Jayyidan Falakhi Mawaza (Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN SUKA)
***
“Dosa yang membuatmu menyesali dirimu lebih baik di sisi Allah dari pada kebaikan yang membuatmu terkelabui oleh kekaguman atas dirimu” -Imam Ali R.A
“Kesalahan dalam membiarkan seribu orang kafir tetap hidup adalah lebih ringan daripada dosa menumpahkan darah satu orang muslim” -Imam Al-Ghazali
Penyakit takfirisme yang menghinggapi sebagian umat muslim dalam laku dan pikiran barangkali semakin kronis saja. Tindakan mengkafirkan ini barangkali semakin mudah kita temukan dalam corong-corong dakwah Islam melalui forum-forum pengajian, halaqoh, televisi, hingga media sosial. Tak jarang para dai, ustadz, maupun khatib juga melakukan tindakan takfiri karena dilandasi atas perbedaan mazhab, aliran, hingga pilihan politik dan menggiring para jamaahnya untuk mengikuti petuahnya. Potensi destruktif takfirisme macam memaki, hate speech, meneror, melukai, bahkan menggangap sesama muslim sebagai ‘liyan’ dan halal darahnya untuk dibunuh menjadi alasan utama mengapa virus takfirisme ini harus segera disembuhkan.
Jejak-jejak penyakit takfirisme di dunia Islam dapat kita telusuri dari peristiwa politik tahkim (Arbritase) yang melibatkan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah yang melahirkan kelompok khawarij. Kelompok ini membelot dari kelompok Ali dan memvonis sesat sang khalifah hanya karena menerima tahkim dari mu’awiyyah yang bertujuan untuk menghentikan peperangan untuk meminimalisir jatuhnya banyak korban. Bagi kaum khawarij penerimaan tahkim Ali sebagai tindakan yang ‘tidak berhukum dengan hukum Allah’. Menurut pandangan mereka, perdamaian Ali dan Mu’awiyah merupakan momentum kekafiran, kemunafikan, dan kefasikan dari kedua-duanya.
Cara berpikir dialektis-dikotomis hitam-putih khas Aristotalian logic melahirkan pandangan bahwa hanya ada dua kelompok di dunia ini, yakni kelompoknya sendiri dan kelompok lain. Pendapat kelompok sendiri yang selalu benar dan tiada mengandung kesalahan, sedangkan pendapat kelompok lain salah dan tiada mengandung kebenaran. Exstrimitas dalam berpikir akhirnya menggiring pada extrimitas dalam bertindak. Mereka tak segan-segan untuk memproduksi berbagai macam bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan wacana hingga kekerasan fisik.
Menurut Aksin Wijaya (2018), prinsip pemikiran literalis-takfiri yang bersifat teoritis itu diimbangi pula dengan konsep praksisnya yakni jihad. Keduanya sama-sama berwajah keras. Cara berpikir literalis-takfiri yang menuduh sesat, syirik, munafik, dan kafir pihak lain yang berada di luar kelompoknya adalah kekerasan wacana, sedangkan jihad berkaitan dengan kekerasan fisik. Memang kekerasan wacana selalu bergandengan dengan kekerasan fisik sehingga muncul istilah takfiri-jihadis.
pemikiran literalis-takfiri yang berujung pada takfiri jihadis tak lepas dari kecenderungan otoritarianisme dalam menafsir teks suci. Teks yang otoritatif dibaca sesuai pendapatnya sendiri dan seringkali dilepaskan dari tujuan-tujuan dasar Syariah (maqashid al-Syariah) yang berakibat pada tragedi pencedaraan harkat dan martabat kemanusiaan. Penguasaan tafsir yang merasa benar sendiri malah menjebloskan teks suci ke dalam terali besi. Lantas kemudian muncul otoritarianisme yang mengangkangi otonomi teks suci yang otoritatif.
Menurut Khaled Abou el Fadl (2003), pandangan-pandangan ganjil dan dogmatis tentang sesuatu yang dianggap otoritatif dalam teks rentan untuk berubah menjadi otoriter. Pandangan-pandangan tersebut riskan menjadi kata terakhir dan ekslusif berkaitan dengan apa yang dimaksud dan ditunjuk oleh teks yang otoritatif itu. Jika penyaji teks tidak berdisiplin dan tidak mengikuti metodologi yang bisa membantunya untuk mengidentifikasi secara kritis kepingan-kepingan keterangan yang berimbang, maka ia telah menempatkan dirinya di atas teks itu. Di samping itu, jika penyaji teks tidak mau membedakan antara preferensi subjektif politik atau sosialnya dengan pesan yang ada dalam teks, maka ia benar-benar menggantikan teks. Karena itu, teks yang otoritatif menjadi terbatasi.
Maka dari itu, sumber penyakit takfirisme adalah pikiran. Pengobatannya pun harus dengan pikiran pula, sebab tidak akan melumpuhkan pena selain pena dan keraguan tidak dapat dilawan kecuali dengan hujjah (argumentasi). Menimbulkan pemahaman Islami yang mengedepankan isi sebelum kulit, mengembalikan pemahaman tentang furu’ (cabang agama) kepada ushul (pokoknya), yang zhanni kepada yang qath’I, serta yang parsial kepada yang total merupakan salah satu langkah yang bisa kita lakukan agar terhindar dari penyakit takfirisme.
Selain itu, membiasakan persangkaan baik kepada orang lain juga dapat meminimalisir takfirisme. Menyadari bahwa kesucian adalah fitrah manusia dengan memperkirakan adanya sifat-sifat kebaikan pada diri setiap manusia. Bahkan tindakan mengafirkan walaupun mereka adalah orang-orang yang dinilai menyimpang tidak akan membuat mereka menjadi lebih baik, tetapi bisa jadi lebih buruk daripada sebelumnya.
langkah lainya adalah hendaknya kita selalu membuka jendela-jendela untuk angin kebebasan dalam pikiran dan pendapat keagamaan. Dalam suasana yang bebas dan terang pikiran, pendapat keagamaan dapat dididialogkan dan didiskusikan. Dengan demikian, pendapat dan pikiran tersebut dapat menghadapi beberapa alternatif yakni mampu bertahan, menghilang, mengalami moderasi, atau perbaikan. Hal tersebut lebih baik dibanding jika pikiran dan pendapat itu berada di terowongan-terowongan gelap bawah tanah tanpa boleh didekati dan didiskusikan, yang lama-kelamaan akan menggelembung menjadi gelembung takfiri-jihadis.
Dan yang tak kalah penting adalah peran dari para juru dakwah yang moderat, yaitu para juru dakwah yang memberikan pengaruhnya melalui pikiran, tindakan, maupun tulisan untuk mempromosikan sikap I’tidal (moderat dan seimbang) dalam memberangus takfirisme. Juru dakwah yang senantiasa memberi nasihat-nasihat, pelajaran-pelajaran, serta ceramah-ceramah yang jauh dari ejekan maupun celaan terhadap orang lain.
Alangkah lebih baiknya jika kesibukan dalam mengafirkan itu diganti dengan kesibukan yang jauh lebih berguna, bermanfaat, dan kongkret. Misalnya dengan mendampingi massa rakyat yang terdiri dari para buruh, petani, pekerja informal yang setiap hari bekerja keras dan berjuang untuk hidup di lorong-lorong kecil di desa-desa miskin maupun yang hidup di rusun-rusun pengap di berbagai kota besar yang hidup dalam hati yang luka serta berderai air mata.
Setiap perbuatan yang dapat menghapus air mata, mengobati luka-luka hati yang duka, melawan berbagai macam penindasan yang menimpa, menguatkan tekad orang-orang yang teraniaya, serta memberikan bantuan kepada kaum mustad’afin merupakan ibadah yang amat tinggi nilainya. Hal itu dapat menjadi kunci pembuka kebaikan dan penutup kejahatan. Sebagaimana dawuh sang nabi dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Ibn Majah,”Beruntunglah hamba yang dijadikan Allah sebagai (kunci) pembuka kebajikan dan penutup kejahatan.”
Dengan begitu, alangkah eloknya kita jika tidak membuka pintu kejahatan dengan tindakan takfirisme dan menutup pintu kejahatan dengan memancarkan manfaat dan berkah bagi kaum mustad’afin. Menyitir kata-kata bijak bestari, “Daripada mengutuk kegelapan, nyalakanlah lilin untuk menerangi jalan!!!” Dari pada kita sibuk mengumbar luka orang lain dengan mengafirkanya, lebih baik mencurahkan keprihatinan, ketulusan, dan kekuatan untuk orang yang teraniaya. Awas, bahaya laten takfirisme mengintai kita!!!
Wallahu A’lamu Bissowab