“Korupsi akan selalu terjadi, sejauh orang memburu kuasa dan harta. Gerakan memberantas korupsi akan selalu terjadi, sejauh orang memperjuangkan masyarakat yang tertata baik untuk mereka hidupi” -Robert Neild
Saya sampai bosan melihat berita soal korupsi. Isinya selalu sama: KPK menangkap basah pelaku korupsi yang kebanyakan pejabat tinggi. Kalau kita suka menyaksikan film tentang pencuri yang lihai, pasti akan kecewa melihat taktik para koruptor. Mencuri uang rakyat dengan cara konyol: menggelembungkan anggaran, menerima suap, hingga memalsukan putusan hukum. KPK seperti institusi yang selalu mahir menangkap pencuri tapi tak pernah mampu untuk membuat takut calon pencuri lainnya.
Jika ditanya mengapa orang korupsi, pasti jawabanya banyak. Mulai dari akhlak individu, hingga rusaknya institusi. Lebih banyak lagi kalau ditanya bagaimana cara penanganannya. Bisa berawal dari kampanye, hingga tegaknya hukum. Bentangan cara ini membuat kegiatan anti korupsi dapat berujud apa saja: bisa berupa memanjat doa, membuat sekolah anti korupsi, hingga pentas musik tentang anti korupsi. Maka seminar, diskusi, hingga pelatihan korupsi sama banyaknya dengan kegiatan korupsi.
Konyolnya, pelaku korupsi terkadang ikut dalam deklarasi anti korupsi. Pelaku korupsi ikut memilih anggota KPK. Pelaku korupsi juga pernah mengadili pelaku korupsi. Lebih sesat lagi, pelaku korupsi ikut merancang aturan anti korupsi. Kejahatan ini begitu sempurna sehingga penjahatnya dapat berasal dari mana-mana. Tak jarang kode kejahatan menjijikkan ini justru menggunakan bahasa agama segala. Korupsi dengan pelakunya bisa punya hubungan yang ironi dan kontra.
Kadang saya takjub melihat deklarasi anti korupsi yang dilakukan oleh pejabat hingga petinggi parpol. Sungguh ini adegan paling kolosal dalam seni drama karena kita semua tahu merekalah pelakunya. Tanpa malu, mereka berujar bahwa korupsi itu perbuatan tak pantas. Seolah mereka lupa kalau kawan karibnya yang jadi pejabat atau dulunya ketua partai adalah koruptor yang kini mendekam di penjara. Layak memang para politisi atau pejabat ini mendapat anugerah sebagai pemeran terbaik pentas pura-pura tidak korupsi!
Jika kemudian ada buku yang mengangkat judul tentang korupsi, kira-kira apa manfaatnya? Lebih-lebih buku ini memiliki ketebalan -yang untuk ukuran penulis Indonesia- tergolong raksasa. 664 halaman plus daftar pustaka dan indeks. Romo Herry -B. Herry Priyono- lebih dikenal sebagai penulis neo liberalisme dan etika. Malah jarang saya melihat dirinya ikut deklarasi anti korupsi.
Saya tak tahu apa yang memotivasinya kini untuk menulis karya serius ini.
Tapi saya tertawan oleh ketebalan buku ini. Andai saya ketemu romo Herry pasti saya akan bertanya: siapa yang sebenarnya jadi sasaran pembaca buku ini? Mungkinkah buku ini dibaca oleh mereka yang sekarang ini terlibat dalam kegiatan anti korupsi? Dapatkah buku ini menyadarkan pembacanya kalau soal korupsi ini bukan masalah sepele tapi punya akar yang jauh di masa lampau sehingga tak gampang memberantasnya?
Saya menyukai buku ini karena bicara korupsi tak hanya pada sisi hukum atau metode penanganan. Mula-mula yang diusut adalah konsep, definisi, dan batasan. Lebih 100 halaman pembaca diajak untuk bertemu dengan itu semua melalui teropong para pemikir dari abad klasik hingga kini. Nyatanya korupsi punya arti yang luas: paling tidak diambil sisi yang paling sederhana, terdapat tiga poros perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi.
Tiga poros terbut yakni poros pada jabatan publik, poros pada mekanisme pasar, dan poros pada kepentingan publik [halaman 42]. Definisi ini sebenarnya bisa menyimpan biasnya sendiri: bias hukum (korupsi sebagai pelanggaran hukum), bias sentrisme negara (korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan/jabatan pemerintahan), dan bias ekonomi (korupsi sebagai penyelewengan keuangan publik) [halaman 57].
Tapi konsep perlu didaratkan pada pemahaman dan konteks. Buku ini mengajak kita untuk memasuki hutan definisi maupun pemaknaan korupsi sebelum modernitas. Aristoteles melihat korupsi pertama sebagai degenerasi (kemorosotan) tata pemerintahan serta kehidupan polis, dan korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan/jabatan publik [halaman 77]. Kemudian diperuncing konsep ini oleh Agustinus. Korupsi sebagai degenerasi menyangkut seluruh kondisi ‘kejatuhan’ manusia dalam hidup temporalnya sendiri [halaman 107].
Jelajah konsep ini mulai menunjuk betapa korupsi mengalami perluasan makna seiring dengan ciri turunan politis korupsi. Korupsi selalu berciri politis, dan jatuh bangunnya politik berpusat pada persoalan korupsi [halaman 143]. Dengan terang dilukiskan bahwa soal korupsi membayang dari tradisi Yunani, Romawi Kuno, India Kuno, dan Islam; konsep yang kelak akan banyak diperbaiki di masa renaisance.
Dengan melihat para ilmuwan di masa terdahulu, penulis mengajak kita untuk menulusuri makna politis dari kejahatan korupsi. Thomas Hobbes yang melihat korupsi berawal dari pengelolaan kekuasaan dan karenanya berciri politik. Korupsi bagai degenerasi yang artinya kerusakan tatanan negara yang membuatnya merosot kembali ke kondisi kacau tanpa negara [h156]. Bahayanya, kalau negara runtuh akan terjadi kekacauan secara natural.
Itu sebabnya Montesquei menulis korupsi terjadi ketika prinsip kehormatan yang menjadi etos kebangsawanan membusuk dan gagal membatasi kekuasaan. Konsep ini melihat kepentingan diri (dalam rupa kehormatan) sebagai sebab korupsi, sedangkan cinta diri dapat mencegah korupsi. Konsep ini nanti punya konsekuensi yang jauh karena kepentingan diri bisa berujud pada tindakan yang menguntungkan diri yang muncul melalui praktek dagang.
Semangat dagang itu punya konteks saat kehidupan kala itu dipadati oleh kegiatan jual beli. Montesquei bilang, “Semangat perdagangan membawa etos kecermatan, sikap hemat, tidak berlebihan, kerja keras, kebijaksanaan, ketenangan, tertib tatanan, dan keteraturan” [halaman 169]. Konsep ini kelak dipertajam oleh Adam Smith yang sering kena tuduh sebagai bapak kapitalisme.
Bagi Adam Smith yang menolak definisi moralistik yang berbau nostalgia, kepentingan diri itu tak selalu nista. Apa yang nista bukan kepentingan diri, melainkan keterpusatan diri yang cirinya selalu manipulatif [h.185]. Tesis pokok yang jadi gagasan penting Adam Smith soal korupsi adalah hak istimewa yang melestarikan perbudakan, yang mana itu semuanya menentang etos egaliter yang semustinya ada dalam praktek dagang.
Kesimpulan pendekatan Adam Smith penting: korupsi baginya bukan menyangkut moralitas pribadi, melainkan menyangkut manipulasi standar kelembagaan tatanan yang didasarkan pada prinsip kesamaan dan kesetaraan [h.194].
Konsep ini terus diperluas oleh ilmuwan berikutnya, di antaranya Jeremy Bentham. Korupsi secara eksplisit dikaitkan dengan idiom politik demokrasi sebagai pemerintahan perwakilan. Artinya korupsi melibatkan penyelewengan mandat yang diberikan warga negara pada para pemangku kekuasaan dan jabatan publik [h.212].
Di sinilah kearifan Jeremy Bentham penting dikutip, “Membasmi total korupsi adalah harapan yang terlampau tinggi, tetapi memperjuangkan agar korupsi mencapai tingkat yang jauh lebih rendah daripada yang ada sekarang bukanlah harapan yang terlampau tinggi” [halaman 218].
Nasehat Jeremy Bentham menarik untuk dikutip. Penanganan korupsi bisa dilakukan dengan: Pertama, mengurangi sebanyak mungkin jumlah barang atau jasa yang dengan cepat berubah menjadi objek korupsi. Kedua, instansi yang berwenang menunjuk atau mengangkat personel diberi kekuasaan untuk memberhentikan siapa pun anggotanya yang tidak kompeten dan mendayagunakan sebesar mungkin kekuatan pengadilan opini publik mengenai prilaku orang lain [halaman 218]. Gagasan macam ini muncul pada akhir abad ke 18 awal abad ke-19.
Buku ini berusaha meletakkan konsep sebagai dasar untuk menjangkau apa yang dimaksud dengan korupsi. Jangkauan konsep ini penting karena bisa untuk memahami mengapa kita kesulitan mengatasi korupsi dan apa yang membuat kemampuan hukum terbatas sekali dalam membasmi korupsi. Bukan hanya itu, konsep ini bisa dipakai untuk meluruskan apa yang selama ini jadi dilema tentang posisi kejahatan korupsi.
Apakah korupsi ‘bisa menjadi pelumas pembangun’ atau ‘korupsi adalah pasir pengganjal pembangunan’? Melalui pertanyaan ini akan didapati juga melonjaknya perhatian pada isu korupsi pada dekade 1990-an, pasca runtuhnya Uni Soviet dan gencarnya World Bank, UNDP, USAID, hingga OECD melancarkan kampanye anti korupsi. Sisi inilah yang bagi saya amat menarik, karena penulis menguliti isu yang selama ini dinamai sebagai ‘industri anti korupsi’.
Korupsi dicopot dari isu moral atau rusaknya batang tubuh negara, menjadi kekacauan tata kelola. Inilah istilah yang trend dalam melihat, menyoal, bahkan membasmi korupsi. World Bank membantu merusmuskannya dan itu semua kelak diteruskan oleh badan-badan International lainnya. Kampanye yang mendekatkan, bahkan meletakkan korupsi pada definisi klasiknya: salah guna tata kelola.
Padahal, meletakkan korupsi sebagai tata kelola bukan saja menyempitkan, tapi juga tak mampu menjelaskan ‘kegemaran’ orang melakukan korupsi. Buku ini berjasa sekali dalam meluaskan konsep korupsi dengan menggali banyak pendekatan: seperti kriminologi yang meletakkan korupsi sebagai kejahatan terorganisasi, sehingga korupsi selalu terkait dengan kondisi hak asasi manusia bahkan terorisme [halaman 396].
Yang membuat kita bisa terpesona dengan buku ini, ia memberikan kita gambaran samudera kejahatan korupsi. Membentangkan pelakunya hingga arah agenda perubahanya. Sehingga, wajar jika buku ini tak hanya menjelaskan rincian bagaimana agenda penanganan korupsi, tapi juga mengajak kita untuk memahami kompleksitasnya. Di ujung perjalanan, buku ini menarik korupsi sebagai persoalan moral.
Bukan moral yang ujudnya khutbah, tetapi ajakan untuk melihat kalau korupsi tak bisa dituntaskan dengan resep yang teknokratis. Membawa nilai moral membuat kejahatan korupsi, sebagaimana dikatakan Kant, “Yang menentukan bukanlah tindakan yang terlihat, melainkan prinsip kedalaman yang tak terlihat” [halaman 465]. Maka, korupsi bukanlah urusan beberapa individu yang menyimpang atau penyalahgunaan jabatan publik semata.
Korupsi perlu dikaitkan dengan tujuan awal tatanan politik itu berdiri. Sehingga agenda membereskan korupsi yang pertama-tama adalah memperbaiki tatanan yang mengandaikan sistem yang sepenuhnya murni. Yang murni atau tidak korup adalah sesuatu yang tak mengenal ambiguitas dan kompromi. Sebaliknya, yang korup selalu beroperasi dalam situasi yang ambigu dan kompromi [halaman 513].
Penulis mengajukan sesuatu yang langka dalam wacana anti korupsi di Indonesia: meletakkan agenda etis-normatif melawan korupsi di tengah realisme politik yang nampaknya mustahil. Sisi yang mau disimpulkan dan rasanya penting adalah pesan utama penulis kalau mendekati korupsi sebagai persoalan moral akan selalu mengandaikan pembentukan ‘keutamaan warga’ [halaman 515].
Kesegaran ide ‘keutamaan warga’ bukan karena praktek ini sering dikhutbahkan, tapi karena perbuatan ini jarang dilakukan. Misalnya saja, cinta dan semangat publik pasokanya akan selalu bertambah jika sering dipakai tapi bisa lenyap kalau tak dipakai [halaman 517]. Tanpa topangan ‘keutamaan publik’ sungguh mustahil korupsi itu bisa diberantas. Itu jawaban mengapa dalam Global Corruption Barometer atau Corruption Perception Index tak ada negara yang merosot atau melonjak drastis dalam penanganan korupsi.
Semua transformasi itu tidak terjadi di luar waktu dan tak terjadi tanpa proses panjang pembentukan ‘keutamaan warga’. Buku ini diam-diam tak hanya bicara soal korupsi, tapi wajah kusam bangsa ini yang tampaknya butuh kerja keras, kerja sama, dan kesadaran untuk mengubahnya. Karena korupsi itulah, kita telah menjerumuskan negeri ini dalam suasana kembali ke masa kolonial: pemerasan, feodalisme, dan penindasan.
Karena korupsi bukan istilah ‘penunjuk’ seperti membunuh dan penyuapan, tapi istilah penilaian seperti misalnya jahat [halaman 519]. Sehingga, cukup kita membaca buku ini untuk memahami kenapa ada korupsi, mengapa sulit diatasi, dan kita dibuat pesimis bahkan menjulukinya sebagai budaya korupsi.
Saya tertegun usai baca buku ini dan menyimpan rasa kesal, lelah, tapi juga antusias. Kesal karena agenda pemberantasan korupsi tak mau tahu dengan cakupan luas makna dan implikasinya. Studi anti korupsi tak menelusuri sejauh itu dan sibuk dengan pendekatan teknoktarisnya. Lelah karena kita memusatkan perhatian pada aspek hukum melulu dan kurang imaginatif dalam memahami kejahatan ini.
Tapi saya antusias karena buku ini muncul. Baiknya buku ini diwariskan dalam teks yang lebih sederhana tanpa mengurangi kekuatan kandunganya. Lebih ideal lagi buku ini jadi sandaran kita dalam merancang peta penanganan korupsi atau standar konseptual untuk mengembangkan kurikulum anti korupsi yang kini mau dicanangkan oleh menteri pendidikan.
Kalau mau disebut kelemahan: buku ini membawa limpahan analisis yang butuh stamina, waktu, dan daya tahan untuk membaca serta memahaminya. Saya tak yakin para akademisi akan menyantap buku ini dengan rasa antusias, terutama di tengah situasi korupsi yang subur di Perguruan Tinggi. Tapi mungkin itulah keutamaan buku ini: monumen mewah di antara perangai jahat yang mengelilinginya.
Bacalah buku ini karena bisa membawa pahala dan perubahan bagi kita!