“Jika kita lihat seseorang dengan tanah yang begitu luas, tepatlah kita sebut dia monster yang menghancurkan sumber kehidupan begitu banyak orang” -Adam Smith
Saya punya tetangga tukang sampah. Ponijo namanya. Pria yang lima belas tahun lalu menyeret bak sampah dengan tanganya dan kini menggunakan motor bututnya. Tiap hari saya melihatnya mengambil sampah perumahan satu per satu. Katanya ada dua atau tiga perumahan. Saya pernah mendatangi rumahnya.
Pekaranganya padat sampah. Kalau lewat pintunya kita musti siap mencium bau apa saja. Bayangkan tinggal di rumah seperti itu apa yang akan terjadi? Istri saya lulusan ilmu kesehatan selalu percaya kalau kebersihan itu segalanya. Berkali-kali ia mengungkapkan kekuatirannya kalau rumah diisi oleh sampah atau tempat sampahnya ada di rumah. Ilmu yang dipelajarinya sukar mempercayai kalau Ponijo baik-baik saja.
Tapi pengetahuan bisa tumpul kalau melihat kondisi Ponijo. Ia bugar, sehat, dan kuat. Sampah seperti vitamin yang menambah daya tahan tubuhnya. Bersama sampah ia seperti membuat perisai yang mampu menangkap virus apapun. Sesekali pilek itu wajar, tapi tak ada penyakit serius yang menyerbunya. Ia seperti Hulk yang punya kekuatan berlipat ganda saat mengangkut sampah.
Saya selalu senang melihatnya hingga suatu ketika saya baca berita: 10 orang kaya di Indonesia. Majalah Forbes yang merilisnya dan media Indonesia seperti biasa mengutipnya. Urutannya tak banyak bergeser dan diisi oleh orang-orang itu lagi. Di urutan teratas selalu diisi oleh dua saudara Budi dan Michael Hartono.
Budi dan Michael ini pemilik Djarum. Tak hanya itu juga punya BCA. Dan tentu kekayaan lainnya yang jumlahnya bejibun. Pemilik pusat grosir WTC Mangga Dua hingga Hotel Indonesia Kempinski (eks Hotel Indonesia). Ditaksir oleh Forbes, kekayaan dua saudara itu mencapai US$ 35 millliar yang setara dengan Rp 507,5 triliun.
Bayangkan dua saudara ini punya kekayaan yang berlipat ganda. Jumlahnya bisa membeli apa saja dan mempengaruhi siapa pun. Bukan kemujuran, tapi keistimewaan pasti akan melingkari hidup mereka berdua. Dua saudara jutawan dengan keluarga yang pastinya hidup seperti di awan.
Habis baca berita itu saya teringat lagi dengan Ponijo.
Ponijo punya saudara kandung yang juga pemungut sampah. Saya kadang menyuruhnya bersihkan halaman. Saudaranya itu bisa apa saja: bersihkan taman, menampung rongsokan, hingga memperbaiki alat-alat dapur yang rusak. Rumahnya diisi oleh barang apa saja yang tak terpakai dari pemberian siapa saja.
Dua saudara yang hidupnya bertetangga ini tak cukup akrab tapi hangat. Kalau Ponijo tak punya waktu biasanya memberitahu saudaranya kalau ada yang perlu bantuan. Ketrampilan keduanya sama persis: memungut sampah, melakukan kegiatan yang kaitanya dengan sampah.
Siapa yang lebih makmur? Ponijo atau adiknya? Sepintas saya melihat keduanya punya harta karun serupa: barang rongsok, rumah sedikit kumuh, dan istri yang setia. Kenapa mereka dua-duanya jadi pemungut sampah? Mungkin itulah pilihan yang tersedia atau memang ketrampilan mereka hanya itu.
Jika pertanyaan sama diajukan pada dua saudara Budi dan Michael, pasti jawabanya bisa panjang. Bisnis utama mereka berkembang, proteksi politik, hingga kemampuan merakit lobby dan perlindungan. Kekayaan itu bermuara pada ketrampilan, kesempatan, dan mungkin kelihaian.
Andai saja Majalah Forbes membuat susunan 10 orang paling miskin, saya tak tahu apakah dua saudara pemungut sampah Ponijo dan adiknya akan masuk dalam jajaran. Bukan karena apa-apa, kemiskinan jauh lebih mudah diterangkan secara rasional ketimbang kekayaan. Sebab, kaum kaya bukan hanya sulit untuk ditiru, tetapi juga tak mudah diteladani.
Apa kesamaan Ponijo dengan Michael? Keduanya tinggal dalam lingkungan yang sama. Namanya Kapitalisme. Sistem yang selalu menimbulkan dua masalah normatif: (1) defisit keadilan global dan (2) defisit demokrasi global. Yang pertama menegaskan adanya kesenjangan kemakmuran, lalu yang kedua rendahnya partisipasi dan akuntabilitas.
Kalau warga terdiri atas dua spesies: Hartono dan Ponijo, maka yang muncul pastilah privatisasi saat ‘aku’ lebih punya prioritas dibanding dengan ‘kita’. ‘Aku’ Hartono pasti lebih didahulukan urusannya ketimbang ‘Kita’ Ponijo. Implikasinya sangat serius karena didahulukan itu bisa menyangkut apa saja. Bisa dalam layanan bahkan dapat pula pada perlindungan.
Mengapa mereka didahulukan? Karena bersama kosentrasi kekayaan ada kosentrasi otoritas. Bayangkan kekayaan yang menggunung itu bisa dipakai untuk apa saja. Terlebih bangunan demokrasi kita sandingannya ekonomi pasar. Penggerak utama ekonomi ini adalah kaum jutawan yang membeli dukungan dan perlindungan pada otoritas. Banyak contoh yang bisa dirujuk dari situasi ini.
Menyulap lahan hingga berdiri perumahan tanpa mengurus ijin, hingga membeli dukungan atas proyek yang sebenarnya bermasalah. Kisah Meikarta hingga pembangunan pabrik semen adalah contoh besar bagaimana kolaborasi jutawan dan pemegang otoritas.
Kini para jutawan itu dilansir kekayaanya. Tumpukan yang menegaskan lagi ketimpangan yang kita hadapi: 10% orang terkaya menguasai 75,7% kekayaan seluruh Indonesia. Bahkan laporan kekayaan global 2016 menunjukkan ilustrasi yang menyakitkan: satu persen orang terkaya mengendalikan hampir 50% kekayaan di negara ini.
Mungkin Ponijo tak tahu di mana posisinya. Tapi yang jelas Michael tak mengenal Ponijo sama sekali. Dua nama itu hidup di negeri yang sama, menghirup udara yang serupa, dan memiliki penguasa Pak Jokowi namanya. Kalau Michael dimuat di majalah Forbes, sedang Ponijo mungkin tak punya kesempatan semewah itu.
Saya percaya mereka berdua pernah dibayangkan oleh para proklamator dalam sebuah kalimat yang indah dalam Pembukaan UUD 1945. “. . . . Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Frasa tadi mungkin pernah didengarkan Ponijo dan saya rasa Michael mungkin juga pernah membacanya.(*)