Oleh; Melki AS – [Pegiat Social Movement Institute]
Dia Yang Punya Alasan Mengapa Harus Hidup, Akan Mampu Menanggung Segala Bentuk Bagaimana Caranya Hidup – Nietzche
***
Merujuk data Badan Pusat Statistik, jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan pekerjaan utama pada tahun 2016 mencapai 120.647.697 orang, di mana yang bekerja di sektor industri sebanyak 15.975.086 orang dengan kontribusi terbesar dari Provinsi Jawa Barat sekitar 3.892.044 orang (24,93%), Jawa Tengah 3.219.793 orang (20,16%), dan Jawa Timur 2.948.203 orang (18,46%). Kemenperin akan memproyeksikan subsektor yg memacu pertumbuhan manufaktur nasional di 2018 yaitu industri baja & otomotif, elektronika, kimia, farmasi, serta makanan & minuman. Subsektor ini diharapkan mampu mencapai target pertumbuhan industri 2018 yangg ditetapkan sebesar 5,67 %. Demikian seperti yang dikutip dari siaran pers Kementrian Perindustrian RI (http://www.kemenperin.go.id). Artinya untuk tahun 2018, akan ada peningkatan jumlah buruh dalam sektor manufaktur yaitu mencapai 16, 3 juta orang. Sementara itu, buruh yang terserap dalam sektor non manufaktur tentu lebih banyak lagi. Lalu bagaimana kondisi realitas perburuhan di Indonesia saat ini dalam konteks ekonomi, sosial dan politik? Bagaimana negara dan partai membaca hal itu? Apa bargaining posisition yang bisa di tawarkan buruh? Terutama menjelang pemilihan presiden 2019 mendatang.
Membaca setiap persoalan buruh, tidak mungkin dipisahkan dari agenda-agenda nasional yang sedang terjadi hari ini. Apalagi menjelang tahun politik 2018-2019. Yang artinya sebagai tanda awal dimana perjalanan kekuasaan, baik yang berkuasa atau yang berusaha merebut kekuasaan berlangsung keras dan berada pada titik kulminasinya. Tahun ini juga menandai dimulainya perjalanan rivalitas antar tokoh menuju perhelatan pemilihan umum. Tidak saja di sektor legislatif, tapi sampai juga pada pemilihan presiden mendatang. Tentunya situasi ini akan sangat panas dan liar. Buruh, salah satunya yang akan menjadi aktor yang, mau tidak mau, terseret dalam pusaran pertarungan politik tersebut. Apalai mengingat jumlah buruh yang besar, tentunya akan sangat menggoda bagi partai politik maupun sejumlah aktor politik untuk menaikkan daya tawar pemilihannya. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi berbagai aliansi dan afiliasi antara kelompok buruh dengan partai politik yang akan berkompetisi pada pemilu mendatang. Dititik inilah kiranya penting bagi kita untuk melihat kembali sepak terjang buruh dalam menghadapi berbagai perhelatan politik di tanah air. Ada banyak catatan, buku maupun jurnal yang bisa menuntun kita untuk melihat kembali ‘buruh’ dari masa silam sampai hari ini. Jurnal ‘Menakar kekuatan Buruh Pasca Orde Baru’, merupakan salah satunya cara untuk melihat persoalan buruh dalam kontestasi politik. Meskipun kemudian jurnal ini hanya berlatar belakang buruh dalam sektor manufaktur.
Teri Caraway, Michele Ford dan Hari Nugroho dalam artikel Translating Membership Into Power At The Ballot Box? Trade Union Candidates and Worker Voting Pattern in Indonesia (2014), masih meragukan kemampuan serikat buruh dalam kontestasi politik. Dalam analisis tersebut, ada beberapa faktor yang menandai ketidak-efektifan serikat dalam mengolah sumberdaya buruh menjadi sumber perolehan suara untuk menaikkan calon pemimpin dari kalangan buruh. Antara lain tidak adanya sokongan finansial serta sokongan data keanggotaan para buruh yang tidak pasti. Ini yang membuat partai buruh gagal total dan partai politik lainnya enggan untuk mengambil calon dari kalangan buruh. Selain itu, adanya perpecahan dalam tubuh serikat, membuat pemilu dengan calon dari kalangan serikat buruh menjadi tidak memukau bagi buruh-buruh lainnya. Otoritarianisme yang diwariskan Orde Baru juga begitu nyata dengan memecah serikat-serikat buruh yang ada dan memaksanya untuk bergabung dengan serikat yang dikendalikan negara (Federasi Buruh Seluruh Indonesia/FBSI-kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia/SPSI) juga telah melemahkan dan mempreteli kekuatan kalangan buruh untuk terlibat dalam kontestasi.
Subordinasi dan refresi dimasa otoriter ini dapat kita tarik untuk menjelaskan mengapa buruh tidak atau belum dapat memainkan peran pentingnya dalam perjuangan demokrasi. Perubahan politik yang menimbulkan gejolak dalam sejarah bangsa Indonesia di era 1960 an berhasil memangkas kekuatan buruh radikal yang dimotori oleh Gerakan Kiri (peristiwa ini kita kenal dengan terjadinya konflik gerakan 30 september/G30S, yang efeknya membabat habis seluruh kekuatan progresif, termasuk buruh yang ‘terafiliasi’ maupun ‘disangkakan’ keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia/PKI). Tapi menurut Olle Tornquist, guru besar di Departemen Politik University Of Oslo Norwegia, bahwa tidak semua kesalahan itu dapat ditimpakan pada kekuatan rezim otoritarian. Beberapa persoalan-persoalan utama sebenarnya telah muncul sebelum opresi otoritarian, dimana kaum Kiri sendiri turut bertanggungjawab atas mundurnya hak-hak dan kemerdekaan demokrasi (Labour and Democracy? Reflection on the Indonesian Impasse 2004).
Pertanyaan tentang mengapa buruh tidak mampu memanfaatkan peluang setelah Soeharto terguling, dapat dijelaskan bahwa hal itu bukanlah tidak terjadi. Buruh sudah berupaya melawan ekploitasi ekonomi. Lebih lanjut mereka juga menentang bentuk-bentuk otoritarian akumulasi kapital primitif. Makanya dalam setiap kesempatan, buruh selalu menyisipkan tuntutan hak dasar, sipil dan politik dalam setiap agendanya. Dan tentang ketidakmampuan memanfaatkan kesempatan saat 98/99 juga karena faktor struktural utamanya adalah bahwa demokrasi terbesar ketiga Indonesia bukan dilahirkan dari pembangunan kapitalisme, namun dari krisis sosial dan ekonomi yang mendalam, yang berarti daya tawar buruh secara subtantif lenyap (Olle Tornquist; Menakar Kekuatan Buruh Pasca Orde Baru, 2016, hal 40-79). Tapi tidak berarti buruh tidak berperan. Buktinya buruh secara tidak langsung terlibat dalam banyak proyek pengembangan demokrasi seperti dalam pengorganisasian komunitas buruh tentang hak dasar pekerja, hak asasi manusia, keterlibatan dalam forum solidaritas maupun kejatuhan Soeharto.
Tapi, membicarakan pertalian antara buruh, negara serta perjuangannya dalam kontestasi politik hari ini memang tidak bisa instan. Berkaca dari pengalaman Eropa dan Amerika Latin, yang memang punya sejarah panjang sehingga kemudian kekuatan buruh bisa menjadi penyeimbang bahkan memenangi pemilu parleman dan sebagainya. Dan beberapa geger peristiwa sejarah sebelumnya memang turut mewarnai perjuangan buruh, terutama di Asia Tenggara dan Indonesia. Pasca perang dingin kemudian gerakan anti komunis mencuat dan bermunculan. Bahkan pasca tumbangnya Soekarno, setiap pergerakan yang progresif seperti gerakan budaya, gerakan perempuan termasuk gerakan buruh benar-benar terhempas dan sulit untuk bangkit kembali. Sampai hari ini. Meskipun riak-riak kebangkitan itu ada, tetapi tetaplah gerakan dan perjuangan itu selalu dimarjinalkan. Karena memang ada phobia atau kekhawatiran akut sebagian kalangan tentang kembalinya kekuatan komunis masa lalu. Makanya tidak heran kemudian setiap organisasi atau gerakan yang sedikit progresif (apalagi melakukan tuntutan yang kuat terhadap kebijakan negara), bukan tidak mungkin dilekatkan stigma komunis terhadapnya. Bahkan hal tersebut menjalar sampai ke semua lini gerakan; buruh, tani, mahasiswa atau sipil lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan negera, lengkap dengan perangkatnya seperti aparat hukum, mendapat legalitas untuk mentertibkannya atas nama stabilitas nasional. Dari situlah kita paham bahwa kemudian mengapa dalam setiap kontestasi politik yang terjadi, bargaining posisi kelompok buruh sangat lemah. Meskipun ada juga pemimpin dari serikat buruh yang jadi anggota legislatif bahkan menteri, tetapi perjuangan buruh masih sama bahkan lebih semakin berat.
Ini tentunya yang harus menjadi pekerjaan rumah bagi buruh, serikat buruh atau kelompok buruh untuk menimbang dan merumuskan kembali strategi gerakan atau perjuangan yang benar-benar efektif untuk membawa aspirasi yang diharapkan. Terutama menjelang kontestasi pemilu 2019 mendatang. Semoga.