“Kalau mencintaimu adalah kesalahan, ya udah biar, aku salah terus saja” -Diilan
Saya tak pernah menonton film ini. Tak sempat baca novelnya. Tapi anak saya membelinya. Sesekali saya membuka lembar karya Pidi Baiq ini. Walau tak tertarik, tapi saya suka film Indonesia yang meledak. Terlebih ini bukan film horor dan motivasi, tapi kisah cinta anak remaja, yang terjadi di Bandung pada masa saya kuliah semester pertama.
Cerita tentang cinta selalu beraroma sama: jatuh cinta, pacaran, putus, kemudian teringat terus dan ingin balik lagi. Ramuan ini bisa diperagakan dengan cara berbeda. Dilan jatuh cinta dengan Milea: ucapanya selalu membuat kita tersipu, rayuannya seolah tak ada yang penting di dunia ini, dan caranya pacaran membuat kita semua tiba-tiba jadi rindu masa remaja.
Dilan dan Milea untung muncul hari ini. Saat kita gaduh oleh apa saja, terutama soal pilihan politik.
Anak-anak muda yang bersemangat, mendukung calon dengan menempuh cara apa saja. Di beberapa kota. kampanye diwarnai oleh rusuh: polisi tembakkan gas air mata, adu debat antar pendukung yang berakhir tak karuan. hingga doa yang menyeret Tuhan untuk jadi tim sukses segala.
Bahkan kita jadi sibuk melaporkan warga sendiri. Hampir tak ada hari tanpa keributan warga melaporkan warga lainnya. Alasannya bisa apa saja: penegakan hukum, pendidikan hukum, atau bahkan pemanfaatan hukum. Pokoknya tiap orang yang menyinggung lebih mudah untuk melaporkannya ke Polisi ketimbang menyelesaikannya secara kekeluargaan. Kita jadi bangsa yang curiga satu sama lain.
Kita kehilangan asmara dan romantisme. Dilan dan Milea mengajarkan itu: Dilan cintai Milea dan sebaliknya, Milea tak mampu melupakan Dilan. Beruntung keduanya tidak hidup di masa partai sedang menjamur. Mereka pasti diklaim sebagai kader dan dijadikan ikon. Keduanya hidup di jaman kegelapan, mengingat settingnya tahun 1991, saat Rezim Orba masih bertahan.
Dilan dan Milea mengajari kita bagaimana cinta itu mekar. Diawali dari rasa terpesona yang hari ini hilang. Kita kehilangan itu semua dan akibatnya memang bahaya: kita tak punya empati pada yang namanya rakyat kecil, kita menyebut mereka dengan ringan seakan mereka itu himpunan suara yang gampang ditotal, dan lebih bahaya lagi, kita pandai buat janji kosong.
Cobalah bicara seperti Dilan yang puitik dan menghipnotis. “Kalau kamu bohong itu hak kamu. Asal jangan aku yang bohong ke kamu.” Andai politikus kita bisa mengucapkan kata semacam itu, kita bukan hanya terhibur, tapi hanyut mendukungnya. Ketimbang kata yang keluar kalau tidak ‘awas, waspadai, jangan curang, atau dukungan’.
Bukan hanya itu, Dilan membuat kita tak suka memikirkan apa pun kecuali jatuh cinta. Anda boleh ketawa, tapi kalau pikiran kita itu menghasut melulu apalagi membenci, mungkin waktunya untuk menjadi Dilan. Ikut geng motor, tapi mencintai gadis dengan cara luar biasa. Seolah hidupnya dipertaruhkan hanya untuk jatuh dengan Milea.
Syarat hidup seperti itu tak lain kecuali menjadi anak muda lagi. Itu yang dicemarkan dalam hidup politik kita hari-hari ini. Hampir pertarungan dan debat ini diisi oleh orang-orang tua. Usianya di atas kepala empat dan kalaupun ada yang masih muda, pikirannya tak bisa seromantis Dilan. Mereka anak muda yang wajahnya saja, tapi isi otaknya sudah serupa dengan orang tua.
Gaya berpolitiknya selalu ofensif dengan cara brutal. Menyerang dengan modal apa saja dan sulit hargai yang beda pilihan. Pada soal golput kecaman terus dikatakan. Dianggap hambat pemilu hingga merasa tak ada gunanya. Respon negatif itu memberi petunjuk kalau kita kurang romantis dalam melihat kenyataan. Sehingga tiap orang dipaksa berpartisipasi: pilih calon nomor 1 atau 2. Andai Dilan ada, pasti ia akan tetap memilih Milea!
Kita senang akhirnya Dilan dan Milea pacaran sambil berpelukan naik motor. Andai saja kampanye kita seperti adegan Dilan dan Milea, pastilah suasananya jadi heboh. Pak Jokowi berpasangan dengan istrinya dibantu oleh relawan yang berboncengan dengan pasanganya. Kemudian pak Prabowo biarkan sendiri atau boleh bersama mantan istrinya ditemani oleh jubir yang dulu istrinya suka membela posisinya. Ditanggung romantis, dan anak-anak milenial pasti bisa dibuat terharu.
Tidak seperti sekarang, kampanye dan aksi massa bertaburan kecaman. Bahkan doa dipanjatkan dengan ancaman pada Tuhan segala. Isinya kalau tidak mengutuk, pastilah membela pilihannya dengan cara yang beraneka rupa. Kita bukan hanya kehilangan akal sehat, tapi lenyap rasa empatinya.
Belajarlah dari Dilan dan Milea yang penontonnya hari pertama saja mengalahkan Avengers: Infinity War. Itu artinya anak muda memang suka dengan pasangan muda seperti Dilan dan Milea.
Ayolah, politikus, belajarlah pada apa yang disukai rakyat dan anak mudanya. Dilan telah membuktikan itu semua: filmnya ditonton jutaan anak muda, kalimatnya dikutip di mana-mana, dan saya rasa semua penonton ingin menjadi seperti mereka. Andai pasangan Jokowi-Ma’ruf pidatonya jadi kutipan siapa saja dan fotonya dipasang oleh anak muda di mana saja, pastilah kalian menang dengan bahagia.
Kalau Prabowo-Sandi bisa membuat anak muda ingin menirunya, ingin mengekor gayanya dan selalu rindu kedatangannya, saya pastikan Anda akan kampanye dengan gembira karena pasti menang menjadi juara.
Belajarlah kalian pada kisah cinta Dilan dan Milea, ea!(*)