***
Sebagaimana cerita, begitu pulalah dalam kehidupan nyata: bukan seberapa lama, tapi seberapa baik hidupmu, itulah yang terpenting (Seneca, Filsuf)
Berita itu mengejutkan dan membuat saya tercenung lama: Palu dan Donggala diguncang gempa. Ayah saya kebetulan ada disana bersama adik sekeluarga. Di hari pertama komunikasi kami lancar. Suara kecemasan dan permintaan doa dikatakan pertama kali. Saya kuatir, cemas karena berita yang beredar pertama kali sangat beragam. Hingga hari ini ada kepastian tentang kekuatan gempa dan banyaknya kurban.
Kekuatan gempa itu menurut Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) M 7,4 dengan korban tercatat hingga Sabtu (29/9/2018) 384 korban jiwa. Seperti gempa sebelumnya data korban belum bisa dipastikan mengingat kondisi infrastruktur yang remuk-redam: listrik belum nyala, telekomunikasi lumpuh dan gempa berlangsung pada malam hari. Sungguh suasana yang mencekam.
Di tayangan televisi banyak wawancara dilakukan: reporter yang ada di Palu cerita tentang keadaan disana, tim medis yang akan berangkat hingga relawan yang siap diterbangkan. Termasuk keterangan Panglima TNI yang kirim pasukan untuk mengatasi berbagai kesulitan. Malam minggu saya jalan ke kota tampak banyak mahasiswa meminta sumbangan kemanusiaan. Tiba-tiba saya bangga melihat nilai yang selama ini hanya didengungkan: solidaritas, empati dan kepedulian bertaburan begitu rupa.
Bencana memang bawa kurban tapi melahirkan kepedulian. Berita gempar itu melenyapkan komentar tak mutu mengenai pemutaran G 30 S yang dikatakan Gatot, karena gempa itu pula ada sikap menahan diri para politisi yang inginya saling menerkam dan gempa itu mengingatkan tiap orang agar peduli pada yang lain. Ingatan saya terbang pada situasi sebelum bencana.
Sedih saya menyaksikan aksi kamisan di Surabaya dan Malang yang dibubarkan paksa (27/9/18) Aksi yang bertujuan menuntut pemenuhan keadilan. Dicaci maki anak-anak muda yang aksi karena dianggap buat onar. Disana petugas tidak melerai dan malah mendiamkan ormas yang bicara tak karuan pada peserta aksi. Ucapanya yang tak simpatik sangat berbeda dengan penampilanya yang tampak agamis.
Suasana seperti itu mudah sekali kita temukan hari-hari ini. Ucapan yang sinis, kalimat yang nadanya mengancam bahkan hinaan yang tak ada dasar. Pengap dengan udara semacam itu yang membuat kita kemudian merasa tak lagi punya kebanggaan untuk hidup dalam tanah air yang sama. Kita bukan ingin menyatu tapi mau membelah dan memecah diri. Diam-diam kita sedang mencetak retakan.
Retakan itu seperti petanda alam: diawali dari gesekan pendapat lalu tiap orang saling menyalahkan satu dengan yang lain. Gesekan itu mengeras jadi ketidak-percayaan lalu lama kelamaan menerbitkan prasangka. Percikanya bisa apa saja: menuduh satunya sesat sedang lain benar. Mengatakan seorang banci sedang yang lainya ksatria. Semua itu seperti benih yang mampu menerbitkan tangkai bernama SARA.
Kita mengabaikan pelajaran yang diberikan oleh bencana alam:
Bencana tsunami itu seperti mengajari kita semua: patahan Palu Koro yang merangsang gempa itu wujudnya adalah retakan. Kita jadi tahu retakan itulah yang merobohkan bangunan, yang membuat nyawa hilang dan menciptakan malapetaka yang tak bisa diduga. Retakan alam mudah dideteksi tapi retakan sosial sulit untuk diatasi.
Alam sedang mendidik kita terus-menerus: sejak 1927 hingga 2001 telah terjadi enam tsunami di kawasan Palu dan Donggala. Bahkan sejak gempa Tsunami Aceh 2004 sudah lebih dari 200.000 jiwa penduduk negeri ini meninggal. Sejajar dengan itulah keretakan sosial kita pelihara terus-menerus dengan menunda dipenuhinya keadilan. Kita mengabaikan tuntutan keadilan yang digemakan oleh korban.
Korban itu berdiri, berbaris dan tersebar dimana-mana. Dari Aceh hingga Papua pelanggaran HAM itu terjadi. Cakupanya siapa saja: buruh, petani, mahasiswa, ulama hingga supporter sepak bola. Retakan itu kalau tak segera ditambal dengan pengadilan akan menciptakan getaran yang kita sulit untuk mengatasinya. Paling tidak upaya kita untuk membangun rekonsiliasi jangan sampai dibuyarkan lagi.
Melalui bencana Palu dan Donggala kita semua merawat duka. Duka itu tak bisa hapus begitu saja. Yang meninggal tak bisa dibangkitkan dan yang kehilangan tak mudah untuk diganti begitu saja. Saya mengingat Palu sebagai kota yang indah, ramah dengan warga yang sangat terbuka. Kini kota itu mengalami kesedihan dan warganya sedang dirundung oleh duka mendalam. Marilah kita melakukan apa yang sepantasnya dikerjakan oleh manusia beradab.
Berikan bantuan pada mereka dan jangan lagi kita cemari duka itu dengan kegiatan yang meretakkan harapan. Tak ada lagi penghentian paksa pada setiap aksi tuntutan keadilan, tak boleh lagi kita merampas hak orang seenaknya dan jangan lagi ada stigma-entah itu PKI, sparatis hingga sesat-pada warga kita sendiri. Jangan berikan kesempatan kita untuk menciptakan retakan sosial yang bisa membuat bangsa ini menuai musibah yang lebih besar.
Marilah kita berdoa untuk mereka yang terkena musibah di Palu dan Donggala serta berharap semoga kita semua tetap bersama, selalu bersama, sebagai sebuah bangsa.