PULAU PANJANG BERDARAH

Ali Akbar Muhammad – [Cakrawala Mahasiswa Jogja]

***

Orang – orang sering memanggil aku : Seni.  Aku hidup bersama kedua orang tuaku di sebuah kampung yang begitu jauh dari perdaban kota. Sejak kecil hidup aku selalu di temani oleh alam semesta , pohon kelapa dalam yang lebat, sungai – sungai yang mengalir begitu deras di pinggir para – para, lautan yang begitu biru di pandang mata membuat aku tumbuh menjadi manusia. Dalam cerita mama waktu aku baru beurumur satu bulan aku pernah jatuh dari para – para kedalam sungai akelamo. Karena mama sedang membersihkan piring – piring bekas makan malam pada pagi hari di sungai yang mengalir jernih itu. Dengan sangat khawatir mama langsung melompat ke dalam sungai untuk menangkap serta menyelamatkan anak tersayangnya. Sukurlah aku bisa di selamatkan oleh mama kalu tidak, mungkin aku tidak bisa menikmati hidup di bumi manusia ini.

Setelah aku berumur lima tahun kami pun pindah ke sebuah kampung yang rumah – rumahnya tidak lagi seperti para – para tetapi semua sudah semen. Kami tinggal di sebuah rumah peninggalan tete, ayah dari papa aku. Setiap hari aku selalu bermain dengan Udi, kita berdua setiap harinya menghabiskan waktu bersama dari mata terbuka sampai mata tertutup. Pagi hari ketika bangun tidur mama selalu menyiapkan sagu dan teh manis untuk sarapan pagi , mama selalu memanggil “ Seni kasih bangun ngana pe kaka Udi itu bilang pe dia bangun la makan”.  Dengan mata yang masih penuh dengan tai mata, sambil berlari saya kembali ke kamar dan membangun kaka pertama saya. Setelah kami berdua selesai sarapan pagi kami melanjutkan dengan bermain di pinggir rumah. Permainan yang sering kami mainkan ialah membuat rumah – rumah dari pasir. Sedangkan papa dan mama sudah bersiap – siap untuk ke kebun, mama menyiapkan saloi sedangkan papa lagi bagoso parang. Udi mendekati papa sambil bercakap “ papa tong iko pigi kobong ka” sedangkan aku mendekati mama dan bercakap “ mama saya deng kaka mau bermain di kobong”. Karena tak rela kedua anak mereka di tinggalkan sendiri maka dengan senang hati kami berdua di bawa pergi ke kebun.

Kami berjalan dari Maffa menuju ke kebun dalam perjalanan kami bertemu dengan orang – orang yang juga tinggal di satu kampung dengan kami. Mereka juga beramai – ramai menuju ke kebun, perempuan maupun laki – laki, anak – anak atau orang dewasa. Dari belakang terdengar suara yang agak menghilang – hilang seperti ada yang memanggil nama om Hama, penyebutan nama panggilan papa. Ternyata suara itu dia seorang lelaki tua, papa kemudian menyambut tangannya dan bercakap “ bagaimana bayangan?” sambil kami berjalan karena tak lama lagi sampai ke kebun , Bayangan bercakap “ Om hama ngoni pe kalapa di fida saya nae sudah e” papa dengan senyum kembali bercakap “ oh iyo ngana nae sudah”. Tak lama kemudian kami pun tiba di kebun, kami pun berpisah dengan om Bayangan, dia lalu melanjutkan perjalanannya ke fida untuk menjalankan tugasnya yang di minta dari papa. Tanpa istirahat papa langsung baparas rumput sedangkan mama mengumpulkan kelapa – kelapa kering yang jatuh untuk di buatkan minyak goreng. Kami berdua menyiapkan katapel , setelah itu kami berkeliling di bawah pohon mencari burung – burung untuk menjadi sasaran buruan kami. Siang itu matahari semakin panas aku menaiki pohon untuk mengambil burung hasi katapel tapi tidak jatuh itu, tanpa sengaja aku melihat ke dua orang tuaku bercucuran air kerigat sambil menikmati pekerjaan mereka. Tanpa menguasai satu sama lain mereka bekerja dengan kemampuan mereka masing – masing. Setelah turun dari pohon aku kemudian memberikan hasil buruan burung kepada kaka.

Setelah sekian lama berada di dalam kebun terlihat matahari mulai merah bergeser ke arah barat. Papa sudah mulai menaruh parang di dalam sarung , mama sudah menyiapakan saloinya yang sudah penuh dengan buah kelapa. Itu menandakan kami harus segera, keluarlah kami dari dalam kebun sambil berjalan penuh dengan kebersamaan bergegas pulang keluarga kecil. Papa menaruh saya di atas pundaknya sambil memegang tangan kaka. Mama menggendong saloi dengan semangat kami berjalan dengan cepat agar bisa sholat magrib. Setelah beberapa jam berjalan kami pun sampai di rumah mama langsung menurunkan saloi, aku dan kaka mulai bergegas mandi bersama papa. Setelah habis mandi dan selesai mama menyiapkan makan malam ,kami sekeluarga bergegas untuk berangkat ke masjid. Maffa adalah sebuah kampung yang mayoritas masyarakatnya beragama islam. Kampung ini berada di sebuah pulau panjang yang berisi banyak kampung – kampung dan tidak semua masyarakatnya beragama Islam tetapi sebagian masyakatnya beragam Kristen. Walaupun berbeda agama kampung – kampung yang berada di pulau panjang ini hidup saling berdampingan tanpa memandang perbedaan. Masyarakat pulau panjang hidup babare, ketika hari besar agama Islam telah tiba orang – orang yang beragama Kristen datang untuk bersilaturahmi begitupun sebaliknya.

Pada tahu 1999 angin berhembus ke pulau panjang membawa kabar bahwa orang – orang beragama Kristen telah membunuh orang- orang beragama Islam begitupun sebaliknya. Angin itu berhembus begitu cepat sehingga mengusik toleransi dan keberagaman di pulau panjang. Masyarakat pulau panjang sebelumnya hidup berdampingan mulai saling melihat satu sama lain dengan was – was. Angin provokasi itu semakin kencang akhirnya masyarakat pulau panjang memutuskan untuk melakukan perang saudara karena termakan angin profokasi entah siapa di balik angin itu. Aku yang baru seumuran jagung sekitar enam tahun menjadi saksi tragedi berdarah ini. Aku merasakan hidup yang begitu cepat berubah belum lama aku di lahirkan ke dunia harus merasakan kehidupan yang begitu mengerikan . Malam telah tiba bunyi tiang listrik sebagai tanda awas ada musuh, air kencing yang keluar masuk dari lubang penis aku karena ketakutan, air mata terus keluar. Mama mendekat sambil bercakap “ beginilah Seni kau harus catat dalam ingatanmu, demi kekuasaan para penguasa itu menjadikan kami orang – orang miskin ini untuk saling membunuh”. Konflik di pulau panjang ini terjadi sampai berminggu – minggu bahkan bangkai dan darah yang tertumpah di tanah subur itu menghilangkan indahnya alam pulau panjang. Bahkan aku harus menyaksikan rumah – rumah ibadah berapi- berapi di lahap oleh bom – bom yang di buat sendiri masyarakat pulau panjang. Orang – orang kampung Maffa sebagian berkumpul di rumah kami dan malam tiba para lelaki dewasa selalu siap siaga menjaga kampung dari musuh. Kaum perempuan terutama ibu – ibu menyiapakan makanan yang lainnya mengumpulkan batu. Aku dengan anak – anak kecil lainnya terus menangis ketika malam tiba, tidak ada listrik yang ada hanyalah lampu loga – loga.

Udi yang baru berumur tujuh tahun itu seharusnya menikmati masa kecilnya dengan sekolah dan bermain namun semua itu hanya menjadi khyalan. Karena dengan usia seperti itu Udi harus memikul beban dengan mengkuti para lelaki dewasa untuk tawaf  menjaga kampung sambil membawa parang dengan semangat jihad. Dimanakah para aparat keamanan itu katanya mereka akan menjaga keamanan masyarakat tapi kenapa di pulau panjang ini anak kecil justru yang menjaga kemanan kampungnya. Tidak itu saja bahkan anak – anak kecil banyak yang menjadi korban dari angin profokasi ini. Setelah beberapa minggu berperang pulau panjang menjadi banjir darah, bau bangkai mayat tercium menusuk hati dengan rasa sakit kehilangan sanak saudara. Sungguh aneh setelah semuanya menjadi darah dan bangkai aku melihat orang – orang berbaju loreng memakai bodi jonson muncul menyisir disepanjang pantai pulau panjang dengan berteriak kami datang untuk perdamaian. Aku terus bertanya kenapa setelah toleransi dan keberagaman ini hancur di pulau panjang baru mereka yang mengaku membawa perdamaian baru datang. Teringat yang di bicarakan mama kita pulau panjang adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, jadi keamanan kita terjamin karena kita mempunyai angkatan perang yang akan menjaga dan melindungi keamanan kita. Tetapi semua itu tidak terjadi di pulau panjang justru mereka para aparat itu dimana di saat angin profokasi itu berhembus di pulau panjang.

Udi memegang tangan aku sambil menunggu papa yang pada saat itu berangkat bersama orang- orang kampung pergi menyerang kampung lain yang juga bersaudara. Malam telah tiba tak lama menunggu papa muncul dari belakang rumah hanya memakai baju dan celana dalam. Mama menyambut papa dengan tangisan peluk bahagia, cakap mama “ calana panjang mana?”, papa dengan air mata yang mengucur dari pelopak mata “ saya lari talalu berat jadi saya lepas. Setelah mama selesai memeluk bahagia papa, aku dan udi berlari dengan menangis takut akan kehilangan melompat kepada papa yang terlihat lelah itu. Kami berdua di gendong sambil papa bercakap “ Demi kepentingan perebutan kekuasaan di Jakarta kami orang – orang pulau panjang di jadikan tumbal politik.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0