“Keadaan sekarang hampir seperti evolusi terbalik: kita menjauhi pengetahuan yang teruji dan mundur menuju legenda dan mithos yang disampaikan dari mulut ke mulut. Hanya sekarang semua itu dikirimkan melalui alat elektronik” –Tom Nichols
Suatu hari saya jadi moderator diskusi. Pada sebuah kampus negeri yang ternama. Topiknya menyengat: vaksinasi perlu atau tidak?! Saya heran menyaksikan ruangan yang dipadati peserta. Nara sumbernya ada dua: satu petugas dinas kesehatan yang setuju vaksin dan satunya seorang bule yang menulis buku tentang bahaya vaksin. Komposisi yang kita semua paham pada siapa peserta berpihak.
Kebanyakan yang ada di gedung tak setuju dengan vaksin. Mereka menolak dengan sengit. Argumentasinya sederhana: pengalaman pribadi. Secara gigih mereka mempertahankan pandangan bahkan menyerang yang setuju vaksin. Di akhir diskusi saya melihat ada peserta berkelahi. Di parkiran motor dua peserta saling baku hantam. Sejak saat itu saya bertanya-tanya apa memang akal sehat telah lapuk dan tak dipakai lagi?
Belakangan pandangan yang tak masuk akal itu meyerbu: benarkah bumi itu tak bulat? Apakah telur memang baik untuk dikonsumsi? Hingga air mani unta apa memang sehat untuk diminum? Tiap orang mudah saja berpendapat meski itu konyol dan salah. Tapi belakangan pandangan keliru itu meraih pengikut yang luar biasa. Tak hanya orang awam bahkan mereka yang terdidik bisa percaya dengan pandangan konyol itu. Bagi mereka tak semua pandangan pengetahuan itu harus disetujui! Kok bisa?
Karena mereka percaya tak semua pendapat ilmuwan itu benar. Disebutlah kesalahan diagnosa atau peryataan keliru yang kadang muncul dari seorang ilmuwan. Pandangan yang keliru itu disimpulkan dengan gegabah sebagai ‘semua ilmuwan itu bisa keliru’. Kesimpulan tragis itu membuat mereka kemudian mengeluarkan pendapat yang melawan semua pandangan pengetahuan.
Sayangnya pendapat konyol itu disepakati karena ada kepercayaan diri yang besar kalau mereka-yang melawan pandangan pengetahuan- itu menganggap dirinya pintar. Itulah yang dinamai dengan ‘Efek Dunning-Krugger’: semakin bodoh anda, semakin anda yakin kalau anda sebenarnya tidak bodoh. Coba bayangkan seorang yang dengan bangga bilang bumi itu datar atau pendapat sebaiknya bus itu bangkunya dipisah berdasar keyakinan agama?
Orang kehilangan apa yang dinamai dengan: ‘metakognisi’: kemampuan untuk menyadari kesalahan, dengan mengambil jarak, melihat apa yang sedang Anda lakukan, lalu menyadari bahwa Anda salah melakukannya (h.54) tapi mengapa kita kehilangan itu semua? Pergaulan sosial ternyata membuat kita menerima apa yang dinamai bias informasi: kecenderungan mencari informasi yang hanya membenarkan apa yang kita percayai, menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang kita sukai, dan menolak data yang menentang sesuatu yang sudah kita terima sebagai kebenaran.
Setiap pernyataan bisa muncul tanpa ditimbang bahkan tanpa bukti. ‘Bukti’ diartikan sebagai ‘hal yang saya anggap benar’ bukan ‘hal yang teruji sebagai fakta berdasarkan peraturan yang sudah disepakati’. Keadaan ini yang membuat teori konspirasi mendapat dukungan luar biasa. Kisah konspirasi hanya jalan orang untuk memberikan konteks dan makna pada kejadian-kejadian yang menakutkan. Teori ini berguna karena mampu memuaskan hasrat heroik kita.
Sekarang ini kita dikuatirkan oleh bahaya PKI dan China. PKI sebagai organisasi politik yang dibunuh Soeharto sejak 1965 itu dikuatirkan bangkit lalu merayap untuk memperoleh dukungan. Dan kini ada jutaan pendukungnya. Mengapa bisa PKI bangkit? Karena China yang mendukungnya. China sebentar lagi akan menjajah negeri ini dengan bukti banyaknya orang dan barang China.
Siapa yang mengatakan ini? Bukan Dosen HI atau pakar International tapi orang yang sering dapat mimbar. Bahkan ancaman ini ditebar melalui WA, Face Book hingga Twitter. Cara berfikir sterotip inilah yang menghasilkan kenaifan. Sterotip cirinya adalah kebal terhadap uji fakta. Enggan untuk menguliti data dan mencari bahan pembandng sehingga sikap yang dominan adalah ‘sok tahu’
Harusnya pendidikan bisa merawat akal sehat dan kesadaran kritis. Nyatanya pendidikan merosot jadi pelatihan. Lama-kelamaan sekolah seperti ‘tempat hiburan’ karena yang diutamakan fasilitas ketimbang pembelajaran. Bahkan dengan sinis penulis menilai hubungan dosen dengan mahasiswanya tak lagi hierarkhis tapi setara bahkan cenderung mahasiswa remehkan dosen. Semua itu terjadi karena sekolah mulai menarik ongkos tinggi.
Inilah era dimana pengetahuan tak lagi diperoleh melalui lembaga pendidikan tapi cukup internet. Sekolah jadi tempat belajar bukan karena menawarkan ‘metodologi dan materi’ pengetahuan, tapi sertifikat. Pengetahuan lebih persisnya informasi didapat dari Internet. Maka pendapat tak lagi merujuk pada ilmuwan tapi selebritis. Kontroversi berawal dari sana dan pandangan naif muncul begitu mudah.
Lebih kacaunya pola interaksi berbagai talk show yang muncul di televisi atau radio selalu mengajak penonton atau pendengar terlibat. Ruang diskusi cair dengan semua orang mengatakan pandangan hingga kabur mana yang gosiip dan mana yang fakta. Dalam suasana seperti itu orang lebih ingin mencari konfirmasi ketimbang informasi. Proses akademisasi seluruh acara membuat tak ada batas antara ‘pakar’ dan ‘penonton’.
Dalam suasana pengap seperti itu yang muncul adalah demagog yang mempercayai apa saja yang dikatakan. Ketidaktahuan meraja lela bukan karena tidak tahu tapi keangkuhan akan pengetahuan yang kurang. Lenyaplah peran para pakar yang mendaki pengetahuan melalui metodologi ilmiah serta menyatakan pandangan otoritatif sesuai dengan basis kompetensinya. Maka tepatlah judul buku karya Tom Nichols yang saya baca ini sebagai Matinya Kepakaran.
Buku ini secara skeptis melihat ancaman massa yang menuntut bukan hanya kesetaraan politik tapi kesetaraan segalanya. Inilah era ketika pandangan massa dianggap yang benar, yang mayoritas musti diikuti dan yang terbanyak mustilah didahulukan. Era dimana orang pandir dalam jumlah mayoritas lebih dimuliakan ketimbang orang berakal tapi sedikit dan pendapatnya berbeda dengan massa.
“Massa meremukkan semua yang berbeda, semua yang bagus, setiap individu, serta yang berkualitas dan terpilih. Siapa pun yang tidak seperti semua orang, yang tidak berpikir seperti semua orang, memiliki resiko disingkirkan.” -Jose Ortega y Gasset