Hanya tiga hal yang penting dalam oratoria: penyampaian, penyampaian dan sekali lagi penyampaian (Imperium, Robert Harris)
Jika kita harus melakukan sesuatu yang tidak populer, sebaiknya sekalian saja dilakukan dengan segenap hati, karena dalam politik, pujian tidak didapatkan dengan takut-takut (Cicero)
Kata-kata, tak ada habisnyakah akrobat kata yang dapat kaulakukan? (Lucius)
***
Robert Harris menulis trilogi novel ini selama 14 tahun. Waktu yang tak singkat dan pasti kaya dengan informasi berharga. Berlatar kekuasaan Roma yang sedang ingin menerapkan praktek Republik dimana debat antar anggota senat jadi roh kekuasaan. Tokoh menonjol pada masa itu adalah Cicero: anggota senat sekaligus pembela hukum dan seorang orator.
Novel ini memakai figur Tiro M Tullius sebagai juru dongengnya. Ia bukan tokoh fiktif tapi nama sekretaris Cicero yang sangat terkenal. Pencipta stenografi yang memungkinkan ucapan pembicara publik dicatat dengan lengkap dan benar. Melalui Tiro novel ini membuka babak karir pertama Cicero hingga perjumpaanya dengan banyak peristiwa.
Cicero pribadi yang gigih dan ambisius. Sejak awal berkarir sebagai pengacara dirinya berminat untuk terjun ke politik. Bekal untuk menjadi politisi bukan populer saat itu tapi pengetahuan dan ketrampilan retorika. Pengetahuan membawanya untuk belajar filsafat sedang retorika diajari oleh pengacara terkenal saat itu, Molon.
Teori oratorianya sederhana: jangan terlalu banyak bergerak, tegakkan kepala, jangan menyimpang dari inti pembicaraan, buat mereka tertawa, duduklah cepat-cepat,’karena’ kata Malon ‘tak ada yang mengering lebih cepat daripada air mata’. Kadang dibawanya Cicero ke pantai lalu mengatur jarak tujuh puluh meter (jangkauan maksimum suara manusia) dan berpidato melawan debu dan desis lautan.
Latihan disiplin keras itulah yang membawa dirinya punya kemampuan orasi yang menakjubkan. Modal untuk menjadi senator ternyata tak cukup dengan ngomong. Sama seperti hari ini modal yang pokok adalah uang. Cicero tak punya uang banyak begitu pula orang tuanya. Bekerja mencarinya terlalu lama. Pilihanya adalah menikahi uang, yakni menyunting gadis kaya bernama Terentiana.
Selain senat Cicero beracara dengan membela klien yang datang padanya. Kasus menonjol yang mengangkat dirinya adalah pencurian yang dilakukan Gurbenur pada penduduk pribumi bernama Sthenius. Posisi politik kasus ini tak imbang, Sthenius berhadapan dengan Verres yang banyak punya kawan elit di Roma.
Dari awal kasus ini menarik: Verres mencuri harta penduduk tempat dimanapun ia bertugas. Mengajukanya ke pengadilan tak mungkin karena semua hakim hingga jaksa kawanya semua. Untung di Roma ada tradisi politik menarik: Tribunus adalah wakil warga biasa-plebeius-yang punya kekuasaan mengajukan dan memveto undang-undang, dan mengadakan rapat rakyat.
Berhadapan dengan Verres, Cicero mengatakan: ‘jika kita menemui jalan buntu dalam politik, yang harus dilakukan adalah memulai pertempuran’..dan itulah Tribunus laga pertama yang diantarkan dengan janji politik tukar kepentingan. Wakil Tribunus mau bantu Cicero asalkan dirinya mau dukung Pompeius jadi Konsul. Jabatan tertinggi dalam senat yang dipilih tiap tahun.
Begitulah kisah lobby, persekongkolan dan tarik-menarik kepentingan diekpresikan. Cicero musti berusaha untuk memenuhi janjinya sembari mencari tiap peluang dimana dirinya bisa naik ke posisi lebih baik. Roma kala itu dihuni oleh aristokrat, jutawan dan serdadu. Cicero tak tergolong ketiganya, dirinya hanya orator yang pintar tapi tak punya sekutu.
Pompeius-panglima penakluk dari Roma- didukungnya untuk jadi konsul dengan harapan ada peluang untuk naik ke posisi penting. Setidaknya menjadi aedilis: pejabat yang dipilih untuk pimpin kota Roma. Crassus, seorang tentara tapi juga pengusaha pernah ajak bersekutu tapi ditolaknya. Hortensius lawanya sebagai pengacara tergolong Aristokrat yang selalu jadi seteru. Tapi politik tak berjalan dengan garis lugas hitam-putih.
Terjadilah persekutuan najis: Crassus dengan Pompeius untuk jabatan konsul. Cicero diabaikan. Cicero meradang dan cara satu-satunya yang penting adalah rebut kekuasaan itu. Caranya menuntut penguasanya yang rakus. Verres jadi pintu pembukanya. Penuntutan dilakukan melalui pidato yang mengaggumkan. Itulah saat kebesaran Cicero.
Novel trologi ini juga mengenalkan kita pada sosok politisi Roma yang kelak akan jadi tokoh bersejarah. Diantaranya Caesar yang meyakini sebagai keturunan Dewi Venus tapi jatuh posisi ekonominya. Kebencianya pada kaum arsitokrat yang kelak akan membuat dirinya tak menyukai sistem parlementer dan lebih memilih jadi diktator. Cicero kenal Caesar sejak dirinya masih ingusan.
Latar pengadilan di novel ini jadi lapangan pertarungan politik sebenarnya. Ketika Verres dituntut ada banyak usaha untuk membebaskanya: membeli juri, menekan saksi hingga menguasai jadwal sidang. Semua itu ditaklukkan oleh Cicero melalui taktik singkatnya: perpendek masa sidang dengan menyeret saksi lebih cepat untuk diperiksa menyilang.
Secara dramatik novel ini menyuguhkan paradoks Cicero: bukan sebagai pejuang keadilan tapi politisi. Di benak politisi ‘politik bukan perjuangan demi keadilan tapi sebuah profesi’ Pandangan yang membedakan dirinya dengan Lucius: moralis, idealis dan sialnya sepupu baik Cicero. Hingga suatu saat Cicero membela Fonteius, Gurbenur Galia yang korup, tapi teman Pompeuis.
Permainan kekuasaan lama kelamaan punya taruhan yang besar. Cicero yang melompat kesana kemari, berusaha menautkan hubungan dengan posisi lebih atas dan berusaha untuk membela sekutu tak selamanya mujur. Dengan luar biasa novel ini memotret banyak potongan hidup Cicero yang berusaha menaiki jabatan dengan bertindak licik tapi juga bisa dikatakan cerdik.
Tak ada posisi yang pasti dalam politik, tiap orang melakukan manuver apa saja demi meraih posisi. Termasuk Cicero. Disini novel ini secara piawai mengisahkan bagaimana tiap kebijakan didasarkan untuk pemenuhan ambisi politisi. Bahkan kebijakan yang populis sekalipun. Disana Cicero musti berhadapan dengan tiga pasang kekuatan yang kelak jadi musuh besarnya: Julius, Craccus dan Pompeius.
Tapi Cicero punya pedoman hidup yang optimistik: ‘seni kehidupan adalah mengatasi masalah ketika ia muncul, bukannya menghancurkan semangat dengan mencemaskan hal-hal yang terlalu jauh di depan’. Hanya dalam politik, sikap optimis bukan modal satu-satunya, terutama ketika kedudukan atau jabatan tinggi sudah dipegangnya.
Cicero berhadapan tidak hanya dengan uang tapi kelicikan dalam politik. Caesar tiba-tiba meraih posisi sebagai kepala pendeta. Jabatan yang tak pantas untuk orang yang keji, brengsek dan berakal bulus. Tapi posisi politik seringkali tak sepadan dengan kompetensi. Jabatan politik hanya sebuah tangga untuk meluaskan pengaruh.
Roma berada dalam suasana yang ambigu: senat yang tetap meneguhkan kultur demokrasi dan panglima perang yang maunya jadi penguasa diktator. Suasana yang bahaya itu membawa Cicero untuk berusaha mencari dukungan serta mempertahankan sebisa mungkin tradisi Republik. Disini sekutu jadi penting meski itu bukan karena kesamaan keyakinan tapi kepentingan.
Hanya tak semua kepentingan lestari dan tidak semua kemauan itu terwujud. Begitulah politik Roma yang menyeret Cicero dalam ancaman. Kelebihan Cicero dalam menyatakan pandangan, mencipta pengaruh hingga meluaskan koalisi dianggap berbahaya. Hingga muncul ancaman pembunuhan bahkan kelak terbit aturan yang khusus berlaku pada dirinya: hukuman mati.
Trilogi novel ini menarik bukan karena unsur ceritanya saja tapi pemaparan tiap tokoh. Kelebihan novel adalah menghidupkan politisi Roma: Julius yang ambisius, Cicero yang cerdik, Pompeuis yang menyukai perang dan sanjungan serta Cato yang idealis. Serupa panggung para tokoh ini secara karakter berkembang penuh warna. Tak ada tokoh yang selamanya jahat sama halnya tak selamnya tokoh baik berbuat benar.
Mengapa kita perlu baca novel ini?
Kita bisa paham mengapa politik itu bukan kegiatan yang sepenuhnya jahat dan tak pula mulia. Politik percampuran antara keinginan baik, kemauan bejat hingga usaha untuk mengkompromikan. Tiap politisi seperti buah yang rasanya bisa masam, manis atau pahit. Tergantung pada akar mana dirinya memulai jadi politisi.
Kita juga diajak menyusuri sebuah konflik kekuasaan yang kompleks. Tiap perbuatan politik selalu punya makna ganda: bisa menguntungkan diri atau membahayakan lawan. Disini siapa yang memegang inisiatif, siapa yang mampu menjerat dukungan rakyat dan piawai memelihara sekutu jadi punya banyak kesempatan untuk mempertahankan jabatan.
Bahkan novel ini mengajak pembaca untuk melihat kekuasaan dalam wajah yang paling vulgar. Tiap orang didorong oleh ambisi, sulit untuk menerima pandangan jika itu bertolak belakang dengan kepentinganya pribadi dan dibesarkan oleh keinginan untuk menaklukkan. Kekuasaan punya sisi buram dan bahkan keji.
Mungkin itu sebabnya novel ini tak melihat ada kebaikan dalam kekuasaan. Karena kekuasaan seorang bisa berbalik menikam. Cicero kelak diakhiri nyawanya oleh prajurit yang ketika waktu muda pernah mendapat pembelaan darinya. Tak ada balas budi karena setiap orang hidup untuk memuaskan ambisinya dan memelihara kepentinganya.
Mungkin hanya Cicero dan Tirus yang tetap setia. Tokoh utama ini tak bisa mengelak dari suasana Roma yang dicemari oleh tabiat busuk. Sebagai orang yang berusaha mempertahankan nilai-nilai Republik mereka dikalahkan oleh arus politik yang menujupada watak kediktatoran. Politik memang tak bisa berawal hanya dari niat baik segelintir orang. Politik selalu bermula dari pergerakan sejumlah orang untuk meloloskan kepentingan yang menguntungkan kelompoknya.
Novel ini sedap dibaca sekaligus jadi kaca yang penting untuk politisi kita. Hanya saya tak terlalu percaya mereka suka baca novel semacam ini.