Luna Febriani – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Lini sosial media dua hari belakangan heboh dan menampilkan berita yang seragam dengan tema besar: operasi plastik Ratna Sarumpaet. Bahkan berita ini menjadi trending topik di beberapa media sosial di Indonesia. Kehebohan berita tentang operasi plastik yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet tidak dapat dilepaskan dari kontestasi pemilihan calon presiden dan wakil presiden tahun 2019 kedepan. Kisah ini bermula dari viralnya foto Ratna Sarumpaet (RS) dengan wajah yang lebam dan membengkak yang diikuti dengan isu dan pengakuan tentang penganiayaan terhadap dirinya. Isu yang berhembus cepat ini kemudian ditangkap oleh salah satu pasangan capres dan cawapres RI untuk menggalang dukungan dan simpati dengan cara membela RS, hal ini dilakukan mengingat RS merupakan bagian dari tim pemenang capres dan cawapres tersebut yang juga getol menyuarakan kritik terhadap lawan capres lainnya. Bahkan, para punggawa partai hingga capres yang menjadi junjungan RS pun turun langsung dalam menyuarakan agar kasus penganiayaan terhadap RS diusut tuntas sampai ke akar-akarnya.
Tidak sampai disitu saja, isu dan wacana agar kasus penganiayaan RS ini diusut tuntas dengan cepat di bagikan oleh para nitizen hingga menjadikan isu ini viral di sosial media. Dari pengamatan yang dilakukan di sosial media, ada beberapa alasan kenapa netizen berpatisipasi dalam membagikan berita ini menjadi viral, diantaranya: rezim yang berkuasa sekarang merupakan rezim anti Islam dan tidak demokratis, ini tanda-tanda kebangkitan PKI, penganiayaan ini karena Jokowi, kerinduan terhadap era Orde Baru dimana tidak ada penganiyaaan seperti ini, matinya hati nurani para penguasa hingga alasan-alasan lain yang (mungkin) cukup membuat sebagian pembaca terhibur ketika membaca komentar-komentar yang beredar tersebut. Hingga akhirnya, kasus ini ditutup dengan adanya pengakuan dari RS tentang isu penganiayaan yang sempat diutarakannya itu adalah hoax, dimana penganiayaan tersebut tidak benar terjadi melainkan dirinya sedang menjalani proses operasi plastik untuk kecantikkan. Hal ini diperkuat dengan temuan-temuan dari pihak berwajib terkait bukti-bukti tentang operasi plastik yang dilakukan RS. Sontak, pengakuan ini menjadikan masyarakat hingga politisi-politisi tercengang dan bertanya-tanya motif kebohongan yang dilakukan oleh RS. Pengakuan ini kemudian berdampak besar bagi RS itu sendiri dan juga keluarganya, diantaranya wacana RS di pecat dari tim pemenangan capres dan cawapres yang diusungnya serta bermunculan lelucon, meme hingga tagar (tanda pagar) perihal operasi plastik dan kebohongan yang dilakukan oleh RS serta komentar-komentar negatif kepada anak dan menantu RS.
Membahas kasus RS kali ini tentu saja kompleks dan njelimet, apalagi dikaitkan dengan perhelatan politik menuju 2019 yang sedang hangat akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, saya tidak akan membahas tentang isu politik karena cukup mereka aja yang ruwet saya jangan dan apalah saya yang tidak paham dan tidak berpengalaman dalam kancah politik, hehehe. Dibalik kisah RS ini, ada sisi menarik lainnya yang dapat dibahas selain isu politik dari kasus tersebut, yakni: operasi plastik dan kecantikan. RS disebut-sebut harus menghabiskan biaya kurang lebih 90 juta rupiah untuk menjalani proses operasi plastik. Meskipun telah menghabiskan dana yang cukup besar ternyata tidak serta merta mewujudkan impian RS, dimana pada awal proses operasi RS harus menerima wajahnya lebam dan bengkak akibat operasi tersebut. Bahkan, diduga karena malu RS justru memberitahu anaknya bahwa wajah lebam ini akibat penganiayaan orang lain terhadap dirinya. Sehingga dari sinilah kasus RS menjadi viral.
Operasi plastik hadir ditengah-tengah kita tentu saja tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri dan ilmu pengetahuan pada masyarakat. Operasi plastik merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh kaum perempuan juga kaum laki-laki untuk mewujudkan kecantikan berdasarkan satndar mainstream yang telah ditetapkan dan disepakati oleh masyarakat. Adapun standar kecantikan yang berlaku saat ini adalah: cantik itu putih, cantik itu langsing, cantik itu tirus wajahnya, cantik itu kencang kulitnya serta lain sebagainya. Keberadaan dan penerimaan standar cantik ini dalam masyarakat tentu saja tidak berdiri sendiri, melainkan bermain mata dengan industri-industri kecantikan yang ada serta media-media yang ada. Selain itu, kecantikan yang ada saat ini dikendalikan dengan cara mengambil apa yang terbaik dari kebudayaan perempuan dengan menggabungkannya dengan tuntutan dari masyarakat yang didominasi oleh laki-laki.
Naomi Wolf dalam buku Mitos Kecantikan menyebutkan bahwa mitos kecantikan sebagai kidung dari agama baru dan menganalogikan ritus kecantikkan adalah kumpulan menarik dari pelbagai macam pemujaan religi. Sebagaimana ritus religi, ritus kecantikan tampak lebih hidup dan responsif terhadap perubahan kebutuhan spiritual dari anggota perkumpulannya. Struktur kepercayaanya mentransformasikan dirinya sendiri dengan longgar melalui otoritas perempuan untuk dapat mengimbangi beragam tantangan yang dihadapinya. Dengan kata lain, kecantikan sudah menjadi ritus pemujaan dan agama baru bagi perempuan saat ini yang dikembangkan melalui mitos-mitos yang ada pada setiap majalah-majalah kecantikkan. Selain itu, muncul pula penciptaan dokter bedah sebagai seniman terbesar dalam ritus kecantikan, dimana dokter bedah plastik adalah simbol seks yang suci bagi perempuan modern, ia mengklaim dirinya atas pemujaan yang ditawarkan oleh kaum perempuan. Dari pemujaan-pemujaan terhadap kecantikan inilah mitos kecantikan terus langgeng dan lestari.
Masih menurut Naomi Wolf, mitos kecantikan adalah sesuatu yang kejam, egois dan penting karena ada banyak hal yang bergantung padanya. Belajar dari kasus RS kali ini, ada hikmah yang dapat kita petik bersama, yakni untuk menjadi cantik itu harus rela sakit-sakitan, atau dengan kata lain cantik itu luka (seperti judul novelnya Mas Eka Kurniawan). Luka yang dialami RS bukan saja semata-mata luka akibat operasi tersebut, tapi juga luka karena dihujat secara sosial, diasingkan dalam kancah politik hingga luka atas komentar-komentar negatif terhadap keluarganya. Kasus operasi plastik yang dilakukan RS seakan menunjukkan pada kita bahwa perempuan masih terkerangkeng oleh mitos kecantikan yang masih lestari saat ini. Ritus kecantikan yang dilakukan acapkali melukai perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, Wolf menawarkan solusi bagaimana seharusnya perempuan bersikap melampaui mitos kecantikkan sehingga perempuan tidak lagi terjerat dalam mitos yang dapat membahayakan perempuan itu sendiri, yakni memulainya dengan cara jangan merasa malu, carilah kesenangan, hindari rasa sakit, pakai, sentuhlah dan makanlah serta minumlah makanan apapun yang kita sukai. Tak lupa, pilihlah sendiri alasan-alasan kita dan selain itu kita (perempuan) harus bersikap toleran terhadap pilihan yang diambil perempuan lain. Sehingga dari sinilah akan melahirkan definisi kecantikkan yang justru akan menyenangkan bagi perempuan, bukan sebaliknya definisi kecantikan yang menyiksa.