Andai Politisi Ketemu Nabi

Manusia terbaik adalah seorang mukmin yang berilmu. Yaitu jika dibutuhkan, maka ia berguna bagi sesamanya. Namun , jika tidak sedang dibutuhkan, ia dapat mengurus dan mengendalikan kebutuhan dirinya sendiri  (Rasulullah SAW)

Dalam perjuangan demi cita-cita, kita berhadapan dengan penipu, pengiri dan orang yang tidak cakap. Orang yang teguh tidak akan peduli pada mereka dan tidak akan menyia-nyiakan waktu hanya untuk memperhitungkan mereka. Sebab barangsiapa berjalan menuju cahaya tidak perlu cemas tentang apa yang terjadi dalam kegelapan (Tugu kenangan untuk Pejuang, Brazil)

Harus ada perlawanan, entah dengan cara apa, dan jangan sampai kita ditundukkan olehnya (Albert Camus)

***

Saya sulit bayangkan kalau Musa bukan berhadapan dengan Firaun tapi politisi. Yang cerdik, ngeyel dan tak mau kalah. Tongkatnya yang berubah jadi ular atau membelah laut paling akan jadi bahan olok-olok. Dianggap absurd hingga dituding cari perhatian. Karena yang diperdebatkan bukan lagi kebenaran tapi kedudukan.

Abu Lahab hingga Abu Jahal sudah terang kejahatanya. Suka menghalang-halangi dakwah bahkan dengan berani tak percaya pada Iman. Penentanganya pada Rasulullah SAW konsisten: tak pernah percaya, tak hiraukan sama sekali nasehatnya hingga mengajak perang terbuka. Tapi politisi tak pernah jelas posisinya: bisa menyerang, lalu bersekutu dan tiba-tiba membenci.

https://watyutink.com/

Sungguh dakwah bisa alami kesulitan kalau yang dihadapi politisi. Mereka dapat melakukan klaim pada Tuhan hingga setan. Sebab rujukan mereka bisa apa saja: emosi sesaat, keinginan sepihak hingga hasrat yang tak bisa ditunda. Mungkin itu sebabnya Nabi dihentikan pengirimanya ke dunia karena politisi bukan lawan yang pantas. Mereka bukan berduel dengan posisi sama tapi berubah-ubah ikuti suasana.

Kebaikan menjadi pedoman yang sulit untuk dipegang karena politisi mahir memaknainya. Tengok saja bagaimana debat mengenai apapun hari ini tak berujung pada kesimpulan bersama: mulai soal tenaga kerja asing hingga hutang luar negeri. Semuanya dikomentari, didebat bahkan dinyanyikan segala. Kita tak mendapatkan kemaslahatan bersama tapi kebisingan yang dinyalakan dimana-mana.

Kalau saja Nabi dulu berhadapan dengan partai politik tentu akan rumit lagi. Masing-masing partai punya ketua yang figurnya sudah melebihi Tuhan: apapun yang dikatakanya akan disetujui, apapun keputusanya tak akan dibantah dan semua peryataanya sudah seperti sabda. Sedang Firaun saja bisa dibantah oleh tukang sihirnya sedang ketua partai sulit disindir oleh kadernya.

Bayangkan saja kalau Nabi Nuh buat perahu tentu politisi bersikap mendua. Mungkin ada yang mencemooh tapi yang sebagian akan ikut dalam perahu. Pertimbanganya bukan kebenaran warta Nuh tapi semua hal harus dicoba karena selalu ada peluangnya. Peluang itulah yang menjadi tabiat politisi sehingga mereka bisa dengan lincah lompat partai sana sini.

Lebih lebih jika dihadapkan pada pengadilan Isa. Saya rasa politisi akan memberikan opini yang berbeda-beda. Kisah Isa bisa berujung berbeda karena politisi akan secara mahir memanfaatkan pria bijak ini dengan cara apapun: mungkin menyatakan penyesalan atas penyalibanya jika itu menguntungkan partainya atau ikut menghukum jika itu menambah potensi kemenangan.

Mungkin itu sebabnya saat nabi berdakwah belum ada Pemilu atau Pilkada. Kalau saja saat itu ada tentu kisah agama bisa berubah drastis: Yusuf yang tampan pasti akan jadi rebutan partai karena ketampananya saja akan menyeret lumbung suara dan Ismail yang mau berkorban akan jadi tokoh yang didaku oleh partai mana saja.

Maka politisi cukup beruntung karena yang mereka lawan adalah politisi juga. Berduel opini diantara mereka untuk hal apa saja tak ada yang bisa jadi wasitnya. Panduan etika hingga akal sehat sulit untuk mengatasi hiruk pikuk pandangan hari ini karena tiap orang lebih mudah jadi pengikut. Memilih untuk tak percaya pada penguasa hari ini atau mempercayai segala apa yang dinyatakan penguasa.

Tiba-tiba kita rindu datangnya Nabi: yang dengan lembut menyapa orang yang beda pandangan denganya dan terus berusaha untuk memberitahu kebaikan pada siapa saja. Hanya seorang Nabi yang bisa membuat kita mampu melihat secara hina apa itu ‘posisi, jabatan hingga harta kekayaan’. Kalau saja Isa muncul mungkin menatap wajahnya saja kita malu karena kenekatanya memanggul derita.

Orang-orang suci dan kudus itu kita rindukan karena kita merasa ‘kehilangan’. Lama-lama kita kehilangan kesabaran, kian sulit kita bertemu dengan kebenaran dan semakin susah menemukan makna kebersamaan. Di hadapan Nabi perjuangan itu seolah punya makna karena jaminanya bukan tahta tapi kebenaran yang akan memberi manfaat hidup hari ini dan masa depan.

Konyol mungkin kerinduan ini tapi hanya melalui jendela semacam inilah kita bisa ‘menertawakan’ polah politisi. Yang serupa dengan musuh-musuh nabi: terlampau yakin dengan pendapatnya sendiri, selalu menghina yang berbeda dan meremehkan pandangan kalau itu datang dari yang tak sama. Memang Nabi telah lama tidak bersama dengan kita tapi ‘kisahnya’ pantas untuk kita hadirkan lagi.

Bukan kisah perseteruanya tapi kesabaran, ketulusan dan kematanganya. Bukan karena mereka berhadapan dengan politisi tapi zaman yang saat itu punya keserupaan dengan hari ini: mudah orang untuk percaya pada yang punya kelebihan harta serta tahta dan gampang sekali orang ditipu oleh apa yang dinyatakan oleh mereka yang kita anggap punya kuasa.

JIKA nabi Ibrahim diberi kesempatan untuk bertanya mungkin bukan apa matahari dan bulan itu Tuhanku, tetapi apakah partai politik dengan ketuanya itu pantas untuk dijadikan Tuhan bagi para pendukungnya? Dan kita tahu pasti jawaban Tuhan akan selalu sama.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0