Jika Hukuman Diganti dengan Uang

“Orang yang mengatakan ‘sesuatu tidak bisa dilakukan’ tidak boleh menganggu orang yang sedang melakukannya” -Regina Breet

Bayangkan betapa sibuknya aparat penegak hukum belakangan ini. Menangkap pelaku kriminal hingga bintang yang tertangkap melakukan pelacuran. Belum lagi banyaknya tersangka kasus apa saja: perkosaan, ujaran kebencian, hingga kampanye yang tak pada tempatnya. Itu baru Polisi, belum KPK yang menangkap tangan pejabat yang menerima suap. Itu belum hakim dan jaksa yang tiap hari sidang.

Kehidupan hukum ibarat pasar sangat hiruk pikuk. Berita media menyantap semua kegiatan kriminal dengan sudut apa saja: koruptor yang punya istri muda hingga pejabat yang ditangkap saat pesta ulang tahun anaknya. Pengadilan hingga penjara penuh dengan orang yang melanggar hukum. Paling tidak itu memberi petunjuk betapa julukan negara hukum itu benar: yang melanggar akan dihukum dan hukum berlaku pada siapa saja.

Presiden sekalipun dalam banyak ucapanya tak bisa intervensi hukum. Ketika ada seorang yang dituduh melanggar HAM tiba-tiba mendukung presiden maka ucapan tim suksesnya khas sekali. Presiden tak bisa intervensi hukum. Bahkan ketika ada janji yang meluap soal kebebasan seorang ulama yang kena tuduh teroris, lagi-lagi pejabat negara bilang presiden tak bisa campur tangan hukum. Hukum kerap diucapkan dengan ringan, tapi bisa mencekik siapa saja yang melanggarnya.

Polisi, pengacara, hakim, dan jaksa adalah deretan penegak hukum. Orang-orang mulia ini dipercaya sebagai pendekar keadilan. Tak boleh ada curiga apalagi menduga mereka melakukan pelanggaran. KPK yang pernah mencoba menjerat seorang petinggi polisi harus berhadapan dengan status tersangka. Tempur Polisi dan KPK diberi judul yang konyol: Cicak lawan Buaya. Hal yang sama untuk penegak hukum lainnya.

Karena mulia itulah kita simpati pada mereka. Seorang pejabat tertinggi keamanan bahkan meyakinkan kita kalau keamanan itu jadi tanggung jawabnya 24 jam. Saya malu kalau mudah tertidur karena ada petugas keamanan yang tak boleh tidur. Harus menjaga warganya biar lelap tidur dan barang-barangnya tetap terjaga. Karena itulah ada baiknya kita memikirkan gaji, upah, dan dan bayaran layak untuk pejabat hukum.

Gaji besar harusnya diberikan untuk mereka. Tapi itu pasti kontroversial. Lebih tepat dan mudahnya adalah mengganti aturan dengan uang. Jadi tiap pelanggaran apa saja akan dikenai denda. Tak ada penjara kecuali untuk mereka yang tak punya uang sama sekali. Malah kalau perlu ada bank yang memberi pinjaman uang untuk para pelanggar hukum. Pokoknya semua dibereskan dengan uang. Apa keunggulan ide ini?

Fakultas Hukum tak perlu kuliah lama-lama. Mahasiswa tak perlu hapal peraturan yang dimuat dalam undang-undang. Kegiatan hapal-menghapal lenyap dan mereka malah bisa dilatih untuk hitung-menghitung. Lebih logis, rasional, dan sesuai harapan mahasiswa hari ini. Kuliah, lulus, dan kaya. Kredo kita ubah: Semua Orang  Sama di Hadapan Hukum, menjadi Semua Orang tak Sama di Hadapan Uang.

Kita tak perlu penjara lagi. Sebab orang jahat selama bisa membayar tidak akan dipenjara. Tiap muncul kejahatan hukumnya bayar uang. Tiap ada kriminalitas imbalannya uang. Uang yang menentukan tingkat pengampunan. Kalau besar tidak hanya diampuni, tapi diubah kedudukan: mulanya penjahat jadi pejabat.

Penjara boleh saja digunakan, tapi sebagai wisata kenangan. Dapat menikmati penjara dengan membayar uang tertentu. Uang akan menentukan fasilitas dalam penjara: banyak uang akan menciptakan penjara yang nyaman, menyenangkan, bahkan penuh hiburan. Uang bahkan bisa membuat petugas sipir menjadi karyawan mereka yang di penjara.

Keuntungan terpenting adalah gaji besar untuk polisi, hakim dan jaksa. Polisi tak usah kuatir menerima uang di jalan karena memang itu yang diwajibkan. Hakim tak perlu kuatir disuap karena memang aturannya musti terima uang. Sehingga kita memudahkan kerja para penegak hukum: tak perlu bawa pistol, toga, atau palu, tapi kalkulator. Tiap ada pelanggaran hukum kalkulator yang menentukan.

Malah yang lebih besar dari itu adalah pendapatan negara. Tak mungkin warga tak berbuat kejahatan, karena itu tandanya setan lenyap dan itu maknanya nafsu manusia lenyap: kejahatan yang terjadi tiap hari akan dibalas dengan bayaran uang. Bayangkan pendapatan negara dari rakyat langsung, tidak melalui pajak, tapi kegiatan kriminal.

Coba berapa untungnya negara ini karena kejahatan terus-menerus terjadi. Tiap berbuat jahat langsung bayar. Mirip pom bensin: sekali nipu, ketangkap, trus bayar. Uang itu semua dapat kita putar untuk kejahatan serupa. Sehingga kita akan mendapatkan pertumbuhan luar biasa karena pendapatan yang diperoleh dari kejahatan yang kian banyak mengerjakan.

Pasti negara lain akan meneladani apa yang kita lakukan: membayar untuk kejahatan yang dikerjakan, membayar untuk pelanggaran yang dilakukan, dan membayar untuk perbuatan tercela kategori apa pun. Kita yang angka korupsinya tinggi, pelanggaran HAM yang banyaknya minta ampun, dan kriminalitas dalam berbagai bentuk akan mendapatkan pemasukan luar biasa. Pemasukan uang atas kejahatan yang dilakukan.

Siapa yang rugi? Pastilah korban dan yang tak punya uang. Orang miskin pasti akan tertindas dalam situasi seperti ini. Korban juga akan mendapatkan hal yang sama. Tapi bukankah sejak lama kita mengabaikan orang miskin dan juga tak banyak melindungi korban? Jadi ketimbang kita hanya bisa berucap janji mending kita kasih tahu kenyataan yang sebenarnya. Jujur selalu lebih baik.

Katakan memang uang yang sebenarnya berkuasa di tempat ini!(*)

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0