Aku cinta dia yang tidak ingin mempunyai terlalu banyak sifat yang baik. Satu kebajikan lebih berharga dari dua kebajikan sebab ia merupakan buhul yang lebih kuat untuk tempat bergantung nasib (sabda Zarahusta)
Tanpa kebenaran, demokrasi tertaih-tatih (Michiko Kakutani)
Kita berbohong kalau kejujuran tidak berhasil (Tim Levine)
Kebenaran itu alami tetapi, berbohong perlu usaha serta pikiran yang tajam dan luwes (Bruno Verschuere, Psikolog)
***
Ratna Saruampet bohong. Ia mengakuinya sendiri. Cerita dipukul itu fiktif. Sialnya cerita itu dipercaya sekali sama politisi lawan Jokowi. Hampir saja kebohongan itu bawa petaka. Beruntung polisi membongkar bahkan menangkap Ratna Saruampet segala. Kisah ini tak ditutup begitu saja. Politisi lainya laporkan anggota Dewan yang dianggap sebar berita bohong. Seolah perkara ini jadi soal utama yang jadi jejak pahit dalam pemilu.
Padahal bohong itu hal wajar. Tiap orang pernah melakukanya. Bahkan ada orang yang menyukai perbuatan ini. National Geographic pernah membuat laporanya: Santana adalah pria yang ideal, pintar, serta mengaku dibesarkan oleh alam. Hampir mempesona semua orang hingga terbongkar kalau namanya bukan Santana. Bahkan ia dikenal sebagai pencuri ulung. Riwayat mengatakan dirinya pernah di penjara.
Bella de Paulo buat riset soal bohong. Hasilnya mengejutkan: ternyata setiap orang berbohong satu dua kali sehari. Sebagian besar diniatkan untuk menyembunyikan kekurangan diri dan lainya untuk jaga perasaan orang lain. Bahkan risetnya mengatakan kalau sebagian orang pernah menyatakan satu atau lebih ‘dusta serius’.
Sudah pernah nonton Catch Me If You Can? Leonardo de Caprio memerankan Abagnate, pria yang menjalani hidupnya dengan bohong: mampu menyamar, mahir memalsu cek hingga pernah menyaru sebagai pilot segala. Bohong dilakukan karena memang pada dasarnya ‘orang itu tak bersiap dibohongi’ karena kebiasaan orang ‘untuk cenderung mendengar hal yang paling disukai’.
Jadi bohong itu lazim dalam hidup manusia. Tapi soalnya bohong bisa berakibat bahaya kalau itu bersangkut-paut dengan hidup banyak orang. Saat bohong dicetak dengan kekuatan raksasa maka itu jadi ancaman pada semua. Joseph Goedbels (1897-1945) pendesain kebohongan Hitler berkata: ‘Siapa yang bicara pertama kali, dialah yang benar’
Itulah yang dilakukan oleh politisi yang hidupnya harus berusaha untuk mendapatkan kepercayaan. Bagi politisi tindakan apa saja musti didasarkan oleh keinginan memperoleh dukungan. Sedangkan dukungan tak harus muncul dari informasi yang benar, tapi malah informasi yang keliru tapi menyenangkan. Contoh paling sempurna ketika Soeharto memoles peristiwa pembunuhan para Jendral yang dituduhkan pada PKI.
Padahal bukti belakangan menunjukkan kalau itu terang-terangan bohong. Geoffrey B Robinson menguluti cacatnya kesimpulan PKI yang jadi dalang. Pertama kisah itu tak memberi motif yang masuk akal bagi upaya PKI melakukan kudeta. PKI pada pertengahan 65 adalah partai yang berhasil meraih dukungan tinggi di parlemen.
Di samping itu banyak bukti tak menunjukkan hal itu. Penculikan dilakukan bukan oleh anggota PKI tetapi di bawah komando perwira AD berseragam. Diperkirakan ada 2500 prajurit yang ikut dalam gerakan. Kalau ada sebagian kecil anggota gerakan Rakyat dan Gerwani di Pangkalan Halim dan aksi penculikan tapi tak sebanding dengan jumlah pasukan AD.
Hanya karena menuduh PKI lebih menguntungkan bagi Soeharto serta komplotanya. PKI dikuatirkan menjadi kekuatan yang mampu mengimbangi posisi AD. Mengenyahkan PKI adalah pilihan politik terbaik dan kisah bohong itu yang mengantarkan pembunuhan massal yang hingga kini tak mampu diadili. Bohong jadi bahaya karena kemudian itu membawa petaka.
Hanya saja bohong itu tak mudah ditangkis. Walau ada bukti sejarah yang kuat tapi tetap saja PKI jadi golongan yang terkutuk. George Lakoff, ahli linguistik, mengatakan kalau bukti yang berusaha membantah musti melalui kerangka keyakinan dan prasangka yang sudah ada. Tiap fakta baru yang tak sesuai dengan kerangka keyakinan bisa jadi akan diabaikan bahkan itu bisa diserang kalau mengancam.
Jadi sekali bohong diluncurkan lalu dikatakan berulang-ulang dan dirinya merasa mendapat imbalan: rasa nyaman, keuntungan, popularitas dan bahkan posisi, selamanya bohong akan jadi sebuah strategi. Dinamai strategi karena bohong merupakan upaya sederhana untuk memoles sebuah informasi. Polesan informasi itu dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang berbeda ketimbang yang sebenarnya.
Bohong diutarakan karena situasinya mendukung. Sapuan dunia maya membuat apa yang fiktif dan fakta berbaur begiru rupa. Andrew Keen bilang internet tidak hanya mendemokratisasi informasi di luar imaginasi manusia yang paling liar, tetapi juga menggantikan ilmu pengetahuan dengan kebijakan kerumunan (Kolom Politik, Kompas 6 oktober 2018)
Rahim suasana seperti itulah yang mengantarkan munculnya politisi. Mereka mengelompokkan diri dalam satu keyakinan yang serupa dan meyakini kalau keyakinanya itu pastilah benar. Soeharto mengawali Orde Baru dengan kebohongan lalu menciptakan bangunan politik sarat dengan manipulasi. Saat itulah pelanggaran HAM banyak terjadi hingga kita sekarang sulit untuk mengadilinya.
Pada suasana seperti itulah Politisi kita berhamburan tampil ke publik. Mereka kini sedang berlomba untuk dipercaya: terpilih duduk di senayan dan calon Presidenya bertahta. Segala usaha akan dilakukan demi meraih tujuan itu. Salah satunya adalah mengumbar kebohongan. Soal PKI diungkit lagi, tentang Cina dikatakan kemana-mana dan agama diseret-seret pula.
Emosi publik diolah dengan cara apa saja: membayangkan PKI muncul lalu mengganti ideologi, atau warga Cina memukuli pribumi untuk menguasai ekonomi dan ulama dianiaya dimana-mana. Horor itu dicetak melalui media sosial dengan resep yang ringkas saja: aduk emosi begitu rupa, jika ada yang sangsi langsung di bully dan lipat gandakan informasi itu terus-menerus.
Politik kita tak hanya kehilangan kebenaran tapi juga mengaburkan kenyataan. Politik kita tidak memelihara akal sehat melainkan umbaran emosi. Sehingga dukungan diberikan tak didasarkan atas kesadaran tapi keyakinan buta. Muara berpolitik seperti ini bukan kemaslahatan publik tapi keinginan untuk memenangkan kelompoknya sendiri.
Tak mudah memang melawan bohong. Terlebih jika itu melibatkan mereka yang dinamai dengan tokoh publik. Padahal akibat yang timbul luar biasa: rakyat jadi sulit untuk percaya. Tapi mungkin itulah pelajaran demokrasi yang mendasar: ketidak-percayaan bisa melahirkan perubahan apalagi jika itu didasarkan atas kesadaran kritis kita tentang mereka yang sering meyebut diri sebagai ‘tokoh ternama’.
Sekian.