Saya bersahabat dengannya meski tak begitu lama. Tahun 90-an itulah masa terbaik Dilan, dan saya rasa juga zaman ketika sebagian kecil mahasiswa meluncurkan protes pada kekuasaan Soeharto yang diktator dan tidak demokratis.
Banyak sudah cerita mengenai heroisme angkatan itu yang kerap kali dicurigai sebagai dalih. Tapi itulah angkatan yang meletakkan dasar penting bagi gerakan mahasiswa. Yang tidak hanya belajar tentang teori atau debat dalam kelompok studi, tetapi mencoba mengorganisir kekuatan militan rakyat yang ada di sektor buruh, petani, dan kaum miskin.
Dipandu oleh teori kiri, beberapa anak muda mencetuskan perlawanan yang luar biasa. Diukir dalam banyak kisah, buku, hingga film. Berjejer pahlawan muda yang memilih jadi martir dan sebagian merasakan pahitnya siksaan tentara.
Kala Orde Baru jatuh, jasa mereka tak bisa terlupakan. PRD salah satu gerakan yang secara absah punya klaim peran terbesar. Baik dalam menumbangkan Soeharto maupun melahirkan syuhada. Hingga kini, banyak anak muda hilang berasal dari rahim gerakan ini. Andi Arief salah satu tokoh pentingnya. Banyak artikel telah memuat biografi tentang kepahlawanannya. Saya tak ingin mengulang kisah itu lagi.
Tiba-tiba meluap berita Andi tertangkap kasus sabu-sabu. Kalau itu terjadi pada anggota dewan pada umumnya atau politisi lainnya, mungkin orang anggap biasa. Tapi kali ini Andi Arief yang tertimpa: petinggi Partai Demokrat dan mantan aktivis 90-an. Yang dikenal gagah, berani, dan punya prinsip yang anak muda lainnya di masa itu tak banyak menjalaninya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Sebagian mencoba meletakkan kasus ini dalam pertarungan politik. Andi Arief yang dikenal keras dalam kritik dan kerap kali mengumbar pendapat kontroversial telah memicu banyak polemik. Berada di kandang oposisi, dirinya menjadi seteru Jokowi sang petahana. Kasusnya dianggap sebagai politisasi dari jantung masalah menuju tahta RI 1. Saya tak menampik dugaan ini dan lebih cenderung menyebut ini sebagai teori konspirasi.
Sebagian lain lebih jauh menghakimi angkatan 90-an yang selalu dipuja setiap peringatan jatuhnya Orba. Dianggap angkatan tak konsisten, banyak berkhianat, dan selalu dituduh opurtunis. Bahkan mulai meragukan peranya dalam menjatuhkan Soeharto karena menganggap krisis ekonomi dan perpecahan elite yang terjadi. Gerakan mahasiswa hanya penumpang gelap kejatuhan itu semua. Kesimpulan yang ngawur, tak didukung data, dan berlebihan.
Saya tak mengatakan ini keliru, tapi memahami Andi Arief sebagai cerminan aktivis 90-an jelas kacau. Kala Orde Baru jatuh, memang pilihan gerakan jadi lebih cair: sebagian bertahan untuk menuntut pembersihan total sisa-sisa Orba dan lainnya memilih memanfaatkan momentum yang tersedia. Pilihan pertama jelas sulit walau itu kadarnya mliitan. Sebab, kejatuhan Soeharto tak membuat sekutu-sekutunya lenyap.
Kroni Soeharto berusaha menciptakan panggung demokrasi yang artinya diri mereka masih punya peran utama. Di antaranya dengan mendirikan partai politik. Salah satu yang bertahan, kuat, dan berpengaruh adalah Partai Golkar. Hampir semua partai baru dipimpin atau setidaknya dipenuhi oleh mantan pengurus Golkar. Semangat utamanya tak lain adalah tetap merebut panggung politik sambil mengajak bersekutu dengan para reformis.
Andi Arief beserta semua temannya tak lagi bisa menghidupkan PRD dan mungkin juga makin merasa tak mungkin. Pernah ikut Pemilu tapi kalah. Kini pilihanya tinggal: bertahan atau mengubah taktik. Yang kedua, rasanya lebih memungkinkan dan ada peluang. Itulah saat saya melihat Andi Arief bersama SBY. Sebuah pemandangan yang bagi saya waktu itu sulit diterima. Tapi pilihan politik pasti punya sasarannya sendiri.
SBY kala itu bagai meteor. TNI yang reformis dan diharapkan dapat bawa paras demokrasi seperti yang diharap. Partainya memenangkan pemilihan. Mulus dirinya diterima sebagai presiden pada pemilihan langsung pertama kalinya. Kemenangan itu berbuah kesempatan, karir, hingga peluang untuk yang berada di dalamnya. Andi Arief beserta kawan-kawan yang ada di Demokrat memperoleh itu semua.
Tapi Partai Demokrat bukan PRD. Ideologinya jelas bukan kiri. Buku bacaannya pastilah tidak Das Kapital. Saya tak tahu apa SBY baca Antonio Gramsci yang dulu jadi skripsi Andi. Partai ini menampung siapa saja: HMI, PRD, politisi, bahkan pensiunan tentara. Andi berada di tengahnya dan tentu ikut mempengaruhi. Tapi kekuatannya tak sekuat ketika dirinya ada di SMID atau PRD. Saya tak bilang Andi larut, tapi lingkungannya telah berubah.
SBY bawa demokrasi bukan pada jalan progresif. Partainya malah kemudian dijangkiti apa yang lazim di partai-partai lainnya: korupsi yang meyentuh jajaran tertinggi. Partai ini mirip kisah sinetron: meledak mula-mula, lalu mengempes perlahan. Satu demi satu pengurusnya masuk penjara. SBY tak lagi mampu mempertahankan kharisma partainya sendiri. Perolehan suaranya bukan hanya jatuh, tapi terjerembab. Pilihan sekutunya makin terbatas, dan tanpa ideologi partai akan kebingungan tentukan arah.
Saya masih ingat PRD saat diguncang dan hendak diburu. Andi Arief dengan percaya diri tampil di Malioboro menantang diktator tua namanya Soeharto. Inisiatif politik yang militan dan cerdik. Saya kala itu bangga jadi kawamnya. Ia menantang sang diktator dengan memancing kemarahannya. Keputusan yang kelak menularkan keberanian pada siapa saja untuk berani melawan Soeharto. Sayang inisiatif yang sama tak terjadi ketika dirinya berada dalam Partai Demokrat.
Kasus yang menimpanya seperti pukulan kesekian kalinya untuk partai berlambang mirip mercy ini. Di depan pintu pemilu, partai ini nampaknya sedang kebingungan: dukung Prabowo, tapi juga harus berhitung posisi atau tetap memberikan kebebasan pada kadernya untuk ikut promosi Jokowi. Ibarat petinju, partai ini berada dalam posisi limbung. Wajar jika politisinya lalu bersikap aneka rupa tanpa tahu apa sasaran yang mau dicapainya.
Ironi yang tragis dari sebuah peluang politik yang coba diraih. Andi tidak berada di jalan keliru, tapi berada di lingkungan yang berbeda. Kawannya berubah dan orbit lingkunganya bergeser. Serangan dan komentarnya memang bergema karena itu selalu punya daya ledak kontroversi. Tapi hanya itu yang mampu dilakukannya: Andi dulu paling semangat untuk lawan penggusuran, militerisme, hingga buruh yang dianiaya. Ia meninggalkan pendekatan kelas dan memilih jalur popularitas.
Beruntung masih ada kawan semacam Wilson, mbah Narso, atau Gonjez SPI. Para anggota PRD yang masih setia dengan bunyi deklarasi. Juga Coen di Indoprogress dan Petrus yang masih setia. Mereka manusia langka yang masih terlibat dalam advokasi, bergerak mengorganisir, dan sialnya masih miskin. Mereka dulu kawan Andi, sebagian bahkan mengaguminya dan lainnya pernah mematuhi perintah politiknya.
Semua kisah politik tak selalu berakhir sama. Tapi semua cerita politik menarik pelajaran serupa: tanpa ideologi, keyakinan akan berjalan seperti kabut. Tak menerangi, tapi bisa menyesatkan. Bukan mengilhami, malah menjerumuskan. Ndi, semoga kamu punya kesempatan untuk membaca lagi skripsimu tentang Antonio Gramsci. Jangan sampai kita jadi korban dari apa yang dikuatirkan Gramsci tentang hegemoni: Orde Baru bahaya bukan karena serdadunya, tapi ketika kita telah meniru dan menerima cara pikir serta gaya hidup dari politisi mereka.(*)