Hening Wikan (Mahasiswa S1 Departemen Politik dan Pemerintahan UGM)
***
Seorang kawan lama beberapa waktu lalu mengunggah konten kampanye miliknya sebagai calon anggota legislatif di kampung halaman. Slogan yang dipakainya cukup menarik bagi saya karena beberapa kali menekankan kata “muda” dan mengusung nilai anti politik uang. Sebagai teman sebaya, terutama karena kami pernah berproses dalam organisasi yang sama, saya mengapresiasi keberaniannya untuk mengajukan diri menjadi salah seorang delegasi dalam sistem demokrasi perwakilan di daerah.
Dengan dipenuhi rasa penasaran, saya pun menanyakan program yang hendak ia usung sebagai modal keterpilihan sekaligus medium untuk mengukur kinerjanya nanti. Sayangnya, balasan yang ia berikan sama sekali tak menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Dengan kata “muda” yang ia gunakan sebagai jargon, kepentingan pemilih muda manakah yang hendak ia wakili tanpa adanya kerangka program kerja yang jelas?
Peristiwa tersebut dapat dimaknai sebagai salah satu contoh fenomena perebutan suara pemilih muda oleh partai politik. Dalam peristiwa tersebut, upaya mendapat suara pemilih muda oleh partai politik dilakukan dengan cara mengusung kandidat yang memiliki rentang usia sama yakni berusia di bawah 40 tahun. Mengikutsertakan kaum muda sebagai calon anggota legislatif diharapkan dapat menjadi strategi pemenangan partai politik melalui terbangunnya kedekatan dengan pemilih muda maupun dengan memanfaatkan popularitas kandidat sebagai target meraih suara semata.
Masifnya upaya yang dilancarkan oleh partai politik untuk meraih suara pemilih muda pada masa pemilihan saat sekarang bukan tanpa alasan. Dilansir oleh Kompas, Titi Anggraini selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan bahwa lebih dari 40% pemilih di 171 daerah pada Pilkada 2018 merupakan pemilih muda. Adapun menurut Direktur Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sirajudin Abbas, dikutip oleh Kompasiana, jumlah pemilih muda dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional mencapai prosentase 55% dari jumlah calon pemilih secara keseluruhan.
Dengan demikian, pemilih muda tentu menjadi target untuk mendulang suara bagi partai politik karena jumlahnya yang besar tersebut. Sayangnya, momentum yang semestinya dapat sekaligus mendorong kepentingan kaum muda dalam keterwakilannya di parlemen tak kemudian secara otomatis berjalan sesuai harapan.
Ketika berlangsung jujur dan kompetitif, pemilihan merupakan sarana di mana tuntutan disalurkan dari rakyat pada pemerintah terkait. Tuntutan tersebut dapat berupa para anggota parlemen yang dianggap dapat membawa kepentingan yang lebih memiliki kesesuaian dengan kehendak rakyat sehingga menghalangi pemerintahan dari menjalankan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak populer. Dengan demikian, gagasan representasi politik cenderung menitikberatkan pada upaya menghadirkan yang tidak hadir. Dalam representasi politik formal, pemilihan dianggap sebagai sarana untuk “menghadirkan” rakyat.
Tetapi pemilihan manapun tidak dapat membentuk sebuah mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas. Representasi politik hanya akan menghadirkan sebagian dari representasi kepentingan dan identitas. Meski begitu, representasi politik formal melalui pemilihan jelas membantu memperkuat legitimasi pemerintahan melalui adanya kesepakatan aktif. Sehingga tentu sangat disayangkan apabila partai politik memaknai sebagian representasi kepentingan dan identitas kaum muda hanya berdasarkan pada rentang usia yang sama. Sedangkan dari kepentingan yang dihadirkan dalam pilihan-pilihan yang terbatas berupa kandidat sendiri tidak terdapat kerangka kerja yang jelas. Artinya, tidak ada tolok ukur terperinci yang dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kandidat dengan golongan yang oleh partai politik diharapkan dapat diwakilinya.
Atau jangan-jangan, memang begitulah potret kaum muda di mata partai politik; hanya sebagai “lumbung suara” yang tak mampu berpikir alih-alih golongan yang lekat dengan ide-ide perubahan dan mampu mengartikulasikan kepentingannya sebagaimana narasi yang acapkali mereka obral sendiri?