Saya menonton film Green Book dalam ruang yang sunyi. Gedung bioskop hanya dihuni 6 orang, termasuk saya dan keluarga. Entah mengapa film ini kalah padat dengan tontonan semacam Preman Pensiun dan PSP. Mungkin dianggap film serius atau memang banyak orang merasa ini film tak musti ditonton di gedung. Padahal pada poster, film ini mendapat anugerah nominasi untuk Oscar hingga pemenang Festival Film Cannes.
Istri dan anak saya juga belum familiar dengan film ini. Mereka agak ragu apa benar film ini layak dinikmati. Beruntung tak ada resensi yang bilang ini film buruk. Sekedar mencoba apa salahnya, dan menyenangkan sekali film ini dinikmati dalam kesunyian. Kita bisa melihat seorang pria Tony yang tubuhnya gempal tapi punya tanggung jawab besar pada keluarga. Walau hidup sebagai tukang pukul, tapi dirinya dikelilingi oleh keluarga besar yang tampaknya bahagia.
Tony nganggur karena renovasi kafe tempatnya bekerja. Muncul tawaran kerja dari seorang kulit hitam yang mahir memainkan piano. Shirley bukan kulit hitam yang nasibnya malang, tapi seorang pianis yang berlimpah harta. Kemampuannya bermain piano setara dengan kecerdasan yang dimiliki. Menguasai beberapa bahasa dan memiliki pengetahuan yang cukup baginya untuk hidup dengan gaya hidup kelas atas. Tony mulai bekerja menjadi sopir dalam perjalanan tour selama hampir 2 bulan.
Bayangkan dua sosok yang beda sekali: Tony kulit putih, hobby makan, gampang caci maki, dan suka kelahi. Shirley seorang kulit hitam tapi berwatak ‘priyayi’ yang cerdas, hati-hati, bijak, serta pintar. Dua sosok ini bukan tak ada kelemahan: Tony mudah emosi dan Shirley terlalu formal. Tony bisa meributkan apa saja, sedang Sherly selalu penuh pertimbangan.
Mereka berada dalam suasana yang diskriminatif. Amerika Serikat, terutama sisi selatan, masih memperlakukan orang negro sebagai kasta kedua. Sangat ironis Sherly yang dijamu oleh orang-orang kulit putih kaya tetap tak bisa memakai toiletnya untuk keperluan kencing. Begitu pula dengan bengis seorang polisi cari perkara hanya karena melihat seorang berwajah negro memerintah seorang kulit putih.
Film ini mengemas dengan sederhana: dialognya meyentuh dan penuh humor. Keinginannya adalah mengajak kita untuk berempati dan mengubah pandangan itu ternyata tak mudah. Tony kesal dengan sikap Sherly yang dianggapnya terlampau sabar, dan Sherly heran dengan cara Tony yang tergesa-gesa. Seolah dua orang ini berusaha untuk saling mempengaruhi. Tapi itulah persahabatan: bukan saling melengkapi, tapi menerima kekurangan.
Saya bisa mengerti mengapa film ini tak digemari di sini. Mungkin kisahnya tak bisa memberi hikmah, kurang heroik, dan tak punya unsur asmara yang berkobar. Green Book hanya sebuah cerita tentang dua orang dalam zaman yang sedang goyah. Di tengah petaka kebijakan diskriminatif, film ini sebenarnya memberi sindiran pada kita yang masih gampang menaruh stereotip pada mereka yang berkulit hitam dan bermata sipit.
Tony yang sangat curiga dengan orang kulit hitam bahkan pada apa pun yang mereka sentuh. Misalnya ketika istrinya meminta dua orang negro untuk memperbaiki dapur. Saat dua negro itu minum gelasnya, segera dibuang Tony ke tong sampah. Ia merasa jijik, marah, dan mungkin diremehkan. Mungkin itu yang membuat dirinya mau jadi sopir tapi bukan pelayan Sherly.
Ajaibnya, sehabis pulang menonton film ini saya berpapasan dengan anak muda yang memakai motor dengan membawa bendera partai. Hanya anak muda yang berkampanye, tapi perangainya membuat banyak orang kuatir. Knalpotnya diperkeras dengan gaya naik yang ingin mencuri perhatian. Sore itu ia beriman pada bendera partainya yang dipegangnya erat-erat serta menunjukkan pada siapa saja kalau dirinya berkuasa.
Itulah anak muda yang dikuatirkan Sherly: konyol, kurang imaginatif, dan fanatik. Persis seperti seorang pelayan yang tak menginginkan Sherly makan, tapi memintanya untuk tampil menghibur di restoranya. Mereka memperlakukan orang lain tidak dengan pertimbangan kemanusiaan tapi kebiasaan yang menguntungkan dirinya. Sikap yang rasa-rasanya mulai menjamur belakangan ini.
Mereka merasa diri paling benar, meyakini dirinya yang terbaik, dan meremehkan siapa pun yang tak setuju dengannya. Sikap yang tidak lagi egois, tapi bebal dan dungu. Karena kebencian bisa membuat orang bertindak tak logis dan kebencian pula yang mampu membuat seorang berubah jadi monster. Tak hanya memakan hak orang lain, tapi mudah menyakiti siapa yang tak sama dengan keyakinannya.
Film ini mengajarkan kita kalau kebencian bisa membawa petaka. Orang tak mudah menghargai orang lain dan kurang bisa menerima kelebihan yang lain. Sepertinya hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan tak ingin berusaha untuk merawat hubungan dengan yang berbeda. Hubungan yang tulus, terbuka, dan saling percaya.
Green Book memberi sebuah tawaran yang membahagiakan. Jangan khawatir dengan perbedaan karena itu semua yang memperindah hidup. Tony tak mampu menulis kerinduan pada istrinya, dan Sherly mengajarinya dengan sabar. Sang istri mendapat surat yang dirinya tahu kalau itu bukan gaya suaminya. Tapi Tony tahu bahwa Sherly yang pintar itu sesungguhnya pria yang kesepian. Surat itu menjadi jembatan terindah keduanya.
Saya sangat beruntung menonton film yang indah ini. Kita diajak untuk percaya kalau perubahan itu memang dirawat bukan oleh pejuang yang melakukan hal-hal besar, tapi tindakan kecil yang sederhana tapi memberi pelajaran luar biasa. Film ini mengantarkan sebuah aroma yang bahaya: kalau kita ingin mengubah apa saja, lebih dulu kita musti percaya kalau kita sendiri tak mungkin melakukanya. Kita butuh orang lain, kita butuh yang berbeda pandangan, dan kita butuh kepercayaan dari yang lain.
Simaklah film ini pasti Anda akan punya kesan yang bisa berbeda dengan saya. Maka ketika film itu berakhir, istri saya berkaca-kaca. Ia tidak hanya memiliki kesan yang indah, tapi ia sulit percaya kenapa tak banyak di antara kita yang menikmati karya ini. Saya ingin memegang tanganya dan bilang, “Kita memang masih sulit menerima pelajaran berharga meski itu sudah dikemas dengan cara sederhana.”(*)