Masturbasi Revolusi Dan Sang Jenderal Pemenang

Oleh Danang Pamungkas

***

23 Mei 1965, PKI merayakan ulang tahunnya yang ke-45 di Stadion Gelora Bung Karno. Partai bertambah besar dengan jaringan organisasi yang luas sampai ke akar rumput. Jalanan di Jakarta di penuhi oleh warna merah, ratusan ribu orang dari daerah berbondong-bondong menuju Stadion Gelora Bung Karno dengan membawa bendera merah putih, dan umbul-umbul yang bergambar palu-arit. Jalanan menuju stadion seperti semut merah yang sedang menunjukkan kekuatan yang sebenarnya. Di jalan raya ramai-ramai orang berkata “Hidup Aidit, Hidup Bung Karno, Selesaikan Revolusi Indonesia.”

Lek Pardi bersama Parmin sama-sama datang ke Stadion Gelora Bung Karno dengan semangat api revolusi. Menyelesaikan revolusi bersama PKI dan Bung Karno, adalah kenyataan yang tinggal menunggu waktu. Lek Pardi adalah kader BTI dan aktif sebagai seniman LEKRA. Sementara Parmin sudah menjadi Sekretaris Jenderal SOBSI karena ke-aktifan dan militansinya bersama organisasi. Ratusan ribu simpatisan dan kader PKI memasuki stadion disambut dengan tarian-tarian budaya nusantara, lagu-lagu daerah, dan seni pertunjukan bela diri. Kebesaran PKI membuat bangga semua orang termasuk pimpinan Dipa Nusantara Aidit yang sudah duduk di mimbar untuk memimpin acara hari ulang tahun partai. Sementara Bung Karno ditemani ajudannya telah juga duduk di mimbar.

Terlihat Bung Karno dan Aidit sedang berbincang-bincang dan tertawa, entah apa yang di obrolkan mereka. Sementara Lek Pardi dan Parmin bersama massa partai sudah memenuhi tribun penonton dan menyanyikan lagu kebesaran Internasionale yang dipandu grup paduan suara yang menggema seluruh isi stadion.

Sukarno sudah berdiri menyambut Aidit, dan siap-siap berpidato di hadapan prajurit semut merah yang berkumpul di stadion untuk mendengar petuah-petuahnya. Sukarno selalu mempunyai kharisma tersendiri, Ia selalu memakai tongkat dan kacamata, seperti seorang lelaki yang selalu menarik untuk dilihat banyak orang. Ia sudah tak muda lagi, diumurnya yang 64 tahun ia masih tetap bugar, semangat, dan bernyali besar. Kali ini ia berpidato dengan wajah yang bergembira, dan mungkin ia tak mau disaingi oleh gaya pidato Aidit yang selalu berapi-api. Sukarno tahu bahwa ia selalu menarik meskipun sudah tak muda lagi.

“Saudara-sudara sekalian, sudah jam sebelas. Kawan-kawan yang dilapangan tengah sudah tele-tele. Tapi saya hendak memberi amanat tidak terlalu panjang, lebih dulu saya ingin menyampaikan kepada hadirin dan hadirat yang beragama Islam: Assalamualaikum wr, wb.

Massa menyambut “Wassalamualaikum Warohmatullahhiwabarokatuh.”

“Kemudian kepada semua saudara-saudara pekik merdeka.”

Massa menyambut “Merdeka.”

“Saudara-saudara sekalian apa yang dikatakan oleh saudara D.N. Aidit tadi adalah benar. D.N aidit, Dipa Nusantara Aidit adalah benar. kawan Aidit itu namanya hebat. DN, Dipa Nusantara tahu artinya Dipa?

Massa terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Sukarno.

“Nah plonga plongo tak tahu arti Dipa, saya sendiri juga tak tahu” Jawab Sukarno dengan tertawa..”

“Hahaha.” Massa juga tertawa

“Dit, Coba dit. Coba katakan apa arti itu Dipa Nusantara.” Bung Karno bertanya kepada Aidit dan menyuruhnya menjawab langsung dengan pengeras suara.

“Jadi artinya Dipa Nusantara artinya benteng nusantara.” Jawab Aidit dengan santai.

“Hahahaha.” Sukarno tertawa mendengar hal itu.

“Ya saudara saudara, bahwa Dipa berarti benteng. Benteng atau pulau atau karang. Nusantara adalah Indonesia. Jadi benteng Indonesia dan benteng Indonesia Aidit.

Seluruh isi stadion langsung bertepuk tangan

“Apa yang dikatakan oleh saudara benteng Indonesia Aidit tadi adalah benar yaitu bahwa pihak imperealis geger. Sudah beberapa minggu ini, pertama oleh karena PKI hendak mengadakan hari ulang tahun yang ke 45-nya dengan cara besar-besaran. Kedua, bahwa pada rapat raksasa hari ulang tahun PKI ini Presiden Republik Indonesia Sukarno akan hadir dan berpidato.”

Massa bertepuk tangan dan Sukarno melanjutkan pidatonya.

“Pihak imperealis diluar geger, di dalam geger, bahkan mengirimkan beberapa cecunguk-cecunguk, mengerti saudara-saudara? Untuk mengintai-intai apa gerangan yang akan diperbuat Sukarno dalam rapat raksasa PKI. Saya berkata kepada mereka itu, cecunguk-cecunguk itu tidak perlu mengintai-intai ini lho terang-terangan tanpa teding aling-aling. Sukarno ada disini.

Massa kembali bertepuk tangan mendengar keterusteragan Bung Karno.

“Dit, sini ayo terang-terangan tanpa teding aling-aling ayo kita minta dipoteret bersama-sama.

Gemuruh suara lagi-lagi bersorak “Hidup Sukarno, Hidup Aidit.”

Presiden bergandengan tangan dengan aidit menghampiri para juru potret sambil melambai-lambaikan tangan kepada massa, massa menyambut dengan tepuk tangan panjang. Juru potret yang berjumlah ratusan itu mengabadikan momen tersebut, terlihat dua orang penting di negeri ini sedang mengkonsolidasikan kekuatannya untuk melawan serangan pihak imperial.

“Kok pakai cecunguk-cecunguk, intai-intaian, tidak, tidak perlu, saya malahan senang menunjukan diri di hadapan khalayak seluruh dunia, memang benar dulu pernah di dalam kongres PKI yang ke 41, saya lebih dahulu mensitir peribahasa Jawa: Dudu Sanak. Dudu Kadang, Yen Mati Aku Melu Kelangan.

Massa bertepuk tangan lagi.

“Pada waktu itu malah saya berkata, bukan saja dudu sanak dudu kadang, tetapi saya berkata yo sanak, yo kadang, yen mati aku kelangan. Apalagi saudara-saudara, apalagi di dalam rangka politik yang kita jalankan. Yaitu politik yang sudah sejak dahulu saya kemukakan, yaitu menggabung menjadi satu semua tenaga revolusioner, progresif, dalam bahasa asingnya de samen bundeling van alle progressive revolutionare krachten. Menggabungkan menjadi satu semua tenaga-tenaga revolusioner progresif. Di dalam kerangka politik yang demikian itu maka sebenarnya bukanlah satu barang yang aneh, bahwa pemerintah Republik Indonesia merangkul kepada PKI.”

“Bahwa saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia merangkul kepada PKI, bahwa saya sebagai Presiden Mandataris dari pada MPRS merangkul kepada PKI bahwasaya sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia merangkul kepada PKI.”

Massa kian bersemangat dan selalu bertepuk tangan, suara itu mungkin terdengar di seluruh kota Jakarta.

Sukarno melanjutkan pidatonya “Sebab siapa yang bisa membantah bahwa PKI adalah unsur yang hebat di dalam penyelesaian revolusi Indonesia ini? Tadi telah disitir oleh kawan Aidit apa sebabnya menurut pendapat saya PKI menjadi besar, PKI ndodro, ndodro itu lihat tangan saya lho, menjalar, menjalar, menjalar, menjalar. PKI menjadi kuat. PKI menjadi sekarang beranggotakan 3 juta, pemudanya 3 juta, simpatisannya 20 juta. Apa sebabnya PKI demikian? Ialah oleh karena PKI adalah konsekuen progresif revolusioner (Tepuk tangan).

“Hidup PKI, Hidup PKI, Jayalah PKI.” Sambut massa mendengar pujian Bung Karno kepada Partai.

“Nah sudah barang tentu saudara-saudara, saya yang berpendapat bahwa Revolusi Indonesia ini tidak dapat diselesaikan, jikalau tidak digabungkan menjadi satu semua, semua, semua tenaga progresif revolusioner, saya merangkul PKI, saya berkata PKI, yo sanakku, yo kadangku, yen mati aku mleu kelangan. Saudara-saudara pernah saya ceritakan kepada saudara-saudara, dan tadipun telah disitir, dikatakan oleh kawan Aidit. Beberapa senjata ampuh yang saya berikan kepada Revolusi Indonesia, ialah antara lain Pancasila, antara lain penggabungan semua tenaga progresif revolusioner dalam Nasakom, antara lain Manipol-Usdek antara lain berdikari. Nasakom ini, saudara-saudara pernah saya ceritakan kepada khalayak ramai Indonesia sendiri, bahwa utusan-utusan daripada perayaan dasawarsa A-A tempo hari. Mereka kagum melihat Nasakom, heran bahwa Indonesia yang tadinya dikatakan oleh kaum imperealis akan lekas hancur, Indonesia akan lekas gugur, Indonesia rakyatnya akan mati kelaparan, Indonesia kacau balau. Bahwa Indonesia itu sebaliknya, ternyata kuat, rakyatnya ternyata teguh, rakyatnya ternyata sehat-sehat, karena Indonesia menjalankan politik Nasakom. Tadi Bung Aidit berkata sebagai bantahan terhadap kamum imperealis yang mengatakan bahwa Indonesia kekurangan pangan, bahwa Indonesia kekurangan makanan, bahwa rakyat Indonesia malahan saking banyaknya makanan, ubi singkong di pakai menutup jebolnya Gili-Gili.

Massa masih menyimak dengan seksama pidato Bung karno.

“Mana ada rakyat di dunia ini yang menutup jebolnya gili-gili dengan ubi singkong saudara-saudara. hanya Indonesia sendiri, saking banyaknya makanan.”

Tepuk tangan panjang menyambut pidato Presiden Sukarno.

Selanjutnya Sukarno banyak menjelaskan bagaimana menuntaskan api semangat Revolusi dan mengkritik orang-orang yang pro-barat dan menjadi cecunguk asing tanpa meresapi amanat pejuangan rakyat untuk pembebasan nasional.

“Saudara-saudara sekianlah sambutanku kepada ulang tahun ke-45 PKI ini dan saya mendoakan agar supaya Partai Komunis Indonesia tetap subur, subur, subur, maju, maju, maju, onward, onward, onward, never retreat. Terimakasih.”

Tepuk tangan riuh oleh Massa, dan seruan “Hidup Bung Karno, Hidup PKI terdengar menggemuruh.”

*

Bulan Oktober 1965, Jakarta berubah menjadi kota belantara api. Api menyala dimana-mana, pembakaran demi pembakaran dibiarkan oleh aparat. Bendera palu arit yang sebelumnya terbang tinggi di langi-langit kota diturunkan dan di bakar. Semua simbol PKI di berangus, beserta kantor-kantornya. Penangkapan massal dilakukan di semua daerah. Desa-desa di sisir militer untuk membawa sebanyak-banyaknya kader komunis untuk di interogasi.

Peristiwa dini hari 1 Oktober 1965, menjadi periode perubahan panjang negeri antah berantah bernama Indonesia. Tujuh Jenderal dibunuh oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Keadaan darurat memaksa Sukarno untuk menyerahkan tanggung jawab keamanan langsung kepada militer. Sebuah usaha untuk menjaga bandul kekuasaan tak beralih kepada siapapun. Sesungguhnya kali ini ia sedang meraba-raba kondisi politik, ia sudah banyak ditinggalkan kawan-kawan seperjuangannya. Menteri-menteri yang dianggap PKI menjadi target operasi militer. Ia telah berada di ujung maut kekuasaan yang ia ciptakan dan kemudian menjadi seorang peragu.

Di jauh tempat, DN. Aidit menginformasikan kepada seluruh kadernya untuk tenang dan tidak menanggapi persoalan ini, karena partai tidak terlibat sama sekali. Di desa-desa kader pun mengikuti perintahnya. BTI, SOBSI, dan Pemuda Rakyat tidak lagi mengorganisir untuk berdemonstrasi. Suasana tenang, damai, seakan tidak terjadi apa-apa. Lek Pardi dan Parmin juga tidak merisaukan peristiwa ini karena mereka yakin bahwa partai tidak terlibat, dan perisitiwa 1 Oktober adalah konflik elit yang tidak melibatkan partai.

“Ketua Aidit menyuruh kita untuk tenang, dan jangan ada yang melakukan mobilisasi tanpa arahan partai.” Kata salah satu petinggi daerah kepada forum.

“Partai memang tidak mungkin terlibat.” Sahut Parmin.

“Dengan anggota yang sudah 3 juta ini, mana mungkin kita bertindak ceroboh seperti itu. Lebih baik bertarung terbuka daripada melakukan sabotase macam itu.”

Semua kader di daerah di kumpulkan oleh masing-masing pimpinan Partai untuk menguatkan soliditas organisasi. Namun dari banyak pemberitaan yang mulai berkembang, DN. Aidit disebut-sebut terlibat dalam gerakan itu. Ada pula yang menyebutkan bahwa penculikan jendral itu disponsori oleh CIA yang bekerjasama dengan elit yang mempunyai hasrat politik yang memungkinkan ia bergerak bebas di kekuasaan.

Namun setelah pertemuan itu, banyak anggota militer tiba-tiba menyisir desa-desa. Awalnya warga menganggapnya biasa, namun lama-lama ada gelagat yang mencurigakan. Mereka mulai mendata siapa-siapa saja yang menjdi anggota PKI dan siapa siapa orang yang mendapatkan bantuan sosial dari PKI.

Situasi semakin panas tatkala Nasution memerintahkan agar PKI diberantas ke akar-akarnya. Perintah itu nyatanya menjadi langkah struktural garis komando dari atas sampai ke bawah. Semua orang ditangkapai, dimasukkan ke dalam  truk, ada juga yang dikumpulkan di alun-alun kota. Di banyak desa orang-orang dikumpulkan di balai desa untuk di tanya-tanya mengenai hubungannya dengan PKI. Banyak dari warga tak tahu menahu mengenai status keanggotaannya di Partai, apalagi mengenai penculikan jendral.

Akhir Oktober dimulai lah operasi pembunuhan separatis yang dilakukan hampir di semua daerah. Militer mulai mempersenjatai warga sipil untuk membunuhi tetangga-tetangganya yang dianggap menjadi kader PKI. Dihembuskan pula isu PKI itu “ateis” dan suka membunuh. Gerwani membunuh jenderal dengan kejam, dan melakukan tarian erotis sambil menyilet para Jenderal. Cerita itu membuat massa emosional dan langsung marah. Mereka membakari rumah, membunuh para bapak-bapak, ketika menemui para wanita mereka juga memperkosanya sebelum membunuhnya. Mayat-mayat berserakan dimana-mana, satu persatu kepala di penggal. Sungai-sungai menjadi tempat pembuangan para mayat. Banjir darah mengaliri aliran sungai, bau anyir, dan jeroan manusia menjadi pemandangan sehari-hari. Beberapa warga hanya diam dan tak berani bersuara. Semuanya diam dalam gelap, lagi dan lagi pembunuhan, penangkapan, dan penembakan terjadi di wilayah pedalaman. Terkadang sebelum dibunuh, para tahanan disiksa dengan setrum listrik, ada pula yang digebuki dan dipukuli sebelum di tembak. Banyak perempuan di telanjangi, sewaktu interogasi, dan selanjutnya di perkosa ramai-ramai. Setelah para tahanan disiksa, dan diperkosa mereka diberi ceramah oleh aparat mengenai Pancasila dan ketuhanan. Bagi militer orang-orang PKI semuanya adalah orang yang tidak Pancasilais dan ateis. Maka dari pancasila dan ketuhanan menjadi tameng agar mereka hidup menjadi warga negara Indonesia, setelah disiksa dan diperkosa.

Lek Pardi, beserta Istrinya mencoba lari dari kejaran militer dan warga sipil bersenjata. Mereka mencari tempat paling aman di hutan-hutan. Anak mereka dititipkan kepada  tetangga yang tidak ada sangkut pautnya dengan PKI. Saat mereka mencari sebuah rumah penginapan di pinggir hutan, mereka menemui seorang kakek yang berumur tua. Ia bersedia menampung mereka, namun hanya beberapa hari saja mereka tinggal disitu ternyata aparat sudah bisa menangkap mereka melalui mata-mata yang disebar di segala penjuru. Lek Pardi langsung dimasukkan ke dalam truk bersama istrinya. Ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, dan diam membisu. Di dalam kebisuannya ia teringat Parmin. “Min bagaimana keadaanmu? Semoga kamu aman.”

Di tempat yang jauh pasca kegagalan melakukan pengambilalialihan perusahaan, Parmin beserta kawan-kawnanya di SOBSI langsung dipenjara oleh aparat. Mereka di pukuli dengan bayonet, dan ditendangi kepalanya seperti hewan. Sebagai pimpinan SOBSI Parmin lah yang paling banyak di pukuli. Balok kayu, sepatu, laras bedil menjadi  makanan sehari-harinya. Ia sampai tak bisa lagi berbicara, mulutnya selalu mengeluarkan darah, matanya mulai tak bisa melihat warna, dan hidungnya sebelah kiri tak bisa menghirup udara. Ia di setrum listrik beberapa kali untuk dipaksa mengaku bahwa ia terlibat dalam gerakan 30 September, tapi ia merasa tidak terlibat. Aparat hanya membuat pertanyaan agar Parmin mengiyakan saja, ia dikerubung dan dikeroyok layaknya tikus yang memakan padi di sawah. Kalau tikus di tangkap dan disiksa setelah itu mati. Tapi Parmin disiksa terus menerus tanpa ia bisa melawan, dan sengaja digebuki agar tidak mati.

Aidit dikabrakan dikejar-kejar sampai ke Solo. Ia lari sendirian ditemani beberapa kader kepercayaannya. Ia menjadi target operasi nomor satu bagi militer. Sementara itu Subandrio jauh-jauh hari sudah tertangkap bersama beberapa jajaran menteri yang lain. Sukarno tak berkutik, ia masih diam. Beberapa kali ia menanggapi pemberitaan seputar Gerwani Yang memotong alat kelamin, ia membantahnya berkali-kali kepada wartawan. Namun tanggapan Sukarno itu tidak pernah dimuat di Koran. Koran-koran berisi propaganda ganyang PKI, dan memuat drama penyiksaan. Semua surat kabar di kontrol langsung oleh militer. Semua partai yang berseberangan dengan Sukarno langsung balik memojokkan posisinya. Ia sekarang hanya menjadi umpan ular untuk melilitnya dan mematikan langkahnya.

Demonstrasi mahasiswa terjadi setiap hari, mereka menuntut Sukarno membubrakan kabinet, dan melarang PKI untuk berkegiatan politik. Jakarta menjadi kota mencekam, aksi demonstrasi kian membesar yang dikendalikan militer menjadi semakin berani menantang Sukarno. Kekuasaan yang kian menipis ditangannya, dan tak ada sekutu yang kuat untuk berkonfrontasi, akhirnya Sukarno menyerah juga. Pemimpin Besar Revolusi Indonesia tumbang, dengan Supersemar yang ia buat sendiri. Bandul politik berubah, militter berhasil memukul PKI sebagai musuh besarnya sekaligus menyingkirkan Sukarno dari singgasana.

Di istana negara Sukarno langsung diasingkan dan dipaksa untuk keluar. Aidit ditangkap dan dibunuh seketika. Semua anggota Partai di bantai dan di buang ke Pulau Buru. Jutaan orang bernasib tak menentu karena kehilangan pekerjaan lantaran dituduh karena dekat dengan PKI. Revolusi Nasional selesai dengan tumbal darah rakyat miskin. Akhirnya omongan besar Revolusi itu hanyalah pekikan omong kosong tanpa wujud. Wujud yang nyata itu adalah pembantaian massal. Seorang peragu dan seorang yang licin hanya beda nasib saja.

Lek Pardi di eksekusi di lahan perkebunan kopi bersama Parmin dengan 35 tembakan yang mengenai seluruh bagian tubuhnya sampai hancur lebur. Istrinya tak ada kabarnya setelah diperkosa bergilir oleh sipir penjara. Ratusan ribu buruh dan petani di bunuh, seakan menerima nasib dari tumbal Revolusi Nasional.

*

Sang Jenderal

 

“Hanya satu kibasan saja langsung habis.” Kata Sang Jenderal yang duduk di taman sambil meminum kopi bersama penasihatnya

“Sungguh sulit di percaya tuan.”

“Sudah saya pikir matang-matang untuk menyikirkan keduanya. Saya harus menuggu lama sekali.”

“Tuan, anda sungguh orang yang sabar. Namun bagaimana bisa mereka melakukan tindakan bodoh seperti itu?”

“Jelas saja, mereka menggunakan massa untuk melawan. Aku tak perlu massa, aku hanya perlu senjata dan alasan, agar senjata itu bisa digunakan.”

“Bagaimana mungkin Partai sebesar PKI bisa Tuan habisi dalam sekejap. Sungguh luar biasa.”

“Aku tahu ia punya banyak mata-mata di sekitaran istana. Partai, Birokrat, militer dan dimanapun. Tapi aku punya orang kunci yang membuat Aidit memakan dirinya sendiri beserta cecunguknya itu.”

“Luar biasa.”

“Kita sudah menang. Tinggal beri semua mitra kerja dan kolega kita mendapatkan bagiannya yang sudah di sepakati.”

“Mahasiswa dapat roti tawar, milisi bersenjata dapat wedang jahe, Politisi dapat Kue Nastar, dan rekan bisnis dapat Pizza. Urus semuanya, aku tak mau ada yang merasa kurang. Ini pesta kemenangan.”

“Baik Tuan.”

“Dunia ini penuh kenaifan dan kemunafikan. Kamu tahu kita ini seperti anak kecil yang bermain-main di kolam buaya. Uni Soviet mendanai semua orang kiri, dan Amerika mendanai semua orang kanan. Dan Aku mendapatkan dua-duanya. Karena aku tahu, ini bukan politik, tapi sebuah bisnis besar yang diperhitungkan dengan angka dan logika.”

“Jika memang dunia ini penuh kemunafikan dan kenaifan. Aku harus berdiri dimana tuan?”

“Kamu sudah tahu, dan tak perlu kujawab.”[]

 

 

Danang Pamungkas, lahir di Rembang 2 Desember 1994. Sekarang ini saya bekerja serabutan menjadi jurnalis lepas di beberapa media online. Bisa di hubungi via email: danangpamungkas637@gmail.com

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0