Akan datang sepeninggalku satu kaum di dalamnya tidak tegak kekuasaan, kecuali dengan pembunuhan dan pemaksaan; tidak tegak kekayaan, kecuali dengan kesombongan dan kebakhilan; tidak tegak kecintaan kecuali dengan mengikuti hawa nafsu kebanyakan orang. Barangsiapa menemui zaman seperti itu dan bersabar dalam kemiskinan walaupun sanggup kaya, menerima kebencian walau disukai, tabah menanggung kehinaan walaupun dihormati, semua dilakukannya dengan mengharap keridhaan Tuhan, Allah akan memberinya pahala lima puluh orang shiddiqin (Rasulullah SAW)
***
Seperti biasa setelah ledakan bom dan penangkapan muncul deklarasi dan ucapan simpati. Deklarasi dihimpun oleh para pemuka agama dengan peryataan sikap yang sama: mengutuk terorisme. Disusul kemudian dengan ucapan simpati yang diiringi dengan doa untuk mereka yang jadi korban. Para pemuka agama Muslim terutama selalu mengatakan hal yang sama: Islam mengutuk kekerasan. Jika ada orang Islam melakukan pembunuhan itu pasti bukan perintah agama. Mereka adalah ‘oknum’ yang menyimpang dari ajaran. Bahkan dengan serius ada yang membela diri dengan menyatakan ‘oknum’ itu sengaja atau direkayasa atau ditiup kesadaranya sehingga melakukan tindakan diluar logika.
Ujaran atau tanggapan semacam ini muncul dimana-mana. Media sosial seperti panggung tempat pengelabuan kejahatan itu dilakukan. Para pemuka agama memang tidak pernah merasa ikut bertanggung jawab atas semua ‘penyelewengan’ ajaran. Seolah-olah apa yang terjadi itu di luar kewenanganya sama sekali. Benar mereka ada yang pernah berada di ormas agama tertentu kemudian memeluk keyakinan yang beda bahkan mengutuk organisasi agama itu sendiri. Tapi perkenalan mereka dengan ormas agama resmi atau setidaknya persinggungan dengan dakwah para pemukanya pastilah terjadi. Tak pernah ada pertanyaan yang menggugat pada ormas agama bahkan departemen agama mengapa itu semua terjadi? Bukankah mereka melakukan itu semua atas dasar keyakinan keagamaan yang juga selama ini jadi landasan organisasi agama?
Seperti kita saksikan ormas agama macam NU dan Muhammadiyah telah memiliki segalanya. Aset hingga kadernya yang berjejaring dimana-mana. Asset Muhammadiyah saja dihitung dari lembaga pendidikan hingga rumah sakit pasti besar nilainya. Menyentuh banyak kalangan terutama kelas menengah membuat organisasi ini tampil berwibawa di masyarakat International sekalipun. Begitu pula dengan NU yang punya banyak Pondok Pesantren, sekolah umum, Universitas hingga posisi kadernya di kekuasaan. Dua organisasi besar keagamaan ini memiliki peran sekaligus pengaruh istimewa. Para pimpinanya selalu jadi langganan istana jika ada konflik yang berunsur agama bahkan istana sering mendatangkan tokoh-tokohnya untuk mendapatkan pandangan. Acara apapun yang dihelat oleh dua organisasi ini selalu mendatangkan para petinggi yang didaulat membuka maupun menutup.
Kini ketika keyakinan keagamaan yang tumbuh mulai punya unsur berontak pada negara bahkan mulai tak percaya dengan keyakinan yang ada muncul gugatan apa yang sudah dilakukan oleh dua ormas agama ini? Melalui pendidikan yang telah diselenggarakan, lewat para tokoh yang bicara dimana-mana hingga melalui mesin organisasi yang menjulur di tiap daerah mengapa keyakinan agama yang keras itu bisa tampil dengan gampang? Malah dengan sederhana kita mau bertanya apa yang sudah disumbang oleh kedua ormas agama ini dalam mengembangkan praktek agama yang selalu dijadikan dalih para militan terutama dalam soal keadilan dan keberpihakan? Terhadap mereka yang lemah, dipinggirkan dan selalu berada diatas tiang kemiskinan? Sudahkah kemakmuran yang dinikmati oleh para elite organisasi agama ini juga meyentuh ummat Islam yang memang mayoritas masih berada dalam keadaan miskin? Kebijakan apa yang sudah diperbuat oleh organisasi agama ini dalam meyantuni, melindungi bahkan mensejahteran ummat?
Letusan pertanyaan itu tak bisa dijawab sempurna apalagi memuaskan yang bertanya. Mustahil kedua ormas agama ini tak berbuat sama sekali: pendidikan yang didirikan banyak menampung masyarakat baik yang mampu maupun tak mampu, santunan sosial diberikan dengan cara apa saja sehingga banyak masyarakat menikmatinya dan lagipula banyak kebijakan yang lahir dari kader dua organisasi ini yang dianggap sesuai dengan kebutuhan ummat. Data mengenai itu semua pasti ada serta bisa menangkis semua gugatan itu. Yang kini patut dijawab adalah sejauh mana upaya itu semua mampu menangkal rasa kecewa yang tumbuh seiring dengan situasi sosial yang kini ada. Situasi sosial yang menurut riset terdiri atas: kemiskinan yang naik di banyak negara miskin dengan populasi anak muda yang besar jumlahnya, kepercayaan yang menurun pada kekuasaan sehingga tak mudah penguasa untuk menegakkan stabilitas seperti dulu, identitas yang menguat seiring dengan ketimpangan yang mencekam, tekhnologi memudahkan segalanya tapi juga menciptakan kesenjangan luar biasa dan sifat konflik yang berubah seiring dengan membesarnya peran aktor non negara.
Jelasnya ada konflik yang bisa merasuk kemana saja. Sentuhan konflik itu dapat memakai label apapun. Termasuk di dalamnya adalah agama. Sumbernya memang tidak pada ajaran tapi cara membaca ajaran itu yang jadi sengketa. Wahyu yang dibajak untuk kepentingan dunia itu telah membawa akibat yang serius. Tugas terbaik yang dilakukan oleh ormas agama adalah mengembalikan ajaran itu seperti tujuan mulianya: memperbaiki akhlak manusia hingga menciptakan kebaikan seluruh alam semesta. Tentu itu semua tak bisa hanya jadi rumusan isi khutbah saja. Saatnya membuktikan itu dengan program organisasi yang fokus, meyentuh dan memberikan dampak. Satu diantaranya adalah memenuhi harapan atas keadilan. Sumber-sumber material organisasi agama waktunya dipakai untuk mendekatkan pada tujuan agung itu.
Jika punya lembaga pendidikan maka berikan akses untuk mereka yang tak mampu. Materi ajaran tidak hanya diisi dengan dogma tapi kenyataan sosial yang meyentuh dan mengajak mereka untuk mengubah. Kalau punya layanan kesehatan maka luaskan layanan itu hingga ke pelosok sembari mendidik petugas kesehatan kalau mereka adalah pejuang kemanusiaan. Jika punya kader yang duduk dalam jabatan politik yang penting dorong untuk melahirkan kebijakan yang ramah pada si miskin dan tetap memberi proteksi penuh pada mereka. Singkatnya ormas agama ini mampu memerankan tugas negara yang selama ini belum optimal: membela hak orang miskin, mendorong pemahaman agama yang terbuka hingga melakukan kritik atas sistem ekonomi pasar yang beresiko sekarang ini. Tak mungkin organisasi agama ini jadi kaki tangan rezim karena memang ormas berdiri bukan untuk menjadi pembenar kebijakan negara.
Saatnya NU dan Muhammadiyah bersama bukan untuk menyerukan hal yang itu-itu saja. Tapi bersama membela petani yang digusur lahanya, bersama mendorong pendidikan itu dapat diakses oleh mereka yang tak punya, bersama untuk memberikan hukuman atas pelanggaran HAM di masa lalu. Melalui cara itulah NU dan Muhammadiyah bisa berdiri sejajar dengan penguasa: bukan untuk meng-amini keputusan penguasa tapi memberi masukan serta telaah kritis atas kebijakan apa saja yang bisa beresiko di masa depan. Ingat apa yang terjadi hari ini: dimana orang menggunakan agama untuk melakukan kekejian dimana-mana adalah isyarat serta kritik atas peran organisasi NU-Muhammadiyah selama ini. Semoga dimengerti, dipahami dan kita bisa belajar dari apa yang berulang-ulang jadi pelajaran bersama.
Terimakasih.