Antonio Gramsci dalam Diskursus Pendidikan

Akmal Akhsan Tahir (Kabid RPK PC IMM AR. Fakhrudin)

 ***

Kritik pada lembaga pendidikan hingga kini masih menjadi diskursus yang selalu hangat diperbincangkan. Bagi penulis, kritik demi kritik merupakan hal yang wajar terjadi karena membicarakan soal pendidikan berarti membahas soal kemanusiaan itu pula.

Pendidikan pada beberapa pengertian mendasar merupakan arena humanisasi (memanusiakan manusia). Namun pada tataran praksisnya, justru terjadi dehumanisasi. Antonio Gramsci, seorang filsuf dan teoritikus politik sekaligus penulis, akan menjadi bahan perbincangan kita pada tulisan ini. Ia memang bukan tokoh pendidikan sebagaimana Freire, tetapi teori-teorinya dalam beberapa hal menjadi refleksi berfikir atas gagalnya sistem pendidikan dalam membangun peradaban manusia.

Gramsci banyak dikenal dengan tulisan-tulisannya yang berfokus pada politik dan analisis kebudayaan. Ia adalah penemu konsep hegemoni budaya, sebuah konsep yang berpendapat bahwa dalam keragaman budaya suatu masyarakat sosial selalu potensial untuk dikuasai oleh kelompok sosial lainnya.

Ketika menjadi penguasa atas kelompok sosial lainnya, maka ia akan dipandang sebagai norma, dianggap sebagai ideologi yang menguntungkan secara kolektif, padahal sebaliknya mempertahankan status quo dan hanya mempertahankan kelas penguasa saja. Inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni.

Selain teori tersebut, dalam kondisi kesehatannya yang memburuk dan dalam tekanan-tekanan hidup, ia masih menafsirkan keadaan sosial dan kemudian membuat perbedaan antara intelektual tradisional dan intelektual organik.

Intelektual tradisional adalah intelektual yang masih dalam arti sempit dan cenderung dikendalikan oleh proses produksi. Intelektual jenis ini cenderung menjadi legitimasi sekaligus justifikasi atas pihak yang berkuasa atau pihak yang membayarnya untuk bekerja.

Sebagai contoh, seorang intelektual pengacara yang bekerja untuk membela dan membenarkan kliennya sebab dibayar. Maka secara singkat intelektual tradisional cenderung berada dalam pusaran ekonomi dan kapital serta penguasa. Keberadaannya cenderung hanya sebagai alat pembenaran bagi pihak yang sedang berkuasa.

Sementara itu, intelektual yang kedua adalah intelektual organik. Gramsci menggambarkannya sebagai intelektual yang memiliki daya untuk mengorganisir politik dan kekuatan konter-hegemoni. Di sinilah kemudian intelektual disebut-sebut sebagai agent of change. Intelektual organik tidak hanya berada dalam pusaran teori belaka, tetapi justru mampu merelevansikan teorinya dalam keadaan praksis.

Bila ingin menarik teori Gramsci dalam perbincangan persoalan pendidikan, kita akan menemukan suatu teori bahwa dalam perjalanan lembaga pendidikan selalu akan ada muatan politis dan ideologis penguasa. Bahkan bisa jadi pendidikan adalah ‘stempel’ yang membenarkan kelompok yang sedang berkuasa atau yang memiliki uang banyak.

Dalam perjalanan pendidikan inilah maka akan terjadi hegemoni, saat masyarakat kelas bawah tidak akan sadar bahwa ia sedang berada dalam target ideologi-politik. Ia menjadi awam dan secara diam-diam juga membenarkan kekuasaan dan status quo tersebut. Singkatnya, ia berada dalam hegemoni dan kendali kekuasaan.

Dalam arena pendidikan inilah, secara praksis kerap kali sosok gurulah yang ‘mencekoki’ hegemoni kepada para siswa. Jika keluar jalur, maka mereka akan ditindas dan dilegitimasi menggunakan nilai dan hukuman.

Secara lebih komprehensif, hegemoni terjadi ketika para guru menjadi pengendali kebenaran, yang ‘tau segalanya’, sementara para siswa bak gelas kosong yang tidak mengetahui apa-apa.

Dari sanalah para guru merampas kebebasan anak untuk berekspresi, berpendapat, dan berinovasi. Guru selalu menjadi penguasa kebenaran dan secara diam-diam disangka berhak melegitimasi anak pintar-bodoh, pemenang-pecundang. Pola ini lantas terus terjadi hingga siswa kehilangan kesadaran kritisnya. Inilah yang disebut sebagai hegemoni pendidikan.

Dalam ranah yang lebih real, intelektual organik bisa direalisasikan dengan ‘memproduksi’ guru yang menjadi organisator, inovator, maupun motivator penggerak kesadaran siswa. Para guru justru tidak boleh menjadi intelektual tradisional yang membenarkan kekuasaan dan status quo.

Di kelas, guru harus menjadi inisiator kesadaran untuk mencapai titik perubahan. Selain itu, para guru juga bertanggung jawab menciptakan kesadaran kritis siswa, menjadi motor penggerak perubahan dengan modal kesadaran sosial, serta sadar akan adanya manusia yang ditindas dan menindas.

Demikian cara berfikir Antonio Gramsci dalam konteks pendidikan. Ia memang banyak dikenal sebagai filsuf dan teoritikus politik saja, namun menurut penulis, gagasan-gagasan Gramsci sangatlah layak untuk diperbincangkan dalam diskursus pendidikan dewasa ini, sehingga teorinya bukan hanya ilusi yang utopis, tetapi justru ada dalam pusaran realitas, khususnya dalam realitas pendidikan dewasa ini.(*)

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0