
Laporan Melki AS dan Ahmad Rifai
***
Sore itu cahaya mulai redup. Tanda magrib pun segera tiba. Sementara di perkampungan nelayan di pantai Samas, Srigading, Sanden, Bantul, tidak terlalu terlihat banyak orang hilir mudik. Beberapa terlihat nongkrong di depan rumah. Beberapa asyik berselonjor kaki. Kantor Satpolair pun terlihat tidak ada orang sama sekali. Cuma lampunya saja yang menyala.
Di ujung jalan dibelakang kantor Satpolair tersebut, tinggal sekeluarga nelayan yang kini sedang ramai di perbincangkan. Berita-berita memuat tentang dirinya. Namanya Tri Mulyadi, usia 33 tahun asal pantai Samas. Beliau sudah menjadi nelayan semenjak masih kecil, semenjak masih ikut bersama orang tuanya. Yang awalnya mencoba mencari uang jajan sekenanya, kini menjadi mata pencaharian sehari-hari.
Di rumahnya kami bertemu Tri bersama dengan istri dan anaknya. Dari luar tidak tampak raut wajah yang menunjukkan ekspresi kalau sedang ada masalah. Tapi setelah diajak masuk ke rumahnya, beliau bercerita dengan panjang dan lebar. Disinilah kemudian ia mulai bercerita tentang polemik yang dialaminya setelah di tetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian atas kasus penangkapan kepiting.
Kasus penetapan Tri sebagai tersangka bermula dari proses penangkapan kepiting yang dilakukan oleh para nelayan saat sedang tidak bisa melaut karena cuaca dan ombak yang tidak memungkinkan. Menangkap dan menjual kepiting ini lumrah dilakukan sebagai alternatif pengganti. Tangkapannyapun tidaklah terlalu banyak. Bahkan butuh waktu satu minggu lebih hanya untuk menangkap kepiting dan menjualnya. Dan selama seminggu-an tersebut, kepiting yang didapat hyanya beberapa kilogram saja. Tri sendiri setelah seminggu lebih menangkap kepiting, hanya mampu terkumpul 2,7 kilogram saja. Dan ketika dibawa ke pengepul, kepitingnya dihargai 160 ribu rupiah.
dok. smi
‘Kepiting itu kalau ukuran besar maka harganya 60 ribu mas. Karena saya dapat 2,7 kg, maka dibayar 160 ribu. Uang itu langsung habis untuk membayar hutang. Karena selama tidak melaut dan proses mencari kepiting, kami para nelayan ini biasa utang dulu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi pas dapat uang dari penjualan, maka uangnya langsung untuk bayar hutang. Lalu kembali berhutang lagi untuk besoknya. Begitulah kehidupan kami ini” papar Tri.
Tapi kini, beban semakin menumpuk di pundak Tri. Karena setelah ia jadi tersangka, ia harus wajib lapor setiap 2 kali dalam seminggu; yaitu senin dan kamis. Beban lainnya ialah psikologis ia dan keluarganya serta masyarakat nelayan pada umumnya menjadi terganggu. Bahkan jangankan Tri, hampir semua nelayan disana khawatir untuk menangkap kepiting, ikan dan sebagainya karena belum tahu apa saja peraturan tentang hewan yang tidak boleh di tangkap.
Menurut Tri, penetapannya sebagai tersangka sangat janggal dan tidak masuk akal. Ia hanya di tekankan oleh penyidik Ditpolair Polda DIY sebagai tersangka tanpa menunjukkan bukti. Ia dituduhkan mengambil kepiting kecil yang dilarang secara undang-undang. Padahal saat penjualan, kepiting yang ia jual masuk kategori besar yang seharga 60 ribu.
‘Kepiting saya itu dihargai 60 ribu. Artinya kepiting yang saya jual itu dalam ukuran besar. Kalau kepiting kecil, maka harganya 50 ribu. Nah dari situ jelas bahwa saya menjual kepiting besar. Tapi penyidik Ditpolair berdasarkan keterangan pengepul bahwa saya menjual kepiting kecil. Itu kan aneh. Apalagi pengepul saat itu punya 6 kilogram kepiting di tempatnya. Dan saya hanya menjual 2,7 kg. Artinya ada sisa lainnya yang saya tidak tahu siapa yang jual disana. Tapi tuduhan penjualan kepiting kecil ditujukan ke saya. Aneh. Padahal jelas-jelas saya dibayar dengan kepiting ukuran besar. Hahaha…’
Tri juga bercerita bahwa penetapannya sebagai tersangka bermula ketika ia dipanggil sebagai saksi. Hal itu setelah 10 hari penjualan kepiting tersebut. Saat itu ia dipanggil penyidik Ditpolair untuk dimintai keterangan atas temuan Ditpolair di pengepul yang melihat ada kepiting ukuran kecil yang diperjualbelikan.
Setelah di penyidik, Tri dipaksa untuk mengakui bahwa ia yang menangkap dan menjual kepiting ukuran kecil tersebut. Tri membantah semua tuduhan tersebut. Lalu kemudian hari ia diminta untuk membawa alat tangkap yang biasa digunakan para nelayan untuk menangkap kepiting. ia pun menurut. Setelah membawa alat tangkapnya, ia kemudian di foto dan langsung di tetapkan sebagai tersangka sat itu juga dan harus menandatangani surat penetapannya. Padahal menurut Tri, alat tangkapnya bukan barang terlarang karena hal itu di perbolehkan oleh dinas DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan). Bahkan ramah lingkungan.
‘Saya terkejut mas. Masa saya langsung di tetapkan sebagai tersangka setelah membawa alat tangkapnya. Padahal itu diperbolehkan. Penyidiknya bilang ‘pokoke’ tersangka. Sementara itu saya tidak ditunjukkan alat buktinya sama sekali. Seperti kepiting kecil yang dimaksud itu yang mana. Saya tidak diperlihatkan sama sekali. Hal itu hanya di omongkan saja ‘pokoke’ tersangka dan harus tanda tangan berkasnya. Karena saya orang kecil mas, ya sudahlah saya manut sajalah. Walaupun ini tidak benar. Sekarang saya harus laporan terus 2 kali seminggu mas. Mana tempatnya dari tempat saya lumayan jauh. Untuk makan sehari-hari saja kami masih kesulitan, ditambah lagi harus laporan yang tentunya makan biaya’.
Bukan saja Tri yang bersedih atas adanya kasus ini. Tapi hampir semua nelayan merasa terganggu pikiran dan perasaannya. Ada perasaan takut kalau-kalau melakukan sesuatu bisa jadi tersangka pula. Karena memang banyak hal yang belum di ketahui dan di sosialisasikan. Contohnya soal kepiting tersebut. Karena sosialisasi tentang pelarangan penangkapan kepiting belum pernah dilakukan sebelum Tri ditetapkan jadi tersangka. Setelah penetapan tersangka barulah kemudian pemerintah, dinas terkait melakukan sosialisasi.
‘Saya sudah bilang kalau tidak tahu aturan tersebut. Karena memang belum pernah ada sosialisasi. Tapi penyidik Ditpolairnya ‘ngotot’ bahwa pernah dilaksanakan. Kami minta kejelasan kapan, dimana, tanggal berapa, tahun berapa, lokasinya dimana, mereka tidak bisa menjelaskan. Nah baru setelah beberapa hari saya ditetapkan sebagai tersangka, sosialisasi baru diadakan disini, mas’.
Kini Tri dan keluarganya hanya bisa pasrah. Kasusnya sudah didengar oleh pemerintahan Kabupaten Bantul. Kabupaten pun sudah mengirim tim hukum untuk mencatat kronologi peristiwa, tapi sampai hari ini belum ada tindak lanjutnya. Beberapa bantuan lainnya sudah bersedia membantunya. Tapi perjalanan kasus ini belum tahu waktu akhirnya. Sampai sekarang Tri masih harus laporan 2 minggu sekali ke Ditpolair dan entah itu sampai kapan. (R)