Oleh; Eko Prasetyo – [Social Movement Institute]
Imaginasi bukan hanya kemampuan unik manusia untuk membayangkan sesuatu yang tidak ada…imaginasi memiliki kuasa yang membuat kita bisa berempati dengan orang-orang yang pengalaman hidupnya berbeda dengan kita (JK Rowling, pidato wisuda)
Kehidupan hukum tidak pernah menurut logika, melainkan merupakan pengalaman (O.W Holmes)
Muda atau tua tidak bergantung pada tanggal dalam suatu masa, tapi keadaan jiwa. Tugas kita bukan menambah usia pada kehidupan, tapi menambah kehidupan pada usia…(Myron J Taylor)
***
Saya senang atas undangan ini. Datang ke kampus yang pernah membesarkan saya. Berjumpa dengan dosen yang dulu pernah mendidik saya. Sepertinya dua puluh tahun itu waktu yang cepat. Saat saya jadi mahasiswa seperti kalian: berfantasi menjadi pembela mereka yang lemah, ingin menegakkan keadilan yang mudah goyah dan maunya mendirikan tatanan hukum yang ideal. Begitulah idealisme dirawat saat masih muda dan disemai ketika menjadi mahasiswa.
Saya tak bisa bercerita banyak tentang keberhasilan. Saya tamat kuliah lama dengan nilai yang pas-pasan. Mencoba peruntungan dengan kuliah pasca tapi tak mampu ditamatkan. Pada soal pendidikan saya harus akui bukan tauladan. Mengingat hal-hal semacam itulah saya selalu malu jika bicara tentang keberhasilan apalagi kiat kesuksesan. Tapi beruntung saya kuliah di Fakultas Hukum, karena inilah tempat dimana imaginasi bisa lahir dan pengetahuan bertaut dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Mungkin itu bisa terjadi karena saya tak begitu rajin datang kuliah. Lebih banyak saya pergi ke shopping-sekarang Taman Pintar-ketimbang ke ruangan kuliah. Saat itu toko buku dan buah bercampur jadi satu. Kita bisa baca buku sambil makan buah atau sebaliknya. Pastilah suasananya jadi agak anarkhi, buah bersama dengan buku dan penjual buku serta buah tinggal bersama. Pemerintah melihat itu sebagai kekacauan, kurang bersih dan pasti tak nyaman.
Itulah pertama kali soal yang saya hadapi. Penggusuran pedagang buah. Soal yang tak bisa dibahas di ruang kuliah tapi masalah gawat yang penting untuk dipecahkan. Kaum pedagang itu berkumpul, rapat dan membincangkan soal ini. Mereka minta pendapat saya, minta pandangan saya dan sudah jelas minta bantuan juga. Jika dipikir mengikuti cara buku maka penggusuran itu boleh saja terjadi: itu memang tanah milik pemerintah, ditetapkan peruntukanya bukan untuk pasar buah dan memang tiap saat bisa berubah fungsi.
Tapi hukum bukan apa yang sudah ditulis. Hukum juga apa yang kita yakini sebagai yang adil. Debat terjadi dan konflik muncul. Bukan hanya keputusan untuk memindahkan tapi kaitanya lebih pada kebijakan ini memberi keuntungan untuk siapa? Desakan pertanyaan itulah yang membuka pandangan saya mengenai arti dan makna hukum. Saya kemudian percaya memang pada dasarnya hukum itu tidak sebagaimana yang diyakinkan dalam ruang kuliah berulang-ulang ‘semua orang kedudukanya sama di hadapan hukum’
Kaidah yang digemakan berkali-kali: hukum dikonstruksikan sebagai suatu kaidah yang netral, dipastikan memiliki otoritas internal yang akan mengikat siapapun dari pihak manapun, tidak peduli kelas sosialnya dan meyakini di kemudian hari kalau hukum akan ditegakkan otoritas yudisial yang netral posisinya. Padahal pada kenyataanya hukum tak seperti itu: hukum didaya gunakan untuk kepentingan kelompok tertentu bahkan dalam pembentukanya dimanfaatkan untuk memuluskan kepentingan tertentu.
Melalui puisi itu mudah dijelaskan:
Karena kami makan akar
Dan terigu menumpuk di gudangmu…
Karena kami hidup berhimpitan
Dan ruangmu berlebihan…
Maka kita bukan sekutu
Karena kami kucel
Dan kamu gemerlapan…
Karena kami sumpeg
Dan kamu mengunci pintu…
Maka kami mencurigaimu
(Rendra, Sajak orang Kepanasan)
Puisi ini menjelma jadi kekuatan penggugah kesadaran. Baitnya mengatakan dengan lugas akan kesenjangan. Hukum kekuatanya sama dengan puisi kalau itu dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan. Harusnya seorang koruptor dihukum setinggi-tingginya, kemudian di penjara biar terhina lalu diberi sanksi sosial sebesar-besarnya. Tapi apa yang terjadi saat ini?
Kecewa itulah yang saya rasakan pertama kalinya. Menyaksikan pedagang buah yang kalah, melihat Marsinah yang dibunuh hingga penculikan mahasiswa yang sampai kini tak tertangani. Tiba-tiba berhadapan dengan hukum kita bisu, kalah dan tidak berdaya. Di masa Orde Baru hukum diperankan sesuai dengan keinginan penguasa. Tercatat dalam sejarah Soeharto merupakan penguasa yang banyak melakukan pelanggaran HAM selama berkuasa. Untungnya mahasiswa menjatuhkan tahtanya dan kita menemukan ruang namanya demokrasi.
Tapi buah demokrasi itu tak diikuti dengan kehadiran kaum demokrat. Himpunan orang yang percaya pada ide persamaan, keadilan dan keterbukaan. Malah kita disibukkan oleh banyaknya pandangan fanatik serta dipenuhi oleh ambisi pembangunan kapitalistik. Inilah era pasca kebenaran dimana pilihan sistem pembangunan diserahkan pada mekanisme pasar dan keadilan jika perlu ditafsirkan ulang. Saat itulah bermunculan kaum demagog yang mencoba meletakkan kepastian hukum diatas dasar kepentingan primordial. Situasi sesat itu yang membawa hukum jadi upaya untuk memeras yang lemah sembari melindungi yang kuat.
Dibutuhkan adanya figur yang membela soal-soal kemanusiaan dengan militan. Mereka bisa tumbuh diatas tangkai nilai-nilai keadilan yang mampu menggerakkan, mendorong dan menyadarkan masyarakat. Soal-soal yang kaitanya dengan kepemilikan tanah hingga hak untuk tidak dianiaya penting dijelaskan. Setidaknya pola pendidikan hukum yang orientasinya adalah penguatan hak rakyat lebih dulu diutamakan. Lebih lebih dalam suasana dimana kebebasan berpolitik berlangsung maka rakyat perlu diberitahu kedaulatanya. Para pendidik sekaligus aktivis hukum inilah yang menjadi perantara kesadaran hukum rakyat.
Muncullah figur seperti Yap Thian Hiem. Juga ada pria pemberani yang bernama Munir. Dikenang oleh sejarah keduanya mengungkit apa yang selama ini langka: keberanian untuk menuntut penguasa yang abai terhadap keadilan. Mereka dengan gagah berdiri bersama para korban untuk menentang sistem hukum yang keji. Darimana keberanian itu lahir? Mengapa mereka punya nyali dimana pada saat yang sama tak semua kawan-kawanya berani? Apa yang membentuk keberanian sebenarnya?
Mungkin kalimat ini bisa merangkum keyakinan Yap Thian Hiem
‘sejarah dari negara-negara berkonstitusi adalah sejarah dari perjuangan rakyat melawan tirani, despotisme, dan absolutisme. Perjuangan dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan hak asasi manusia melawan kekuasaan mutlak. Konstitusi adalah manifestasi dari kemenangan keadilan atas kesewenang-wenangan…’
Kata ‘perjuangan rakyat’ menandakan kalau hukum dalam makna yang idealistik adalah membela kepentingan rakyat lemah. Disebut perjuangan karena untuk melakukan itu semua musti didasarkan atas pengurbanan. Sinonim dalam semangat itulah hukum merupakan senjata orang lemah untuk melawan yang sewenang-wenang. Kini apakah peran seperti itu masih dibutuhkan?
Kini hukum satu-satunya kekuatan agung yang dapat memerankan diri sebagai penyeimbang kekuatan. Baik itu kekuatan politik yang mendominasi arena kekuasaan maupun kekuatan ekonomi yang mempengaruhi keputusan penguasa. Karena kekuatan politik dapat mengabaikan hak-hak rakyat dan kekuatan ekonomi mampu menindasnya. Cukup banyak contoh ketidak-adilan akibat dari keputusan politik maupun pilihan sistem ekonomi.
Walau tak semuanya percaya kalau hukum adalah ‘jalan’ perjuangan tapi butuh diyakinkan berulang-ulang kalau hukum merupakan sarana efektif untuk membela kepentingan rakyat banyak. Upaya untuk meyakinkan itulah yang merupakan kerja utama seorang organiser. Bagi seorang aktivis soalnya bukan bagaimana membela kepentingan rakyat tapi juga memberitahukan pada mereka kalau hukum bisa melindungi mereka.
Sarana yang tepat adalah memberitahu, memberikan pengalaman dan meyakinkan akan kekuatan hukum. Terlebih sekarang ini ada banyak strategi legal yang dipakai untuk mempertahankan hak rakyat: class action hingga judicial review. Semua langkah litigasi ini akan berjalan baik jikalau masyarakat terlibat dalam advokasi dan mampu melibatkan sebanyak-banyaknya kekuatan sipil untuk bersama. Setidaknya itu terlihat pada kasus advokasi semen di Rembang serta pembelaan tanah di Kebumen.
Jika mau disingkat, upaya untuk membangun kesadaran hukum rakyat, memerlukan pembela hukum yang mahir: bukan hanya dalam penguasaan materi hukum melainkan mengagitasi kesadaran hukum masyarakat. Sebuah cara yang bisa dilakukan dengan membentuk sayap bantuan hukum rakyat, sebagaimana yang diperankan di LBH melalui bantuan hukum struktural. Dan pendidikan ini memang jalan menuju kesana.
***
*[Ini merupakan makalah untuk diskusi pada kegiatan Pendidikan Hukum Kritis, 13-14 Oktober 2018. SMI, CLDS, Huma dan Relawan Amnesty International]