Kisah Pengakuan Pemuja Globalisasi

Tuhan selalu memaafkan. Manusia sering memaafkan. Alam tak pernah memaafkan (Pepatah)

Kita belum pernah melihat masa ketika ada makin banyak orang yang dapat membuat sejarah, mencatat sejarah, mempublikasikan sejarah dan memperkuat sejarah (Dov Seidman)

Dua puluh lima tahun terakhir, yang penting adalah siapa yang bisa membuat barang dengan biaya paling murah, sementara dua puluh lima tahun ke depan, yang penting adalah siapa yang bisa membuat barang paling pintar (Antonie van Atgamael-investor)

***

Thomas L Fredman adalah kolumnis New York Times. Pendidikan terakhirnya adalah bahasa Arab dan studi Timur Tengah. Bekerja pertama kalinya di kawasan panas: Lebanon dan Palestina. Ia menyaksikan kejatuhan PLO sekaligus revolusi Iran. Kemudian ia jadi jurnalis yang meliput Gedung Putih pada masa Bill Clinton. Lalu dirinya jadi kolumnis yang populer dengan tulisan yang lancar, mengejutkan dan informatif.

Thomas menulis banyak buku yang laris. Ia meyakinkan kita tentang faedah globalisasi. Meniupkan optimisme pada pembaca kalau perubahan ini menguntungkan. Baginya terutama dan warga dunia. Tulisanya mirip motivator yang terus-menerus memberi informasi mengenai kemajuan yang bisa diikuti siapa saja. Kemampuanya dalam membuat contoh, data atau mengungkap fakta membuat kita ingin mendebatnya.

Kali ini pembaca diyakinkan tentang dunia yang melaju cepat dengan temuan tekhnologi yang menggantikan peran manusia. Sepanjang 600 halaman buku ini melukiskan dengan padat kemampuan mesin komputer dan internet. Tak hanya mengubah sejarah manusia tapi juga membuat dunia jadi lapangan datar yang tiap orang mampu membuat peran.

Friedman piawai dalam menelusuri fakta: ia menemukan M Arie Kurniawan, ahli tekhnik umur 21 tahun dari Salatiga yang memenangkan sayembara General Electric. Arie mengalahkan tim insiyur dari berbagai negara dalam merancang kompenen siku penggantung pesawat terbang. Bracket nama alat itu yang sukses dirakit secara 3D. Kesimpulanya kecerdasan bisa berasal dari mana saja.

Secara meyakinkan Friedman juga meyakini ‘penetrasi internet tinggi berkolerasi dengan PDB yang tinggi’. Maknanya: pertumbuhan TIK (tekhnologi informasi dan komunikasi) terjadi, lalu selagi penduduk menjadi makin nyaman dengan tekhnologi dan makin produktif, tingkat PDB mulai naik juga’

Kesimpulan yang nyaris membuat kita termangu dan percaya begitu saja. Friedman menyuguhkan cerita yang miris. Ia berkunjung di India kemudian diundang oleh Intitut Tekhnologi India di Rajasthan. Singkatnya disana diciptakan mesin andoroid dimana warga miskin bisa mengunduh apa saja dengan biaya beli 1500 rupiah. Mesin yang membuat mereka menikmati pendidikan on line gratis.

Pada sisi positifnya memang Friedman melihat pendidikan musti diubah. Tak mungkin bangunan pendidikan berisi materi kuliah monoton lalu diakhiri dengan pemberian ijazah. Pola itu kuno, konyol dan tertinggal. Ekonomi pengetahuan-begitu istilahnya-mensyaratkan perubahan radikal pada tiga pola hubungan.

Antara pekerja dan pemberi kerja, pelajar dengan lembaga pendidikan serta rakyat dan pemerintah. Patokanya bukan manusia tapi tekhnologi: tekhnologi mengurangi kebutuhan kegiatan tertentu tapi juga dapat memindahkan tugas dari satu profesi ke profesi lain. Maka tekananya pada manusia: harus lebih tahu lebih banyak, memperbaharui yang kita ketahui lebih sering, melakukan lebih banyak hal kreatif.

Sungguh di hadapan buku Friedman kita seperti terjebak. Pada labirin supernova-istilah kecepatan serta keluasan pengaruh tekhnologi-yang akan membawa akibat ‘kesenjangan motivasi’. Produksi istilah Friedman membuat kita seperti diseret dalam sebuah masa depan yang kompetitif dengan kemampuan destruktif yang sulit ditangkal.

Konektivitas yang membuat aliran pengetahuan itu jadi demokratis: tiap orang bisa punya pandangan sekaligus memberi pemecahan. Friedman datang ke laboratrium google yang menjamu dirinya dengan menaiki mobil tanpa sopir. Kesanya: ia merasa lebih aman ketimbang disopiri manusia. Mobil itu jalanya dikendalikan oleh HP.

Tapi tekhnologi tak bisa menahan krisis ekologi. Nyata ancaman itu karena pertumbuhan populasi yang meledak. Diperkirakan pada 2050 penduduk dunia akan mencapai angka: 9,7 milliar. Kebutuhan populasi itu atas makanan dan air hingga kendaraan bisa menciptakan malapetaka yang sulit diatasi. Istilahnya: kita sudah beralih dari dunia kecil di planet besar menjadi dunia besar di planet kecil.

Tapi Friedman selalu optimis: manusia mampu mengatasi gonjang ganjing geo politik besar: munculnya Hitler, Pearl Harbour hingga 9/11 telah mengentaskan kemampuan manusia dan kini mereka harus bertindak pada ancaman yang mereka buat sendiri. Resepnya: memadukan kekuatan individu, kemampuan mesin, kekuatan bersama dan kekuatan aliran yang diorganisir bareng.

Bagi anda yang percaya pada gagasan kiri buku ini mungkin sampah. Tak memberitahukan apa-apa pada kita kecuali menerima saja kemajuan yang ada. Friedman memang berada dalam lingkungan yang nyaman: tulisanya dikagumi oleh banyak orang, keyakinanya diterima begitu saja dan undangan atasnya berlimpah.

Friedman secara terus terang bilang: tekhnologi fisik berkembang dengan cepat makin cepat tapi tekhnologi sosial berkembang mengikuti laju perubahan manusia. Ia mengatakan ‘tekhnologi sosial’ yang menciptakan ketegangan dan kerusuhan. Arus perubahan yang berbeda itulah yang baginya menjadi tantangan bersama.

Juru kampanye globalisasi ini dengan cakap mengembangkan gagasanya dengan persuasif. Tulisanya memang tak memberi landasan teori yang kuat karena sebagai tulisan populer Friedman berusaha menyuguhkan apa yang dilihatnya, dialaminya dan diyakininya. Rasanya seperti menonton film Walt Disney dimana kita disuguhi paket harapan hidup di alam globalisasi.

Bab yang paling menegaskan keyakinan Friedman adalah soal negara. Baginya kapitalisme tetaplah jadi pemenang. Ia mengutip Warren Buffet: ‘kita baru tahu siapa yang berenang telanjang kalau airnya surut’ Friedman bicara soal negara yang berantakan karena ketidak mampun beradaptasi dengan pasar. Venezuela salah satunya: hancur karena menghabiskan semua yang didapat tanpa menabung.

Kesimpulan konyol ini ditegaskan oleh Friedman saat bertandang negara yang disebutnya rapuh: dari Madagaskar ke Suriah ke Senegal lalu ke Niger. Suriah merupakan negara yang terkenai musibah abadi: sejak kekuasaan beralih dan ketika pilihan pertanian yang berdasar pada tanah kroni diputuskan oleh Basher Assad. Friedman menganggap konflik Suriah dipicu oleh kebijakan berorientasi pada eksploitasi lingkungan.

Bagi Friedman negara gagal itu tak bisa diatasi dengan invasi. Pemecahanya sederhana: tingkatkan pendidikan lalu bangunkan harapan. Jauh lebih baik mengirim bea siswa pada mereka ketimbang senjata. Nasehat yang berguna tapi sayangnya tak diindahkan oleh para penguasa Amerika sendiri.

Terusik oleh arus migrasi yang membludak bahkan angkanya kian berbahaya. Bagi Friedman butuh bangunan tembok tinggi tapi pintu yang lebar terbuka: legalitas para migran jadi penting. Tak mungkin negara menutup diri karena itu kemustahilan dalam globalisasi.

Saranya pada para pemimpin politik adalah berkaca dengan alam. Melalui alam belajar arti keragaman, adaptasi dan kesabaran. Politik musti dipandu oleh kemahiran beradaptasi sekaligus percaya diri dengan kebudayaan luar serta selalu sabar hadapi perubahan. Sugesti moralistik ini dicontohkan pada Amerika.

Negara yang dikagumi Friedman karena menawarkan banyak kelebihan. Secara terang Friedman menyebut salah satu kota daerah pinggir Minneapolis, St Louis Park, Minnesota: daerah-tempat asalnya- yang serupa surga karena dihuni oleh banyak orang jenius, pintar dan bahagia. Kisah tentang kota itu meyentuh hingga kita sebagai pembaca merasa rugi karena tak tinggal di tempat itu.

Kota yang toleran, terbuka dengan kepedulian sesama yang tinggi. Seperti sebuah harapan: arsitektur dasar masyarakat abad 21 yang berketahanan dan makmur mesti berupa masyarakat yang sehat. Kota Minneapolis memenuhi syarat itu dan memang Friedman percaya hal itu tetap berlaku hingga saat ini.

Jadi apa menariknya buku ini selain ketebalan dan gaya tulisanya? Ia memprovokasi kita untuk ikut membenahi dunia yang sedang melaju cepat tapi meninggalkan banyak luka. Friedman meyakini kaidah klasik moral: lakukan apa yang engkau nasihatkan pada orang lain. Ia berpaling pada kearifan purba: untuk membesarkan satu anak butuh orang satu desa.

Percayakah kita dengan tesisnya? Tugas saya hanya mengantar anda untuk menjenguk jendela gagasan pria yang banyak dicaci sekaligus dipuja oleh dunia hari ini: Thomas L Friedman. Ia bayang kapitalisme yang bangga, sedih, kuatir tapi juga berusaha untuk optimis. Buku yang mirip perjalanan dan pengakuan, ketimbang ekspresi keyakinan.

***

Judul; THANK YOU FOR BEING LATE; Membangun Optimisme untuk Melangkah Maju di Era Akselerasi – Penulis; Thomas L Fredman – Penerbit; Gramedia, Jakarta, 2018

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0