[Pengalaman Membaca Buku Melawan Rezim Infrastruktur ‘Studi Ekonomi Politik’]
Slamet Riadi – [Mahasiswa Pascasarjana Antropologi UGM]
***
Penulis yang bernama lengkap Muhammad Ridha pernah merasakan bagaimana indah, ramah, dan tenangnya jogja di masa dia menempuh pendidikan dan lulus pada tahun 2010. Mungkin juga beberapa kenangan yang dia lalui di jalan raya jogja sangat membekas, sehingga memberikan saya saran pribadi Selamat yah, jangan mabok jogja, bisa tinggal bertahun-tahun itu hehehe. Jalan raya jogja dimasa Ridha berkuliah telah jauh berbeda dengan konteks hari ini. Jogja telah mengenal kata macet dengan gedung-gedung tinggi yang berjejeran dimana-mana. Bahkan teman saya yang pernah lama di jogja sekitaran tahun 2000an justru terkaget-kaget melihat perkembangan jogja hari ini. Singkatnya, lanskap sosial-ekonomi kota jogja saat ini telah menghapus sebagian kenangan, memori, dan peristiwa bagi mereka yang mengenang jogja di era 2000an, dengan digantikan dengan deretan kata kepadatan, kemacetan, dan keresahan.
Cerita saya di bagian awal sangat terkait dengan apa yang akan dikisahkan Ridha, menyoal perkembangan desa-kota dan lebih spesifik lagi terkait jalan raya. Mengapa jalan raya? selama ini mungkin sebagian dari kita luput melihat jalan raya sebagai titik awal dan akhir dari sebuah keresehan. Tepatnya kepada jalan raya mereka tersingkir dan kepada jalan raya pula mereka menggugat. Seperti yang dituliskan Ridha pada awal-awal pembahasan buku ini bahwa;
“Pembangunan jalan-jalan seperti jalan tembus hertasning, jalan lingkar tengah dan luar Mamminasata yang telah membelah desa-desa pertanian antara kabupaten Takalar, Gowa, dan Maros. Proyek-proyek jalan ini tidak hanya menghamparkan material yang siap dilalui saja, tetapi lebih dari itu telah memicu kondisi-kondisi yang kompleks di desa-desa yang dilaluinya…termasuk tingginya angka tuna kisma di tiga desa tersebut dan juga dampak berpindahnya lahan pertanian ke investor-investor usaha properti nasional.” (hal.15)
Gejala menyoal jalan raya yang dijelaskan oleh Ridha, juga pernah saya temui di sebuah desa Sulawesi Selatan. Dimana desa yang saya kunjungi tersebut ialah desa yang baru saja memekarkan diri dari dua desa induk, dengan kondisi jalan yang belum diaspal dan ketika hujan turun maka akan sangat sulit dilalui. Di desa ini saya bertemu dengan seorang anak muda yang berceloteh kepada saya bahwa;
“Seandainya disini ada perusahaan besar, pasti jalan ini cepat diperbaiki sama pemerintah yah, tuturnya kepada saya sambil memandangi jalan didepan rumahnya”.
Dari dua cerita di atas tersirat ketangguhan atau paling tidak keistimewaan dari sebuah jalan raya, dimana dalam dua konteks cerita di atas, nyatanya tidak dapat dipisahkan dari persoalan lebih kompleks yang menyertainya. Misal, cerita pertama yang menuturkan berlomba-lombanya investor menyingkirkan dan menguasai lahan di jalan raya baru Mamminasata atau cerita kedua yang menganggap bahwa salah satunya cara agar jalan depan rumah mereka cepat diperbaiki ialah dengan mendatangkan perusahaan besar di desa mereka.
Konstruk dan imajinasi seperti apakah yang mendasari alam bawah sadar para investor di cerita pertama dan anak muda di cerita kedua, sehingga memiliki anggapan bahwa sebuah jalan yang strategis atau kehadiran perusahaan besar menjadi salah satu faktor yang sangat penting bagi keduanya. Dari sini, tulisan Ridha menemukan konteks dan relevansinya. Dengan menggunakan analisa keruangan dari Henri Lefebvre dan David Harvey, Ridha melihat bahwa persoalan ruang dan segala kompleksitasnya berlansung sangat politis.
Spasio-Temporal Fix dan Ketimpangan Pembangunan
Jalan Raya; Ruang Berbagai Kepentingan merupakan salah satu sub-bab yang ada di buku ini. Dimana pada bagian ini Ridha berusaha mengelaborasi dua pemikiran dan analisa Marxian terkait soal keruangan (hal.21). Diawali dengan pemikiran Lefebvre yang menganggap bahwa ruang adalah tempat dimana proses produksi dijalankan dan karena itu mesti dilihat bagaimana bentuk-bentuk representasi ruang yang berada di dalamnya, sehingga Ridha mencoba menggugat imajinasi keruangan kita dalam melihat jalan raya, seperti yang dia tuliskan berikut ini;
“Klasifikasi jalan raya dan subjek-subjek yang secara potensial bisa berada di dekatnya; jalan kecil (gang) serta bagaimana gang ini dipersepsi dan dikonstruksi bagi subjek seperti apa; apa saja yang layak ditempatkan di jalan raya dan apa yang harus disembunyikan di gang; dimana saja jalan utama, dimana sebuah gedung yang bermakna secara sosial layak ditempatkan dan jalan seperti apa yang harus ada untuk menjadi sarana baginya; jalan apa yang dikonstruksi dalam politik sebagai jalan yang ‘penting’..Siapa yang menentukan itu semua? Di sinilah kita bisa melihat bahwa ruang, sebagaimana dikonsepsikan Lefebvre, adalah ruang yang dikonstruksi oleh elit”. (hal.23-24)
Lantas untuk apa produksi dan konstruksi ruang itu dilakukan oleh kelompok elit hari ini? Dari sini Ridha memberikan penegasan bahwa produksi ruang termasuk jalan raya bertujuan untuk meladeni kepentingan kapital; komoditi harus bisa diproduksi dan disirkulasi secara mudah (hal.27). Akan tetapi, konsepsi Lefebvre terkait produksi ruang untuk para kapital, elit Negara, dan kaum borjuasi belum bisa menjelaskan bagaimana kepentingan Negara dengan basisnya pada ‘logika politik’ dan kepentingan kapital dengan basis ‘logika kapital’, dapat bertahan dengan logika keruangan (hal.29). Olehnya itu, Ridha memiliki tanggungjawab untuk memaparkan pemikiran David Harvey yang dianggap dapat menjelaskan bagaimana logika keruangan di tangan elit Negara dan para kapitalis dapat berjalan, yang dikenal sebagai spasio-temporal fixes.
“spasio-temporal fixes, yakni strategi keruangan yang dijalankan oleh kapitalisme untuk menunda krisis yang inheren dalam kapitalisme secara temporal..ekspansi geografis dan reorganisasi spasial menjadi salah satu opsinya. Namun, opsi ini tidak bisa dipisahkan dari proses pergeseran-pergeseran temporal dimana surplus kapital dialihkan ke proyek-proyek jangka panjang yang butuh waktu bertahun-tahun agar nilai mereka kembali bersirkulasi lewat aktivitas produktif yang sedang mereka dukung pendanaannya…Kompresi ruang dan waktu merupakan sebuah keniscayaan dari perjalanan kapital. Semakin luas jangkauan geografis dan semakin singkat rentang waktu kontrak di pasar, semakin bagus”. (hal.29-31)
Dalam konteks jalan raya yang menjadi perhatian Ridha, tafsir Harvey terhadap ruang dan waktu dapat ditemukan di berbagai daerah Indonesia pada masa kolonial hingga era reformasi. Dari penelusuran yang komprehensif terhadap narasi-narasi historis reorganisasi ruang khususnya jalan raya di masa kolonial, Ridha berhasil membongkar bagaimana mitos jalan dan infrastruktur untuk publik, seperti pembangunan jalan Pos, jalan di Manado, dan di Buton di masa kolonial, nyatanya hanya menguntungkan kepentingan kelas elit dan pemilik pemodal (hal.73).
Di era kontemporer, jalan raya menjadi jantung dari koneksi persebaran komoditi untuk menyatukan dua logika dari dua kepentingan ‘politik dan kapital’ yang dibungkus rapi dan indah atas nama pembangunan. Penelusuran Ridha terkait koneksi persebaran komoditi di Indonesia dibahasakan dalam salah satu bagian buku ini yang berjudul Membangun jalan dan memperlancar sirkulasi komoditas: kasus MP3EI (hal.89). Dari penelusuran berbagai data yang ditemukan oleh Ridha terkait penetrasi MP3EI atas nama pembangunan untuk rakyat nyatanya jauh dari harapan, penuh dengan ketimpangan, dan kontradiksi.
“Proyek besar infrastruktur dan pembangunan ekonomi hanya berpihak kepada kelas pengusaha dan oligarki bisnis lokal, nasional, maupun internasional. Sedangkan bagi rakyat kecil? Krisis perumahan, krisis ruang public, krisis lahan, dan kenaikan harga-harga mungkin hanya sajian awal dari derita panjang dari skandal ini!”. (hal.96)
Apa yang dilihat Ridha terkait beberapa ketimpangan pembangunan infrastruktur dan jalan raya yang terjadi akibat penetrasi kapitalisme pada ruang-ruang geografis tertentu, mengingatkan saya kepada seorang geograf marxis berkebangsaan Skotlandia, Neil Smith. Dalam penelusurannya, Smith mencoba mengabstraksikan bagaimana terjadinya sebuah ketimpangan pembangunan selalu dan acapkali bersifat geografis, serta mengandung praktik-praktik ekonomi-politik (2008).
Bagi Smith, perbincangan tentang ketimpangan pembangunan dapat ditelusuri dari sifat alamiah kapitalisme yang mencari keuntungan dengan berkembang, hinggap, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Perpindahan kapitalisme dari satu ruang yang menguntungkan, berdampak pada sebuah ruang geografis yang tereksploitasi, dimana fenomena ini disebutnya sebagai A seesaw theory of uneven development (2008).
Gerakan Ganda, Merebut Jalan Raya
Salah satu bagian yang menurut saya menarik dari buku ini ialah terkait upaya dan rasa optimis Ridha dalam merekam berbagai bentuk resistensi yang terjadi di jalan raya, seperti yang saya kemukakan di awal bahwa jalan raya sebagai titik awal dan akhir dari sebuah keresehan. Seperti yang dinarasikan Ridha pada bagian awal pembahasan terkait Merebut Kembali Jalan Raya; Sebuah Rekomendasi (hal.117) bahwa jalan raya menjadi titik pertemuan antara sistem produksi dan distrbusi kapital dengan berbagai gerakan-gerakan sosial dan orang miskin, yang dalam terminology Polanyi dikenal sebagai double movement (hal. 118).
Pembahasan yang menyoal ruang pertemuan dari berbagai kepentingan yang terjadi di jalan raya, seperti diulistrasikan Ridha dalam buku ini, salah satunya menyoal terkait bagaimana relokasi dan reorganisasi ruang kampus yang dipaksa menjauh dari kota atau jalan raya. Reorganisasi ruang kampus dalam konteks tulisan Ridha dianggap penting untuk segera dilakukan oleh para pemilik modal, agar berbagai macam bentuk gerakan sosial yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa, khususnya di jalan raya tentu akan mengganggu sirkulasi distribusi komoditi untuk para kapital.
“Kampus-kampus besar dianggap menjadi biang rusuh yang letaknya di jalur transportasi penting dan jalur sirkulasi barang-barang masuk dan keluar Makassar dipindahkan ke luar kota. UIN Alauddin yang awalnya kuliah dan beraktifitas di kampusnya di Alauddin, di kampus yang tepat berada di hadapan jalan masuk kota Makassar dari arah selatan dipindahkan ke daerah pinggiran kota kabupaten Gowa, di kelurahan Samata..Hasilnya lumayan; Aksi mahasiswa menurun drastis. Mereka kehilangan posisi strategisnya di Jalan Sultan Alauddin yang ketika menutup jalan sebentar saja sirkulasi manusia dan barang-barang dagangan industri di Makassar terhenti dan tentu tuntutan politis mereka mudah tersampaikan.” (hal.122).
Maka dari itu, melihat persoalan ruang dan relasinya dengan berbagai bentuk-bentuk negosiasi, penyingkiran, dan komodifikasi, Ridha menutup pembahasan Merebut Kembali Jalan Raya; Sebuah Rekomendasi, dengan sebuah kesimpulan bahwa;
“Nampaknya strategi pendudukan jalan dan aksi-aksi lansung di jalanan adalah strategi penting-jika bukan yang terpenting- bagi gerakan sosial di belahan manapun untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Karena itulah, merebut kembali jalan dari kaum modal, adalah langkah menarik untuk melawan resim neoliberal yang amat kuat menyandarkan kepentingannya di jalanan, menumbangkannya dan membayangkan hidup yang baru, hidup yang lebih baik”. (hal.140).
Simpulan dan Refleksi
Dari buku ini saya belajar banyak tentang ruang yang memuat beragam kepentingan, yakni Jalan Raya. Posisi dan keterhubungan jalan raya dengan berbagai macam aspek kehidupan manusia, berlansung sangat politis, yang terkadang menimbulkan ketimpangan dan cerita tentang penyingkiran dari sebuah jalan raya yang telah dan akan dibuat. Bagi disiplin ilmu saya, antropologi, buku ini dapat menjadi rujukan sekaligus refleksi metodologis, bagi siapa saja yang tertarik melihat isu pembangunan dan kebijakan ekonomi politik yang diawali dari jalan raya. Jika Chambers (1987) menempatkan analisa keruangan pada dua hal mendasar yang perlu dipetakan, yakni ‘dimana masyaratakat bermukim dan bekerja’ serta ‘dimana pusat kuasa dan sumber daya berada’, maka buku ini merujuk pada Jalan Raya sebagai Pusat Kuasa dengan berbagai kepentingan di dalamnya.
Referensi