1.
Aku curiga badanku tidak seperti yang kuinginkan. Kakiku tiba-tiba mudah menendang apa saja. Tanganku terkepal memukuli apa saja. Bahkan mulutku bicara tanpa aku pahami maksudnya. Semua anggota tubuhku seperti bersepakat untuk berontak.
Hingga hari ini aku curiga jangan-jangan ini karena salah makan. Mungkin aku salah memesan menu. Malah aku curiga ada yang sengaja meracuni makananku. Mungkin dicampur dengan besi atau dibubuhi bubuk mesiu. Bukan apa apa karena omonganku sudah seperti peluru.
‘bila kemunafikan telah jadi agama maka hidup tak lagi punya harga dirinya’ kata-kata itu meluap begitu saja dari mulutku tanpa terpikir sama sekali. Seolah ucapan itu meluncur tanpa diduga bahkan tak tahu aku maksudnya.
Kalau diusut perubahan itu muncul pertama kalinya saat aku membaca berita. Jujur aku terkejut ketika melihat wajah orang yang kukenal hendak calonkan diri jadi penguasa. Bukan hanya aku takjub tapi terpana melihat kalimat yang diucapkanya.
‘kekuasaan itu amanah dan saya tak bisa menghindar jika diberikan oleh rakyat pada saya. Janji saya keadilan akan tegak di negeri ini hingga saya terkubur karena perjuangan untuk memenuhinya. Hidup mati saya untuk rakyat, untuk ummat, untuk bangsa dan untuk semua manusia’
Aku benar-benar takjub mendengar ucapanya. Kuingat waktu itu kacang yang kumakan tertelan bersama plastik pembungkusnya. Tersedak aku meludah kesana kemari. Kukumuri mulutku dengan air apa saja. Bagiku perkataan itu bukan hanya sihir tapi lahar yang memakan akal sehatku.
Orang yang mengatakan itu kukenal sebagai pribadi yang mementingkan keinginan dirinya. Pada soal apa saja dan untuk kepentingan apa saja. Hal sepele saja yang dihitung adalah kepentinganya sendiri.
Pernah diajaknya aku ke tukang cukur. Tukang cukur itu diberitahu cara memotong rambutnya. Pertama ia ingin rambutnya dipotong dengan gunting yang dibawanya sendiri. Penutup badan yang warna putih itu dibawa olehnya. Bahkan tak mau kepalanya dipegang sama sekali oleh tukang cukur.
Dibayarnya tukang cukur dengan perhitunganya sendiri. Protes tukang cukur hanya ditatapnya dengan muka besi: ‘saya membayar untuk apa yang sudah kamu berikan. Hanya dua tangan yang kaupakai untuk waktu yang tak lebih dari 25 menit. Membayarmu saja itu sudah berlebihan bagiku’
Terus terang kejadian itu tak mengejutkan sama sekali. Ia bukan orang yang penuh perhitungan tapi manusia yang menghitung apa saja. Terutama jika itu menyangkut kepentinganya sendiri. Ia bukan saja tak mau dirugikan tapi juga ingin mendapat keuntungan dari siapapun.
Kakiku tiba-tiba menendang kursi. Kursi yang sering sekali jadi tempat duduknya. ‘Kamu pikir siapa dirimu bicara seperti orang yang tak pernah keliru dalam berpikir dan berbuat. Jangan salahkan aku kalau aku menendang pantatmu kalau nanti ketemu’
Tanganku memegang foto pigura yang memuat wajahnya. Kulemparkan pigura foto itu ke dinding. Suaranya bergema hingga istriku teriak: ‘apa yang kaulempar itu?! Sudah gila apa kamu! Melempar foto kakakmu sendiri!’
2.
Kami dua saudara yang lahir pada kota yang sama. Ibuku menamainya Tohar sedang aku Tohir. Kami berdua mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah. Tohar memutuskan untuk jadi kontraktor kemudian ikut partai politik. Sedang aku cukup PNS saja.
Tohar mula-mula hanya jadi tim sukses lalu coba nyalon jadi anggota parlemen. Berhasil lolos hingga dirinya dikenal lalu tampil di banyak media. Mengomentari soal apa saja. Menanggapi apapun yang pantas maupun tak pantas.
Kalau ke rumah kerap ia bicara seperti diwawancarai saja. ‘Menurutku keadaan sekarang ini sangat memalukan. Kondisi ekonomi sangat buruk. Pengangguran dimana-mana. Bahkan cari beras murah saja susah. Kurasa waktunya memang penguasa itu harus diganti’
Padahal aku hanya bertanya: ‘bagaimana kabarmu? Jawabanya bisa panjang seperti diatas. Ia yang partainya tidak bisa duduk di tahta terus-menerus mengecam penguasa. Apapun bisa jadi masalah baginya. Bahkan ketika istriku ditipu oleh biro perjalanan umroh.
‘apa aku bilang! Pemerintah sekarang ini tak bisa mengawasi biro perjalanan yang punya niat jahat. Tak bisa kubayangkan kalau orang mau beribadah malah ditipu. Benar-benar keterlaluan pemerintah yang bisanya hanya mengijinkan tapi tak bisa mengawasi’
Itulah komentarnya dan hanya itu yang bisa dikatakanya. Uang yang terlanjur dibayarkan menghilang begitu saja. Saudaraku bicara kemana-mana tentang istriku. Tapi tak ada yang diperbuatnya kecuali hanya mengatakan: ‘aku prihatin, sangat prihatin dan tambah prihatin mendengar nasib kalian’
Tapi tetangga kami beranggapan kalau aku beruntung. Punya saudara politisi yang dikenal dimana-mana. Sehingga urusan apapun akan mulus karena bersaudara denganya. Anggapan mereka hidup kami makin mudah karena punya saudara sepertinya.
Jelas itu pandangan sesat yang membuat kami makin jengkel. Tak banyak pengaruh yang dibawa olehnya. Hidup kami tak berubah baik juga tak memburuk karenanya. Dulu saat pertama terpilih jadi senator, Istriku kadang menyuruhku agar aku meminta bantuanya.
‘cobalah minta bantuanya agar kamu bisa naik posisi lebih baik. Masak bertahun-tahun kamu kerja posisinya masih saja sama. Siapa tahu saudaramu bisa bicara sama pak menteri lalu mengangkatmu jadi apa saja. Yang pastinya lebih baik dari yang sekarang’
Hanya karena permintaan itu diulang berkali-kali aku terpaksa memenuhi keinginanya. Padahal aku sadar kalau itu permintaan yang sia-sia. Saudaraku bukan orang yang bisa memikirkan kepentingan di luar dirinya sendiri. Bahkan jika itu saudaranya sendiri
‘aku senang dengar permintaanmu. Tapi kau tahu sendiri ini bukan pemerintahanku. Aku tak punya kekuasaan saat ini. Andaikata partaiku memenangkan pemilu tentu tidak mintapun akan aku berikan jabatan tertinggi buatmu. Bagiku kamu bukan hanya saudara tapi diriku sendiri’
Jujur pernyataan ini buat aku terharu. Tapi tak lama kemudian dirinya sendiri duduk sebagai komisaris di perusahaan yang menjadi mitra tempat aku kerja. Janji yang dulu sempat ditawarkan itu kutagih kembali dan jawabanya seperti yang aku duga:
‘bagaimana kau menyuruhku untuk menjalankan praktek nepotisme. Itu tindakan yang tidak reformis. Kau ingin saudaramu itu mengkhianati cita-cita reformasi. Tentu aku tak mau diriku terjerumus ke dalamnya meski untuk itu aku harus kehilangan hubungan persaudaraan. Kau mesti paham itu!’
Padahal istrinya, anaknya hingga mertuanya semua duduk menjadi personel di perusahaan itu. Paling tidak nama mereka dicantumkan begitu saja. Istriku yang tahu jawaban itu hanya bisa terdiam hingga berkomentar aneh: ‘sialnya orang semacam saudaramu itulah yang biasanya berhasil dalam politik’!
3.
Sampai satu saat aku dengar ia calonkan diri jadi penguasa. Baliho yang memuat gambar mukanya tertempel dimana-mana. Tak hanya di jalan tapi media sosial menciptakan profil dirinya dengan sempurna. Tak kubayangkan ia mengubah dirinya sendiri dengan cara luar biasa
‘Tohar adalah pria yang pantas pimpin negeri ini. Anak desa yang telah menjelma jadi pahlawan harapan masa depan. Pekerja keras, jujur, rajin dan penuh tanggung jawab. Pengalamanya sebagai politisi yang tak pernah memikirkan kepentingan pribadi adalah tauladan bagi warga. Tohar pantas menduduki tahta tertinggi negeri ini’
Muak aku melihat iklan yang ditayangkan di televisi tentang dirinya. Bergaya merangkul petani, duduk bersama buruh hingga mengayuh becak. Anak-anaku ketawa melihat ulah pamanya yang tampak bersandiwara.
Sekarang kalau ke rumah bawa rombongan juru foto. Kami diatur untuk duduk mengelilinginya. Foto dijepret dari segala sudut: dari pojok dari atas hingga dari samping. Aku tak tahu kalau foto itu di pasang di jalan dengan judul yang menghina: ‘tetap bersaudara walau jauh kedudukan’
Rasanya seperti dihina tapi saudaraku dengan enteng akan mengatakan: ‘ini semua kulakukan agar kita sebagai keluarga bisa berdiri secara terhormat dan dikenal. Bukankah kalau aku menang kau juga akan bangga karena punya saudara sepertiku’
Aku hanya diam, jengkel dan kesal. Istriku yang dulu pernah belajar di psikologi selalu punya komentar yang jenaka ‘seringkali masyarakat yang frustasi butuh hadirnya orang gila yang punya kemampuan memenuhi mimpi mereka. Saudaramu itu memenuhi semua itu’
Tapi kemujuran itu memang sulit ditebak. Mujur itu tak bisa dipelajari. Kata orang tua: ‘mau pintar ada sekolahnya tapi kemujuran tak ada bukunya’ begitulah kira-kira nasib saudaraku yang tiba-tiba saja berhasil meraih suara terbanyak.
Disiarkan di televisi, radio hingga media sosial ia meraih suara tertinggi. Kami semua tiba-tiba merasa bahagia, bangga dan senang. Walau aku tak memilihnya tapi mendengar berita itu aku tiba-tiba merasa ikut menang.
Saudaraku akan jadi penguasa lalu fotonya dipasang dimana-mana. Di kantor tempat aku kerja, di ruang sekolah anakku hingga balai pertemuan warga kampung. Tak bisa kubayangkan ia akan menjadi manusia ternama dan itu tak lain adalah saudaraku.
‘ada wartawan mencarimu’ istriku mengatakan itu dengan muka gembira. Aku diwawancarai pertama kalinya. Apa yang kukatakan tentang dirinya. Aku tiba-tiba jadi tahu apa yang harus aku katakan
4.
‘apa kesan bapak mengenai pak Tohar yang kini berhasil meraih suara terbanyak? Pertanyaan itu dilontarkan bukan hanya oleh satu orang, tapi banyak orang. Kilatan kamera itu menimpuki wajahku. Jujur aku jadi bangga dan merasa seperti dirinya.
Di belakang ada istri dan anakku yang tersenyum malu. Aku tak tahu apa mereka punya perasaan sama sepertiku. Setahuku mereka sering sekali dikecewakan oleh pamanya. Tiap kali mereka minta tolong selalu ditolak dengan alasan aneka rupa.
Di samping kulihat para tetangga melihatku. Wajah mereka juga tersenyum dan ingin tahu apa yang mau kukatakan. Mereka kerapkali dibuat geram karena saudaraku hampir setiap ketemu selalu mengatakan kalimat yang dimulai dari: semua ini untuk bangsa. Apapun dan dimana saja forumnya.
Kata bangsa ini begitu mudah diucapkan olehnya. Demi bangsa, untuk kejayaan bangsa serta pengorbanan untuk bangsa. Kata itu seperti air mancur yang muncrat kesana kemari. Tapi kata inilah yang membawanya duduk di tahta
Harus aku bilang bagaimana tentang dirinya. Ia yang kini dipilih oleh rakyat, ia yang terbukti memenangkan suara dan ia yang kini duduk di jabatan tertinggi. Aku memang harus memilih: tetap jadi saudaranya atau jadi pendukungnya
‘terus terang saya sebagai saudara merasa bangga saudara kandung saya terpilih. Bagi saya ini bukan mengejutkan mengingat apa yang dilakukanya selama ini. Saya menjadi saksi bagaimana dirinya hidup tidak untuk dirinya sendiri. Baik ketika kami masih hidup susah atau ketika kami hidup mapan. Ia telah mengurbankan hidupnya untuk masyarakat dari dulu hingga kini. Sungguh bangsa ini beruntung karena mendapat pemimpin yang sejak dulu telah melatih dirinya untuk memimpin. Hidup untuk orang lain dan demi bangsa. Itulah kesaksian saya atas saudara saya yang hari ini terpilih’
Jepretan kamera itu masih kurasakan kilatanya tapi tak bisa aku melihat bagaimana wajah wartawan yang mendengar jawabanku.
Sekian