Pada tanggal 14 Januari 2019 Social Movement Institute (SMI) mengadakan diskusi bersama Marjin Kiri dalam pelucuran buku berjudul Politik Jatah Preman yang ditulis oleh Ian Douglas Wilson dari Murdoch University Australia.
Pada malam itu diskusi dihadiri begitu banyak peserta yang antusias dengan paparan yang disampaikan oleh Ian Wilson dan Eko Prasetyo.
Fokus dari kajian penelitian Ian Wilson berkisar pada rekonfigurasi politik informal proletariat ataupun prekariat dari sejak Orde Baru hingga paskanya.
Setelah diskusi pada malam hari itu sesungguhnya kami ingin mewawancarai Ian Wilson setelah diskusi selesai. Namun hal tersebut urung dilakukan karena ada banyak sekali peserta diskusi yang meminta tanda tangan Ian hingga larut malam. Maka wawancara baru kami lakukan setelah Ian mengisi diskusi di UMY meski dengan waktu yang terbatas karena waktu antara berakhirnya diskusi dan jam keberangkatan pesawat yang akan membawa kembali Ian Wilson ke Jakarta begitu mepet.
Berikut ini wawancara singkat SMI dengan Ian.
SMI: Perkenalkan Ian Wilson, kami dari Suluh Pergerakan, ingin bertanya perihal buku Ian yang baru diterbitkan Marjin Kiri.
Langsung ke pertanyaan pertama, kenapa tertarik dengan soal premanisme?
Ian: Itu berasal dari pengamatan saya selama S3 dan juga sebenarnya karena saya belajar pencak silat pada tahun 90-an. Pencak silat sangat erat hubungannya dengan jagoan. Jadi, ya saya mungkin telah familiar dengan kebudayaan itu dan kebiasaan itu.
Setelah itu ya saya masuk ke politic science agar ditelusuri lebih dalam. Karena itu fenomena yang selalu ada. Semua orang punya sebab. Namun belum menjadi subjek penelitian yang intensif.
SMI: Jika mengacu pada kata Vrije Man, mereka digolongkan sebagai orang yang bebas, pada zaman pra kemerdekaan, mereka adalah yang tidak terikat pada kontrak kerja, begitu juga dengan sekarang. Jika dihubungkan dengan politik ekonomi, apakah mereka bagian dari orang-orang yang tidak terserap dari struktur ekonomi formal seperti industri ekstraktif ataupun PNS?
Ian: Ya, mereka selalu dalam kondisi yang informal dan kalau ada kesamaan antara dulu (zaman kolonial), mereka digunakan oleh kekuatan kolonial untuk mengontrol penduduk. Karena jumlah tentaranya sedikit.
Pada waktu itulah mereka merangkul para jago-jagoan lokal untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Namun, kekuasaan seperti itu tidaklah stabil karena orang-orang bisa berganti kubu atau pemimpin yang berbeda-beda.
Jadi ya mereka selalu di ruang yang abu-abu. Jadi saya pikir pun sekarang banyak institusi di Indoensia, organisasai yang abu-abu ketika berelasi dengan negara. Seolah-olah mereka adalah bagian dari negara, namun tidak juga.
SMI: Tertulis dalam buku ini bahwa Ian meneliti selama delapan tahun. Dalam jangka waktu dieselingi dengan mengajar, apakah sempat mengalami kendala dalam penelitian seperti bahasa atau kultur?
Ian:Tidak ada halangan dari segi bahasa, sebenarnya karena saya pernah di Jakarta. Rata-rata secara kultural saya diterima dengan cukup terbuka. Malah terkadang beberapa senang atau GR (Gede Rasa) ada peneliti asing yang ingin tahu organisasi mereka.
SMI: garis pembatas preman di zaman Orba dan pasca Orba jika dahulu identitias bangsa serta ideologi pancasila, sementara di saat ini cenderung berbau kesukuan. apakah hal ini tiba-tiba mengemuka saja pasca reformasi timbul, atau sesungguhnya telah ada sejak zaman Orde Baru? Apakah secara organik mereka timbul menggunakan identitas cultural?
Ian: Karena yang menggunakan politik identitas di zaman sekarang, di zaman Orba pasti dicap sara (suku, ras, antar-golongan) yang menjadi satu kategori wacana politik yang dilarang.
Mereka telah ada di zaman Orde Baru, namun ketika terjadi reformasi mereka melakukan tuntutan untuk lepas dari hubungan patron dan klien. Itulah kemungkinan yang terbuka di dalam ruang demokrasi. Kebebasan berorganisasi dan lain-lain, namun modal yang mereka gunakan simbol civil society ala liberal, namun kental dengan identitas jawara atau jagoan.
Dari pola seperti ini mereka membentuk gari pembatas antara kami dan bukan kami sebagai legitimasi untuk menuntut hak-hak mereka. Bisa dikatakan sah dikarenakan mereka orang betawi dan tinggal di tempat itu dalam jangka waktu yang lama dan terpinggirkan, kemudian merasa iri orang bisa datang ke Jakarta dan memperoleh keuntungan lebih daripada mereka. Mereka merasakan ketidakadilan.
SMI: Seberapa berpengaruhnya hubungan partai politik dan organisasi preman dalam meraup suara di elektoral dan bagiamana cara-cara mereka memobilisir massa?
Ian: Sangat tergantung konteksnya. Bisa kita lihat Pemuda Pancasila selama Orde Baru, mereka berinduk pada Golkar (Golongan Karya), dan pasca 98 saya tahu mereka berharap karena kesetiaan mereka begitu tinggi kepada Orde Baru selama puluhan tahun akan dapat balasan pasca Orde Baru, namun yang terjadi tidak seperti itu.
Setelah itu, Pemuda Pancasila membuat partai sendiri, Partai Patriot, tapi ternyata secara elektoral gagal total. Namun mereka masih berperan dalam mereproduksi isu komunisme bangkit agar mereka tetap exist.
Kalau FBR atau kelompok lain mereka selalu bernegosiasi, selalu mencari kesempatan, dan kesetiaan tidak ada. Selain itu dari data yang saya lihat, FBR dan FORKABI pernah bersekutu dengan PAN, dan partai tersebut begitu yakin bahwa akan ada peningkatan suara.
Namun pada kenyataannya tidak. Berbeda dengan FPI,, mereka telah dianggap setingkat dengan Muhammadiyah ataupun Nahdatul Ulama (NU), mereka mampu menjadi vote getter.
SMI:Apa tantangan terberat Ian dalam meneliti persoalan preman?
Ian:Yang terberat sebenarnya secara intelektual, untuk membentuk teori dalam menjelaskan hal-hal seperti ini. Yang bukan dibentuk dari kasus per kasus namun secara keseluruhan.
SMI:Kira-kira projek kedepan seperti apa?
Ian: Saya masih menjalankan proyek yang telah berjalan tiga tahun, mudah-mudahan terbit pada tahun ini, kami bisa menyelesaikan naskah buku yang berjudul The Politics of The Poor in Southeast bersama rekan saya di Murdoch University dan rekan saya di Notre Dame University.
Transkrip oleh Ari Wijayanto