“Ayah dan ibuku sama sekali tak rukun. Mereka dibesarkan dalam kesulitan, tak diberkati dengan sifat-sifat khusus yang baik, dan tak mau pasrah pada nasib. Dan malangnya aku mewarisi semua kekurangan mereka itu.” -Camilo Jose Cela dalam Keluarga Pascal Duarte
“Harta yang paling berharga adalah keluarga / Istana yang paling indah adalah keluarga / Puisi yang paling bermakna adalah keluarga / Mutiara tiada tara adalah keluarga” -Keluarga Cemara
Camilo Jose Cela memang bukan Arswendo Atmowiloto. Peraih nobel sastra dari Spanyol ini mengisahkan Keluarga Pascal Duarte dengan puitik dan sadis. Himpunan keluarga petani miskin yang dirudung nasib buruk: adiknya jadi pelacur, anaknya tewas dimakan babi, dan ibunya dibunuhnya sendiri. Kalau semua adegan itu dibuat film, saya bayangkan penonton akan menjerit, tercekam, dan gelisah.
Kontras dengan Keluarga Cemara yang baik, bijak, dan tahan ujian. Tak ada caci maki, tak ada kutukan, bahkan tak juga ada kegiatan berdoa. Seolah kebaikan Keluarga Cemara itu tak ada hubunganya dengan agama dan muncul spontan saja. Saking baiknya, Keluarga Cemara ketika terusir dari rumah pindah ke ruang kantor tak ada emosi, tak banyak keributan, dan semua menerima begitu saja.
Namun Pascal Duarte sejak awal memperkenalkan dirinya dengan cara yang terus terang dan manusiawi.
“Aku bukan orang jahat, meski sebenarnya tak kurang alasanku untuk menjadi orang jahat. Kita semua dilahirkan telanjang, tetapi dalam pertumbuhan kita, nasib suka membentuk kita, seolah-olah kita terbuat dari lilin. Kemudian, kita harus menyusuri jalan-jalan yang berbeda ke tujuan akhir yang sama: kematian.”
Abah dalam Keluarga Cemara dilukiskan dengan ideal sekali. Bisa melakukan apa saja: jadi bos yang penyabar, jadi buruh yang punya tenaga berlipat ganda, dan dicintai oleh sekelilingnya. Abah memang bukan nabi, tapi sikapnya yang terlampau baik serta kekaguman orang sekitarnya membuat dirinya mirip dengan orang suci. Terus terang saya sebagai ayah malu karena tak mampu menyerupai dirinya.
Pascal Duarte juga seorang ayah. Tapi ayah yang dihantui oleh kutukan. Anaknya yang baru lahir mati mengenaskan, dihempas oleh angin jahat. Dua anaknya mati di tangan takdir. Istrinya tak bisa sabar dan mengeluh dengan ucapan yang nyaris jujur:
“Tubuh seorang wanita terbelah lebar bagaikan buah delima! Melahirkan, dan kemudian apa yang telah dilahirkannya direnggut oleh angin, sial benar kita!”
Kalau Pascal Duarte bertemu dengan Keluarga Cemara, tak bisa kubayangkan apa yang bakal terjadi. Pasti Pascal Duarte akan terkejut karena ada keluarga yang hidup seperti di surga: dilimpahi kasih sayang, tak ada rasa penasaran, bahkan tak punya musuh sama sekali. Pascal Duarte pasti cemburu melihat emak yang penyayang, tak pernah membantah, dan sangat setia.
Istri Pascal Duarte bernama Lola. Mereka lama berpacaran dan Pascal tertarik ketika bertemu di pemakaman adiknya. Bayangkan di kuburan Pascal mulai menyukai Lola. Adegan jatuh cinta itu romantik dan mengejutkan:
“…. dan wanita-wanita berlutut di dekat liang kubur. Waktu Lola akan berlutut, tampak bagian kakinya yang mulus dan putih di atas stocking-nya yang hitam, mulus dan kenyal seperti sosis darah. Aku malu mengatakannya, semoga Tuhan mengampuniku karena mengatakannya demi keselamatan jiwaku, karena terus terang saat itu aku senang adikku sudah meninggal…”
Gambaran yang kasar, tak sopan, dan malah brutal. Bandingkan Keluarga Cemara yang anaknya bersekolah di tempat pemuja kedisiplinan. Hanya karena rambut dipotong, Euis -puteri tertua- musti dihukum dan harus berdiri di halaman ditemani kawan-kawannya.
Pascal tak punya pendidikan lengkap bahkan ibunya buta huruf. Ibunya yang tak ingin Pascal sekolah. Kacau, ironis, tapi juga kasihan:
“Ibuku tak ingin aku bersekolah, dan setiap ada kesempatan, atau bahkan seringkali, dikatakannya padaku bahwa tak ada gunanya mempelajari apa pun kalau itu tak akan bisa mengangkat kita dari kemiskinan.”
Berbeda sekali dengan emak. Meski mengandung, jatuh miskin, dan tak punya uang, tapi tetap ingin anak-anaknya sekolah. Pascal Duarte hidup dalam belantara petualangan karena hubunganya buruk dengan siapa saja. Tapi Pascal sering datang ke gereja, meminta ampunan, dan taat mendengarkan khutbah. Tuhan menduduki pusat hidupnya meski kadang dinilai olehnya berat sebelah, tak adil, serta kejam.
Arswendo menulis Keluarga Cemara di tengah suasana Orde Baru yang gemar memuja stabilitas. Soeharto tak ingin ada tulisan yang bahaya, kritis, dan menggugah. Maka negara diibaratkan bangunan keluarga. Seperti yang dihidupkan dalam Keluarga Cemara: tak ada yang membantah, semua berpusat pada figur abah, dan tantangan apa pun bisa diatasi asalkan terus bersatu.
Cela si penulis hidup dalam masa perang saudara Spanyol. Tokohnya Pascal Duarte adalah sosok yang anti-pahlawan. Hidupnya mengikuti suara alam bawah sadar, dituntun oleh insting, dan karenanya enggan untuk mengikuti adat-istiadat. Diterbitkan pada 1942, karya ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Kisah yang mengekspresikan naluri kecemasan, rasa takut, dan kenekatan. Penutup kisah ini tragis, keji, dan kita bisa dibuat muak.
Kita tak bisa membandingkan Keluarga Cemara dengan Pascal Duarte. Tapi melalui Pascal Duarte kita jadi percaya bahwa fantasi hampir tak ada di Keluarga Cemara. Bangunan keluarga itu terlampau sempurna sehingga tak manusiawi. Bahkan kita mungkin bisa tersesat dalam lorong manipulasi karena manusia macam abah, emak, Euis, dan Cemara merupakan jelmaan dari mimpi bahaya Orba: bersatu, tak boleh ada yang beda, dan percaya saja apa kata orang tua.
Saran saya, tontonlah Keluarga Cemara, tapi segera membaca Keluarga Pasca Duarte untuk membuat kita meyakini kalau hidup itu patut dicurigai, pantas ditaklukkan, dan jangan kuatir hadapi ketidak-jelasan.