“Barangsiapa menghancurkan sebuah buku bagus, ia sedang membunuh rasionalitas itu sendiri” -John Milton
“Saya tidak mengira orang masih membakar buku! hanya Nazi yang membakar buku itu!” -Nancy Garden
Dulu saya punya kantor penerbitan. Menerbitkan buku-buku yang pantas dibaca anak muda. Pasti bukan buku pelajaran apalagi buku motivasi. Kami menerbitkan seri buku-buku kritis: Karl Marx untuk pemula hingga Fasisme. Semangat penerbitan itu kami tuliskan dalam sebuah kredo yang militan: baca dan lawan. Jika kamu suka membaca pasti kamu ingin melawan. Itu tesis kami.
Entah bagaimana pangkalnya, tiba-tiba datang serdadu bertanya soal buku. Terutama buku kiri. Istilah yang sudah tak jelas artinya sejak diucapkan oleh tentara dan milisi. Istilah itu merujuk pada sesuatu yang oleh ‘mereka’ dianggap membahayakan dan harus diwaspadai. Sehingga saat istilah itu dilekatkan pada buku, mereka meyakini ada bahaya jika orang membacanya.
Sungguh fantasi yang mengagumkan. Orang membaca buku lalu secara spontan ingin mendirikan negara komunis. Atau lebih mengkuatirkan, orang baca buku lalu dapat ilham untuk melakukan pemberontakan. Bahkan bisa lebih imaginatif lagi, kalau orang baca buku itu kemudian terbit keinginan untuk membuat persekutuan dengan negara komunis dan ingin menjajah negeri ini.
Fantasi itu yang membuat serdadu di Kediri dengan bangga menampilkan hasil tangkapannya. Sederet buku yang dianggap bisa memecah bangsa, mampu membuat keresahan, dan bisa menciptakan stabilitas terganggu. Jujur saya kagum dengan kemampuan aparat dalam meramalkan bahaya sebuah buku. Hari ini tak banyak serdadu atau aparat di dunia yang tugasnya adalah menangkap buku. Tugas yang memang dulu pernah ditunaikan dengan cara gemilang.
Kaum Fasis di Spanyol di bawah Jenderal Franco (1936) melakukan pembasmian pada semua buku yang dianggap bahaya. Sampai-sampai ada himme kaum Republik yang mengabadikan tindakan itu: “Fasisme musuh beringas/dari perdamaian dan kebudayaan/ buku dan sekolah mereka hancurkan/menjadi kuburan ilmu pengetahuan.” Remuk sudah peradaban gara-gara ulah serdadu fasis.
Tak tahukah serdadu di Kediri itu kalau tindakannya mirip dengan kaum Fasis? Mereka yang merasa buku itu bahaya dan penyair jadi profesi yang serupa dengan pemberontak. Jendral Franco mengucapkan hal yang kelak diulang-ulang lagi oleh mereka yang tak menyukai buku; “Semua buku, koran, dan pamflet yang anti-patriotik, sektarian, amoral, bida’ah, dan porno telah menyebabkan kesengsaran dan penyimpangan dalam benak masyarakat.”
Curiga pada buku adalah pengganggu keamanan dan penjualnya adalah aktor intelektual yang berbahaya. Di masa Nazi dengan cara serupa para penjual buku dirazia dan membuang semua buku yang dianggap kiri. Setiap hari pasukan Nazi menelepon para penulis dan mengancam mereka. Bahkan yang keterlaluan lagi, pasukan Nazi mencoreti dan bahkan merusak rumah penulis.
Jadi razia buku dijalankan oleh kaum Fasis yang dikenal biadab oleh dunia. Satuan Nazi seperti SA, SS, dan Gestapo menyebarkan intimidasi dengan menangkap semua penjual buku yang dianggap musuh negara. Lebih jauh lagi, Hitler membuat komisi yang menyiapkan daftar-daftar penulis yang bukunya musti dilarang dan dimusnahkan.
Semua itu berlangsung pada tahun 1933. Dan kini di akhir tahun 2018 hal itu terjadi. Rasa bangga serdadu karena telah menangkap buku yang disebut sebagai komunis. Lalu massa tak resah bahkan mungkin tak menyangka ada kegiatan yang seperti itu. Tapi mereka semua tak memprotes kegiatan yang konyol itu dan persis pada situasi semacam itulah fasisme menaiki tangga popularitas.
Inilah massa ketika teori konspirasi berkembang dan diyakini bisa menjelaskan semuanya: serdadu itu percaya buku bisa meresahkan masyarakat. Dari mana kesimpulan itu muncul kalau tidak di atas praduga atau mimpi? Bahkan bagaimana metodologi untuk memastikan kesimpulan semacam itu jika aparat tak pernah mengajak orang untuk bicara dan membaca buku?
Jangan-jangan serdadu itulah yang membaca buku kiri. Saat melihat cover buku bergambar Aidit mereka membayangkan Aidit muncul dari halaman kertas itu lalu menjelma menjadi ketua PKI dan membalas dendam. Atau ketika melihat muka Karl Marx mereka mengira ia dapat memunculkan pasukan dari huruf-huruf di dalamnya dan meyerbu markas batalion mereka.
Bayangkan di tengah badai konflik serdadu-polisi atau serdadu-tukang parkir, maka komunis adalah musuh berikutnya. Bayang-bayang film pengkhianatan G 30 S/PKI saat orang-orang yang memerankan diri sebagai PKI menangkap para Jendral, mencacinya, bahkan menyilet-nyilet tubuhnya. Kelak hantu-hantu mereka akan segera bangkit dari kubur dan mengajak perhitungan kembali.
Kombinasi antara irasionalitas, ketakutan, dan kesukaan nonton film horror telah membimbing aparat kita masuk ke alam fantasi. Di alam fantasi musuh kita adalah rasa bersalah. Kalau pembaca makin cerdas dan bisa dibimbing oleh teori kritis sehingga mereka tak mudah dipaksa baris-berbaris hingga berpikir secara sama, maka itulah petanda petaka.
Petaka itu tak dimulai dari Kediri, tapi kota inilah yang sekarang mementaskannya. Pentas kenaifan yang dikerjakan oleh kaum serdadu itu membuat kita bisa mengail kesimpulan sederhana. Literasi kita terus memburuk karena kegiatan membaca dan buku sendiri masuk dalam zona bahaya. Dan serdadu yang memulai, mengerjakan, dan melakukan itu semua. Saya yakin Soekarno-Hatta yang penggemar berat buku kiri akan malu jika menyaksikan drama keji ini.(*)