Rocky Gerung: Sang Bintang Debat

 

Ketika kebodohan menguasai kesadaran maka kesadaran memiliki hak untuk berbuat hal paling bodoh (Husayn Fattah)

Cendekiawan adalah individu-individu yang mempertanyakan rutinitas dan keyakinan hidup sehari-hari dan merefleksikan agar sungguh bermakna (Ron Eyerman)

Dari sekian banyak orang pintar di

Sekitar sini

Aku paling bahagia melihatku sendiri

Suaraku adalah satu-satunya yang aku cermati

Dan wajah satu-satunya yang aku tatapi

Adalah wajahku sendiri (Roy Campbell)

***

Saksikan gaya debatnya: filosofis, argumentatif dan jenaka. Mudah saja lawan debatnya takluk. Bukan karena tak punya argumen tapi kalah oleh keindahan kata. Rocky seperti air terjun: argumenya seperti memukul tebing keyakinan kolot. Ia tak sekedar berdebat tapi mengajari mereka yang jadi lawan debat.

Mudah saja Rocky melemahkan argumen dengan logika sederhana. Soal keterpilihan Jakowi hingga soal kitab suci. Dasar argumenya bukan apa yang dikatakan lawan tapi apa yang diyakininya. Jelasnya Rocky tampak percaya diri. Ia pintar mengutip buku di saat mana lawan debatnya hanya bermodal lidah.

Tiba-tiba Rocky mencuri perhatian. Acara ILC tanpa Rocky seperti laut tanpa warna. Penonton menunggu apa yang dikatakanya. Penonton menunggu apa yang akan didebatnya. Seperti magnet Rocky mampu menarik perhatian dengan caranya: menegaskan pandanganya, menyerang pandangan beda kemudian mengklarifikasi kekeliruan pola pikir.

Sesaat ia seperti pesilat yang lincah. Kali lain seperti guru. Lalu muncul tiba-tiba dengan ledakan pendapat. Dikuliti semua pendapat lawan: ia menyanggah, ia membuka pikiran baru dan ia mengkritik. Bagi Rocky ruang debat itu seperti pekarangan dimana dirinya bisa bermain, bercanda dan melemparkan umpan.

Rocky terbit dalam suasana kebebasan media. Tumbuh ketika pasar memerlukan figur baru. Tidak sekedar ngomong, tak hanya bicara dan tak pula lempar data. Rocky membentuk suasana diskusi yang mensyaratkan etika akademik: ada referensi, ada argumentasi dan ada komunikasi yang tertib. Soalnya mengapa Rocky Gerung menarik?

Mungkin karena diskusi politik selalu dijejali oleh pengamat dan politisi. Politisi bicara ikuti kepentinganya dan pengamat mengulang apa yang diyakininya. Rocky memutus tali itu dengan mengungkap banyak metafora, kadang mendesak dengan kalimat yang bernas dan tak jarang mengusut kekeliruan logika.

Kita diajari berfikir logis dan filosofis. Hal yang selama ini hilang dalam diskusi televisi. Debat para politisi hanya mengumbar pernyataan, kadang dengan volume suara keras dan membela majikanya dengan membabi buta. Hingga dalam diskusi tak bisa kita dapatkan pelajaran apa-apa kecuali keributan sana sini.

Pengamat juga banyak yang gunakan angka. Hasil survai, hasil angket atau hasil polling. Seolah gejala politik itu seperti campuran kimia. Dimana rumus serta takaranya pasti sesuai. Retorikanya terlalu akademis sehingga seperti membaca sebuah definisi. Kering, tak segar dan kurang jenaka.

Rocky meluncur sendirian dalam debat politik. Ia berani menyanggah politisi dan akademisi. Sesekali meyentil kitab suci tapi tampaknya tak ada yang berani adu argumen denganya. Ia tak memulai sesuatu dengan data saja tapi keyakinan atas akal. Persis seperti filosof yang mengguncang dengan banyak pertanyaan.

Sayangnya Rocky seperti tanpa tanding. Ia seperti ngoceh sendiri. Benar ada lawan debat tapi mereka tak bisa menangkis dengan canggih. Kian emosi maka Rocky tampak berdiri lebih tinggi. Ia memberi contoh bagaimana akademisi berada dalam ruang media. Lugas, jenaka dan padat referensi.

Saya mendengar ceramah Rocky Gerung sejak tahun 90-an. Pesonanya dalam retorika ada sejak dulu. Disiplin ilmunya sekaligus pengalamanya membentuk cara berfikir kritis. Itulah yang membuat ilmu humaniora penuh pesona. Ditampilkan dalam gaya yang segar sehingga para pendengar seperti dapat siraman jiwa.

Rocky yang bisa melawan para demagog. Yang berputar dalam forum sana sini untuk menipu. Kita memerlukan pendidikan retorika yang didasarkan atas argumen dan akal. Pilihan yang tidak diprioritaskan pemerintah dalam desain pendidikan. Kita bukan kurang insiyur tapi yang lebih kurang lagi penduduk yang punya daya pikir logis.

Itu sebabnya Rocky dengan cerdik mengkritik gaya Jakowi bertanya di setiap panggung. Berhadiah sepeda luncuran pertanyaan seperti buku LKS: standar dan kurang imaginatif. Bidikan tepat, segar dan unik. Sebagai oposisi sebaiknya memang Gerindra atau PKS belajar dengan Rocky. Baik cara berargumen maupun menyatakan pandangan.

Maka waktunya para filosof kampus memenuhi media. Sehingga wacana publik tak dikotori oleh obrolan yang tak mutu dan argumen yang brengsek. Hanya mereka yang dapat melawan tradisi hoax sekaligus keyakinan demagog yang hanya melahirkan kaum fanatik. Rocky kita perlukan bukan karena ia tak mendukung Jakowi tapi ia mengajarkan pada kita bagaimana cara bermutu dalam debat. Kita menunggu siapa yang akan melawan Rocky dengan gaya debat yang sama: ada referensi, punya logika dan paling penting piawai dalam menyusun kata.

Waktunya televisi bukan jadi panggung politisi dan pengamat tapi juga akademisi yang cerdik, kritis dan berakal sehat.

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0