Dan masyarakat Indonesia sebagian terbesar terdiri dari hamba belaka dan hamba seluruhnya. Golongan tengahnya boleh dikata tak ada dibandingkan dengan penduduk yang tujuh puluh juta. Dalam keadaan uang mahakuasa, dengan golongan tengah sebagai alat pemerintah, manusia lainnya jadi hamba belaka (Pramoednya Ananta Toer, Percikan Revolusi Subuh)
***
Tulisan Martin sudah banyak yang mengomentari. Soal tesis Agustus yang dikecam berulang kali. Tuduhanya dimana-mana sama: Martin pemuja Jokowi! Walau tulisan itu nadanya sangat berbeda dengan tulisan cerdas Martin lainnya. Tapi sudahlah saya tak mau menghakimi apa yang sudah banyak dinilai, ditanggapi bahkan ditelanjangi dari gagasan Martin. Sebab tugas mendesak kita hari ini bukan mengecam apalagi sekedar menuduh dengan sinis atas apa yang sudah dituliskan. Takkan maju gerakan kalau pusat perhatianya hanya pada keinginan untuk membunuhi apa yang coba dinyatakan.
Gerakan hari ini hanya dibesarkan oleh ide-ide congkak perubahan yang sesungguhnya baru sanggup dituliskan. Praktek perubahan politik yang nyata nyaris tak pernah terjadi setelah peristiwa 65 dan 98. Pada masa 65 dibasmi semua kekuatan kiri untuk membiarkan tampilnya orde fasis yang bertahan begitu lama. Sedangkan 98 adalah upaya maksimal dari kekuatan pelopor mahasiswa yang dibantu oleh massa untuk mengguncang Soeharto. Momentum keduanya memberikan gambaran kalau perlawanan itu bukan jalan yang tak pernah dilakukan. Bahkan meski hasilnya masih jauh dari harapan tapi desakan untuk merubahnya patut untuk jadi bahan tauladan.
Bukan apa-apa karena gerakan saat itu tak bisa menikmati kebebasan seperti sekarang. Hanya mengedarkan buku kiri saja musti diseret dan diadili. Maka upaya militan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa-saat itu- berbuah tragedi. Anak-anak muda yang diculik itu sedikit kelompok yang menuntut dikembalikan dan malah ada angkatan yang dengan lancang mengecam perjuangan mereka. Seolah mereka hanya melakukan percobaan melempar kerikil pada pohon beringin. Padahal mereka mengerjakan itu dengan antusiasme gila yang dituntun oleh risalah yang dibenci oleh Orba. Bimbingan teori kiri pada waktu itu menyulut semangat untuk deklarasi perlawanan pada kekuatan ganda Orba: militer dan teknokrat. Jangan dinilai dengan mereka yang kini berubah haluan tapi cobalah ukur dengan efek yang nyata dirasakan.
Hari ini kita berada di atas landasan peluh keringat dan darah aktivis mahasiswa, penyair, petani dan buruh yang dianiaya. Usaha mereka untuk melawan dengan cara progresif pantas untuk dikenang, karena tanpa mereka, kita hanya mengais-ngais gagasan perlawanan yang dijamu dalam teori. Ingatan pada Marsinah yang dibantai oleh serdadu sama besarnya dengan penghormatan kita pada Munir yang diracun. Sama halnya petani Kedung Ombo hingga santri Aceh yang dengan sengaja dibunuhi dengan membabi buta. Ringkasnya perlawanan itu dijalankan di berbagai sektor untuk melucuti negara yang dengan tangan besinya menjalankan proyek sadis namanya pembangunan.
Terus terang apa yang kita ketahui tentang mereka dan ide perjuanganya? Benar secara umum mereka menuntut demokrasi, menolak militerisme hingga meminta adanya jaminan kebebasan menyatakan pendapat. Demokrasi yang dituntut bukan sekedar terbentuknya pranata tapi juga bagaimana rakyat kecil mampu mendapatkan haknya serta terjamin hidupnya. Sejajar dengan tuntutan itu adalah dihapuskanya campur tangan militer dalam urusan sipil. Tak mau kita memiliki aparat bersenjata yang mahirnya bertarung politik ketimbang mempertahankan kedaulatan. Ujung harapan hidup kebangsaan kita adalah kebebasan berorganisasi dan menyatakan pandangan tanpa takut diancam apalagi dipersekusi. Jelas harapan ideal itu berawal dari gagasan politik yang terus-menerus diperdebatkan baik dengan diskusi, tulisan ataupun lewat aksi massa.
Capaian tertinggi gerakan 98 adalah jatuhnya Soeharto. Kejatuhan itu hanya membawa dirinya sendiri tidak ikut menggusur komplotan apalagi ajaranya. Tersingkirnya Soeharto tidak kemudian memunculkan proposal politik yang berbeda. Kita silau oleh kemenangan sedikit tanpa mampu membawa arena pertarungan itu lebih jauh: masih banyak politisi Orba yang berkuasa bahkan tampilnya kembali keluarga Cendana pada panggung kekuasaan. Kita tahu akar politik Orba yang anti kiri itu dibiarkan begitu rupa hingga merusak gagasan politik yang sejak awal diperjuangkan oleh para martir. Lama kelamaan bukan hanya kita curiga pada perjuangan radikal mahasiswa saat itu tapi juga kita mulai percaya kalau tatanan politik hari ini adalah bentuk final dari sebuah tuntutan perubahan.
Bayangkan betapa pembaharuan politik yang kita terapkan berjalan tanpa jeda: liberalisasi parpol lalu disusul dengan otonomi daerah dan yang terakhir adalah alokasi dana desa yang luar biasa. Terang perubahan ini punya tujuan yang sempurna: dijaminya kedaulatan melalui mekanisme yang dianggap baku di banyak negara. Meski kita tahu resiko politik yang tak terbayangkan kini mencuat ke muka: kompetisi politik yang menggunakan isu SARA hingga jual beli suara jadi pasar ekonomi gelap yang bawa bencana. Politisi dianggap profesi yang bisanya mencuri dan sistem politik dianggap jadi lahan subur untuk hidupnya komplotan penyamun.
Lapuk sudah gagasan politik yang tidak menyimpan minat atas isu kelas. Diseret oleh pemahaman atas demokrasi pasar kita seperti berada diatas pemberhentian sejarah yang buntu. Hampir semua ide-ide politik dikemudian hari hanya berujung pada dua tesis utama, pertama meneguhkan tata kelola pemerintah yang diisi oleh birokrat yang diharap profesional dan mencoba meletakkan institusi pasar sebagai penentu segalanya. Tegaknya tiang pemikiran politik ini diteguhkan melalui berbagai metode, diantaranya diskusi perkara tekhnis soal pemilu atau melihat kemajuan ekonomi dalam ukuran angka pertumbuhan semata.
Soal yang berkait dengan politik hanya berpusat pada siapa duduk dimana, layak tidak dirinya duduk disana dan gagasan apa yang bisa ditawarkan olehnya. Soal politik jadi pilihan pada kandidat tanpa kita mengerti mengapa sistem ini hanya memperkenankan kandidatnya itu-itu saja. Sebab kalau bicara profil kita bukan bicara orang tapi kelompok mana yang mendukungnya dan kepentingan mana yang didahulukan olehnya. Seolah politik kehilangan motif karena kita mempercayai sistemnya memang benar seperti itu.
Politik kehilangan debat bermutu karena hanya menyoal sikap atau pandangan dari orang maupun kelompok tertentu. Coba lihat debat di ILC yang hampir semua diisi oleh orang-orang mapan yang berasal dari kelas berkuasa atau setidaknya kelas yang diuntungkan oleh sistem yang kini ada. Demokrasi meluncur jadi perbincangan elite yang melihat rakyat dalam ukuran jumlah yang bisa diketahui pasti melalui instrumen survai. Jelas politik macam begini akan kehilangan kekuatan sebagai pelindung yang minoritas apalagi pemenuh hak bagi rakyat mayoritas. Politik lalu menjadi kegiatan yang sudah diatur demikian rupa dengan hasil yang tak banyak merubah apa-apa.
Pikiran politik waktunya membuka diri pada alternatif. Setidaknya membentangkan kembali gagasan politik yang dulu pernah diperjuangkan: Soekarno mencoba untuk meletakkan Nasakom sedang Tan Malaka meneguhkan merdeka 100%. Tentu itu hanya segelintir dari pikiran yang pernah berlaga karena masih ada pikiran tentang pastinya negara sosialis atau perjuangan menuju syariah. Jika debat itu dibuka kita akan beranjak dari kegiatan politik yang bermutu: tidak lagi saling kecam tentang siapa yang pantas duduk sebagai Presiden tapi bentuk negara macam apa yang menjawab masa depan bangsa ini.
Karena jika pikiran itu yang dibuka kita akan melihat dimana kini kita berada. Tata kelola dunia sedang bergeser drastis: kekuatan Amerika tidak sedigdaya dulu, Cina mulai mencuri perhatian dan Timur Tengah berusaha pula untuk meraih pengaruh. Kita bukan berada diatas kekuatan yang unggul, hanya dengan memuja apa yang kita raih dan melupakan apa yang ada di sekitar kita. Kini kita ditantang untuk menunjukkan apakah bangunan politik yang kita pilih memang akan mampu mempertahankan kedaulatan atau bisa memenuhi rasa keadilan.
Membayangkan ekonomi kita hari ini yang tak mampu meredakan pergerakan kurs menjadi petanda lemahnya sistem yang dibangun. Bahkan dengan mudahnya amuk terjadi karena perbedaan posisi kian menunjukkan rentanya bangunan sistem sosial yang dirakit. Walau Pancasila didengungkan sebagai penyatu semua tapi ideologi ini tak sebanding dengan kekuatan yang ingin berkuasa; kapitalisme di sisi yang satu serta kehendak agama di sisi yang lain. Bukan karena Pancasila tidak diamalkan tapi ideologi ini tidak terumuskan dalam sistem pengetahuan yang komplit sekaligus terlalu dipaksakan untuk bertarung dengan ideologi yang sudah terlampau dominan.
Pertanyaan praktis yang perlu dijawab apakah memang sistem politik hari ini telah memenuhi harapan rakyat akan keadilan dan keterwakilan? Lebih jauhnya apa memang sistem politik yang kita tetapkan dapat melahirkan ide-ide utama yang secara ideal termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar?
….dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…
Sebuah cita-cita politik mulia yang mustinya mendorong tampilnya gagasan politik yang segar, progresif dan memenuhi harapan rakyat yang dulu ikut mendirikan negeri ini. Saatnya kita gali kembali ide-ide politik yang dulu diusulkan, dibahas dan tentunya diperjuangkan dengan cara yang luar biasa. Sooekarno, Hatta hingga Tan Malaka pernah mengaggumi gagasan kiri, nasionalis bahkan Islam. Waktunya jendela wacana kita dibuka kembali untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lalu dan apakah sejarah bisa ditulis sebagaimana yang terjadi di masa lalu.
Sekian