaran, dan kepentingan.

Kita tak mudah ikut arus besar. Bayangkan dalam suasana yang gegap gempita media sosial mudah saja kita jadi umat orang lain. Follower telah jadi teologi yang diimani sehari-hari. Padahal hidup tidak selalu indah kalau berisi para fans dan kita dihinggapi keinginan untuk menjadi bintang. Kita kehilangan diri kita sendiri dan akibatnya kehilangan keunikan yang kita miliki. Hidup bersandar pada kebutuhan untuk ‘diterima dan dikagumi’.

Yang menggembirakan, kita tak mudah frustasi. Sebab tiap masalah kita hadapi dengan slow: kita yakin mampu mengatasinya karena kita punya pengetahuan mengenai itu semua. Kita yakin bisa memecahkannya karena kita punya metode untuk memahaminya. Bahkan dalam pertimbangan sederhana kita merasa tiap masalah itu sebagai ‘tangga’ untuk menguji kedewasaan.

Dan tentu saja ketidakpercayaan itu punya landasan. Itu sebabnya pengetahuan, kebijaksanaan, dan pengalaman terus-menerus dipintal begitu rupa. Kita mudah bergaul dengan siapa saja, suka untuk bergaul dengan siapapun, dan yang utama gampang untuk diajak petualangan apa saja. Singkatnya hidupnya dipacu oleh rasa ‘ingin tahu’ dan ‘pembangkangan’ pada apa yang terlalu rutin dan lazim. Kalau itu ditemukan maka saya rasa kuliah bukan hanya mengantar kebahagiaan tapi terbukanya pintu perjalanan menuju ‘kebangkitan’ anak muda.

Saya mau akhiri makalah ini dengan kalimat Kahlil Gibran. “Gunung, pohon, dan sungai mengubah wujud mereka sejalan dengan pergantian waktu dan musim, seperti seorang laki-laki mengubah penampilan dan perasaanya.”

Atau kalimat Francis Ford Copolla. “Cara menjadi berkuasa bukanlah dengan menentang Kemapanan, tetapi pertama-tama tempatkan diri di dalamnya dan kemudian tantang dan khianati Kemapanan itu.”

Mulailah mengubah keyakinanmu maka hidupmu akan berubah!

***

Disampaikan untuk diskusi di Unversitas Taman Siswa FKIP kelompok studi Dewantara Study Club (DSC), 9 Maret 2019

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0