Anak Muda Mensikapi Pemilu

***

Hari ini anak muda mengalami dilema. Terutama berhadapan dengan peristiwa politik yang namanya Pemilu. Banyak anjuran agar mereka menggunakan hak pilih. Tetapi juga ada kampanye yang mengajak mereka golput saja. Dua sikap ini punya alasanya sendiri dan dalihnya pasti berbeda.

Masanya memang berbeda. Pada sepanjang Orba dimana Pemilu hanya politik pura-pura mungkin Golput sikap yang istimewa. Menarik diri untuk tidak terlibat adalah cetusan protes yang berguna. Tak ingin politik dikendalikan oleh Soeharto bersama kroninya.

Sekarang suasananya jelas berbeda. Politik tidak lagi dikendalikan oleh satu keluarga tapi sejumlah komplotan. Dinamai itu sebagai Oligarkhi. Mereka punya apa yang dulu dimiliki Soeharto: partai politik dan media massa. Asset yang setara pengaruhnya dengan Cendana pada masa lalu.

Partai politik jadi saluran politik legal sekaligus tangga untuk menduduki kursi apa saja. Ingin jadi senator musti dari partai, mau jadi ketua lembaga tinggi negara harus disetujui partai bahkan duduk jadi menteri kalau bisa melobby partai. Yang paling istimewa kalau ingin jadi penguasa tertinggi harus punya partai. Minimal disetujui oleh ketua-ketua Partai.

Media punya kesempatan serupa: mempengaruhi pandangan, menanam pandangan hingga mengelola pandangan. Di tangan media semua soal bisa diolah begitu rupa: tokoh biasa jadi istimewa sedang tokoh utama dapat berganti rupa. Bayangkan saja ketua partai kata-katanya bisa tak punya arti apa-apa kalau pendapatnya disanggah oleh orang yang punya pengaruh media.

Maka tokoh bisa gonta-ganti dan pendapat dapat berubah seketika. Yang dulu dianggap pecundang bisa jadi pahlawan dan sebaliknya yang disebut pahlawan bisa meluncur jadi penjahat biasa. Sebut saja kisah korupsi yang mampu menjerumuskan tokoh besar jadi penjahat akbar. Seolah politik itu tidak mengalir dengan kecepatan pasti tapi melompat tak tentu arah.

Mungkin itu sebabnya anak muda meragukan pemilu hari ini. Bukan karena ketidak mampuan dalam menangani soal tapi pertarungan yang berulang. Laga pemilu yang diisi oleh dua petarung yang dulu pernah berlaga: Prabowo dengan Jakowi. Hanya berbeda cawapresnya yang semua anak muda tahu posisi itu tak istimewa.

Sengaja aturanya dibuat agar calon yang muncul hanya itu-itu saja. Aturan yang keterlaluan karena tak melihat soal yang dihadapi dan mayoritas rakyat yang dianggap berdiam diri. Sudut pandang meremehkan inilah yang membuat anak muda serasa tak punya peran dan posisi istimewa. Bayangkan dari jutaan warga yang tak semuanya brengsek tidak disediakan akses politik yang leluasa untuk munculnya pemimpin.

Padahal kita butuh calon pemimpin yang lebih banyak keutamaanya. Bisa jadi pintar urusi ekonomi, mahir dalam diplomasi sekaligus mampu menjaga diri dari komplotan politik yang bahaya. Karena yang kita hadapi bukan sebuah situasi global yang baik-baik saja dan kondisi nasional yang tak aman begitu saja.

Dari sisi ekonomi saja kita dihadang masalah pelik, rumit dan berat. Kemiskinan, pengangguran hingga kesenjangan sosial. Tawaran solusinya tak ada yang ideal tapi juga tak bisa sepenuhnya kita putuskan dengan cara seperti biasa. Selama ini menteri ekonomi dipegang oleh mereka yang beraliran sama: ideologinya pro pasar, dibesarkan dalam ilmu ekonomi yang kapitalistik dan mantan petinggi lembaga keuangan dunia.

Asal usul menteri yang semacam ini membuat pemecahanya tak pernah bisa mengatasi akar soal yang sebenarnya. Kalau dikritik bukan diterima tapi disanggah dengan data yang orang awam pasti sulit memahaminya. Mustinya ekonomi itu muatanya adalah keadilan bagi semua dan kesejahteraan terutama untuk mereka yang ada di lapis sosial terbawah.

Semua itu karena pemimpin ditawan oleh banyak keinginan di luar dirinya: partai politik ingin dapat peran lebih utama, pengusaha maunya ingin diberi kekuasaan yang lebih leluasa dan parlemen yang musti dilayani kepentinganya. Tirani demokrasi macam ini tak hanya butuh pemimpin tapi memang aturan yang bisa mengakomodasi kebutuhan dan memenuhi masa depan.

Kembali lagi pada Pemilu kita kemudian bertanya: apa peran anak muda? Sialnya KPU maupun partai hanya punya keinginan agar mereka tidak golput saja. Silahkan pilih diantara dua calon yang memang tak sempurna. Sebut saja produk ini harus kalian pilih karena memang begitulah cara demokrasi bekerja.

Cara pandang beginian yang meremehkan anak muda. Dianggap kita barisan yang setuju pada semua proses politik dan kalau protes ada kanal yang disediakan. Padahal soal politik hari ini bermula dari akses dan saluran yang tersedia. Akses yang memberi kemudahan anak muda untuk bersuara dan saluran yang sederhana, cepat dan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Itu sebabnya kalau ingin anak muda terlibat biarkan pandangan mereka diakomodasi. Sial sekali kalau dalam penentuan pemimpin saja anak muda tak terlibat sama sekali. Bahkan cerita dari pak Mahfud MD hingga dipilihnya Sandiaga Uno meniupkan bau bacin persekongkolan. Modus berpolitik semacam ini tak hanya menghina kesadaran kritis anak muda tapi juga meremehkan kecerdasan mereka.

Jelasnya anak muda tak seperti orang tua: mudah diperintah, gampang dikibuli dan ditidurkan oleh janji. Waktunya mereka mengambil posisi bukan hanya golput atau memilih, tapi memastikan kalau pandangan mereka itu diakomodasi.

Apa yang harus diakomodasi? Bangunan politik tak bisa mengkarantina pilihan pemimpin yang terbatas jumlahnya, sistem politik tak bisa mengandalkan partai politik yang berisikan hanya orang itu-itu saja dan baiknya mandat politik tidak bisa hanya melalui pemilu lima tahun sekali.

Tuntutan ini pasti dianggap tak masuk akal dan mengada-ada. Tapi memang anak muda itu berciri sama: selalu punya ide yang berbeda, tak mau bergerak dengan pedoman yang selalu sama dan ingin perubahan tak hanya berputar pada orang itu-itu saja.

Lihatlah geliat anak muda diluar politik yang mengaggumkan dan mengejutkan. Pada lomba lari saja mereka pecahkan rekor dunia. Sedang dalam sinema mereka bisa peroleh penghargaan International dimana-mana. Lebih-lebih pada soal seni rupa, seni lukis hingga seni musik mereka bisa raih posisi tertinggi.

Itu semua hebatnya karena kemampuan dan kreativitas yang dimiliki. Tak semata-mata karena kebijakan yang dilahirkan. Mungkin itu sebabnya politik seperti perjalanan mundur: bukan bisa membuat dunia terpesona atau rakyat bangga. Politik tak lagi punya kemampuan untuk melibatkan, menggugah dan mendorong peran anak-anak muda.

Jika politik semacam itu yang terjadi kita percaya anak muda akan tahu apa yang harus dilakukanya di pemilu nanti. Sikap mereka adalah harga yang pantas dibayar oleh keputusan politik orang-orang tua!

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0