Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)
***
Sebuah cerita dimulai dengan seorang pria tua bertelanjang kaki, berpakaian compang-camping, dan wajah yang dipenuhi rambut. Ialah Socrates, berjalan mengelilingi kota Qunyuk untuk berjumpa setiap keindahan sudut-sudut kota, perilaku yang jamak Ia lakukan ketika dahulu di halaman kota Athena.
Hari itu berbeda, Socrates mengunjungi sebuah kota yang dirundung kegelapan, sebuah kota yang tidak hanya dijalari mitos, tapi tempat yang juga pernah jadi saksi bisu jutaan manusia dijagal tapi masyarakatnya seperti merasa tak pernah terjadi apa-apa.
Kota Qunyuk diambil dari istilah Qu= Punyaku, dan Unyuk= lucu, atau bila diartikan secara harfiah menjadi ‘kotaku yang lucu’.
Kunjungan Socrates bukan tanpa sebab. Dia mendapat rekomendasi dari Vasco Da Gama, seorang pelancong yang juga pernah menginjakan kakiknya ke gugusan daratan kota Qunyuk. Socrates datang untuk sekedar mampir ke kota yang katanya penuh misterius dan keindahannya masih terselubung.
Keindahan adalah keunikan yang belum tuntas dikupas secara mendalam. Terkadang memuat unsur absurditas yang ekstrem. Hal itu membuat Socrates mencintai keindahan yang tak hanya bisa sekedar dikecup setiap lekukannya, melainkan juga perlu ditertawai keberadaannya.
Tapi keindahan apa yang ada di kota Qunyuk hingga membuat Socrates rela jauh-jauh datang ke tempat ini? Apakah karena pantai biru kehijauan yang di bawahnya terbenam karang dan rumput, bukit-bukit savana yang di sana keragaman sapi, kambing, dan burung-burung bangau berkejaran?
Ternyata bukan itu semua. Tapi apakah gerangan? sungguh tak lain dan tak bukan, gedung loreng hijau yang mentereng yang di depannya dijaga oleh dua meriam kuno tertancap di tanah, besi-besinya karatan dan keropos, dibaluri cat perak yang bersisa bopeng-bopeng tak merata. Inilah meriam sisa okupasi PD II. Itulah yang membuat hati Socrates kepincut.
Socrates terkesima dengan gedung ini, dia bertanya dengan pedagang gorengan yang kebetulan memarkir gerobaknya di samping gedung itu, “Gedung apakah ini?.”
Pedagang gorengan tersebut menjawab, “Inilah kantor Kodim pak.”
“Kodim itu apa ya?” Socrates terus bertanya.
“Semacam kantornya para tentara, pak.”
“Luar biasa indahnya kota ini ya. Belum pernah aku temui ada semacam kantor tentara seperti ini di dunia, tentara bersenjatakan pemikiran? Ohhhh. . . . Betapa indahnya,” seloroh Socrates dengan kekaguman yang terus menerus memuji.
Si pedagang gorengan terheran melihat sikap Socrates yang seperti itu, lantas bertanya kepada Socrates, “Kalo boleh tau, bagaimana Anda mempresepsikan kalau kantor Kodim ini indah, Pak Tua?”
“Ohhhh, apakah kau tak melihat? Dari tempat penyimpanan senjata, di laci-laci meja, sampai di bawah kursi kantor ini dipenuhi buku-buku?” sergah Socrates.
Dalam hati, Si Pedagang gorengan berkata sambil menggaruk rambut tipis botak di kepalanya.
“Iya sih, sekarang kantor tentara banyak bukunya, besok juga masih akan banyak, kan sekarang tiap hari ada razia buku.”
Singkat cerita, Socrates balik ke Athena, Ia melaporkan hasil kunjungannya, mengabarkan ke murid-muridnya bahwa keindahan Athena kian rubuh dikala kondisi hutang dan krisis berkepanjangan saat ini.
Socrates memberikan saran, semacam eksodus ke kota Qunyuk, kota yang memilihara pemikiran, buku, dan manusianya.
Begitulah kisah Socrates yang paling jenaka.
NB: setelah sekian lama, untuk kedua kalinya akhirnya Socrates menegak racun, yang pertama di minumnya ketika hukuman terhadap dirinya karena berani menegakan kebenaran, yang kedua di minumnya ketika tahu Kota Qunyuk yang sebenarnya.