Oleh: ESA – [Pegiat Social Movement Institute]
“…living is merely the chaos of existence…” Yukio Mishima
***
Tahun 1925 adalah saat kelahiran seorang penulis yang kemudian akan dianggap menjadi salah satu yang paling terkenal di era modern. Yukio Mishima lahir dari keluarga pegawai negeri berkecukupan. Semenjak kecil dia dirawat oleh kakek dan neneknya yang berasal dari keluarga samurai. Neneknya masih keturunan langsung dari Tokugawa Leyasu, seorang jendral terkenal di Jepang. Neneknya memiliki keadaan mental yang kurang baik yang melarang Yukio untuk keluar dari rumah dan berteman dengan teman laki laki sebayanya.
Ketika Perang Dunia II pecah, dia sempat mendaftarkan diri sebagai tentara. Namun ditolak karena fisiknya tidak memadai. Hal ini membuat Yukio merasa sangat malu. Ia percaya bahwa mati muda adalah suatu kehormatan saat itu. Gagal diterima, akhirnya dia memutuskan masuk sekolah hukum di tokyo pada 1944 hingga 1945 lalu bekerja di Kementrian Keuangan Jepang.
Karir kesusastraannya sendiri dimulai pada tahun 1944 ketika Yukio masih remaja bersama karyanya. Ia mulai terkenal di publik jepang pada tahun 1949 dengan karya yang berjudul Kamen no Kokuhaku yang kurang lebih berarti Pengakuan dari Topeng. Karya ini mengisahkan kehidupan seorang homoseksual yang mencoba beradaptasi dengan lingkungannya (Yukio Mishima juga diindikasikan sebagai homoseksual). Mengetahui dapat menghasilkan pundi-pundi uang yang baik dalam bersastra, Yukio memutuskan untuk berhenti bekerja dan mengabdikan pikirannya dalam dunia tulis-menulis.
Di antara banyaknya novel, cerpen dan esai yang dihasilkan, salah satunya adalah Gogo no Eiko yang dalam Bahasa Indonesia berarti Pelaut yang Ternoda. Di dalam tulisan berbentuk esai ini, saya mencoba menganalisis novel di atas untuk memahami dasar konservatisme dalam karakter Yukio Mishima menggunakan metode Psikoanalisis Freudian yaitu sublimasi. Teori ini beranggapan bahwa alam bawah sadar seseorang dapat termanifestasikan dalam karya seni, termasuk novel.
Dalam novel Pelaut yang Ternoda ada 3 karakter utama, yaitu Noboru (anak), Fusako (ibu), dan Ryuji (kekasih Fusako yang kemudian menjadi ayah tiri Noboru). Ketiga karakter ini sebenarnya merupakan alegori dari penulis dan pandangannya terhadap Jepang paska Perang Dunia II. Si Noboru merupakan alegori dari karakter penulis sendiri, si ibu merupakan westernisasi yang dilakukan pihak barat, dan Ryuji merupakan Jepang itu sendiri.
Noboru adalah anak yang baru berumur 13 tahun, merupakan anak dari fusako. Dalam kisah, Noboru merupakan karakter yang sangat mengagungkan harga diri. Hal ini bisa dilihat dari obsesinya pada karakter pelaut yang ada pada diri Ryuji. Ia selalu menyukai kisah-kisah Ryuji seperti ketika sedang berlayar sampai ke luar negeri. Saking kagumnya pada kisah Ryuji, Noboru sampai berusaha keras menjaga ‘kemurnian’ Ryuji. Dia bahkan khawatir ketika ibunya sendiri berhubungan dengan Ryuji. Bukan karena Noboru khawatir dengan ibunya, melainkan karena takut ‘kejantanan’ Ryuji akan hilang.
Karakter yang berada di dalam Noboru bisa dianggap merupakan gambaran dari Id Yukio Mishima sendiri. Dalam kisah hidupnya, Yukio terkenal sebagai penulis yang mencintai akan kejayaan Jepang di masa lampau. Kejayaan Jepang yang dipuja oleh Ryuji adalah jayanya kekaisaran dan kemurnian budaya yang dimiliki Jepang pra Perang Dunia II. Hal ini diekspresikan dalam karakterisasi Noboru yang berupa kecintaannya dalam kejayaan akan Sifat ‘pelaut’ yang dimiliki oleh Ryuji.
Fusako, ibunya Noboru dapat dikatakan alegori westernisasi dari pihak asing terhadap Jepang. Fusako sendiri adalah seorang wanita yang mencintai produk-produk barat, diekspresikan lewat dekorasi rumah dengan gaya kebarat-baratan. Fusako juga merupakan seorang pengusaha impor-ekspor yang sudah mengirimkan barang ke luar negeri. Dia termasuk orang sukses di distriknya. Karakter Fusako dianggap mewakili gambaran westernisasi barat terhadap Jepang dikarenakan beberapa hal. Pertama, pekerjaan dan desain tempat usahanya seperti yang dideskripsikan dalam novel. Kedua adalah fakta bahwa Fusako sendiri seorang wanita dalam novel ini.
Yukio Mishima sendiri adalah konservatif yang menganggap tradisi Jepang dianggap sebagai tradisi maskulin yang sangat kepria-priaan. Ketika Amerika Serikat (AS) masuk dan memengaruhi kebudayaan Jepang, ia menganggap budaya yang ditawarkan asing tampak sangat feminim atau dianggap mirip dengan wanita. Dia membenci hal ini dan menganggap bahwa Jepang telah kehilangan kejayaan masa lalunya. Namun, dia juga paham akan situasi nyata Jepang yang kalah ‘sukses’ daripada AS pada waktu itu. Hal ini mirip dengan karakterisasi Fusako seorang wanita modern yang sukses.
Karakter terakhir adalah seorang pelaut bernama Ryuji. Ryuji bisa dianggap representasi Jepang pada saat Yukio Mishima menulis novelnya. Kegiatan kolonialisasi Jepang pra Perang Dunia II adalah satu cara negara tersebut mencari kejayaan. Hal ini selaras dengan alasan Ryuji menjadi pelaut untuk mencari kejayaan pribadi yang dianggapnya sendiri belum jelas. Dan dalam perjalanannya, Ryuji justru jatuh cinta dan menjadi suami Fusako.
Kalau dilihat secara ‘kasat mata’, maka kisah hidup Ryuji ini merupakan allegori dari kisah negara Jepang yang melakukan kolonialisme ke negara Asia namun akhirnya gagal dan harus membuka diri ke dunia barat. Hal ini dilihat oleh Noboru sebagai sesuatu yang menyedihkan dan membuatnya pantas kehilangan nyawa karena sudah tidak berharga lagi. Dan pada akhirnya, bersama teman-temannya, Noboru membunuh Ryuji dengan memberi minuman beracun.
Dengan analisa jalan cerita dan penokohan dalam novel tersebut, tampak sekali Pelaut yang Ternoda dianggap sebagai represi yang menjadi sublimasi dari alam bawah sadar Yukio mishima sendiri. Yukio menggambarkan bagaimana Id dalam dirinya yang mencoba ‘bertarung’ dengan superego untuk tetap terlihat normal dalam kehidupan sehari-harinya. Dia mencoba menutupi kebencian terhadap negaranya dengan menulis novel ini sebagai sebuah ‘fiksi’ yang multi tafsir. Yukio sendiri bahkan dengan gamblang merepresentasikan tiap tokoh di novelnya sebagai ekspresi akan represi yang dialaminya. Mulai dari Noboru yang sebenarnya dirinya sendiri, lalu si ibu yang westernisasi, serta Ryuji Representasi Jepang.
Dalam novel ini dijelaskan juga hubungan tidak langsung antara Noboru dengan ibunya yang merupakan representasi bagaimana Yukio Mishima hidup melalui pengaruh barat serta dalam caranya bersastra. Sekedar informasi, Yukio Mishima terpengaruh sastrawan asing seperti Oscar Wilde dan Rainer Maria Rilke. Ini membuat Yukio juga sadar betapa pentingnya karya asing kepadanya. Sedangkan hubungan dengan Ryuji lebih seperti bagaimana ia ingin Jepang menjadi negara yang tangguh. Bahkan karakter Ryuji yang hanya dituliskan sebagai seorang ayah tiri menunjukkan bagaimana secara tidak langsung dia tidak begitu berpengaruh.
Plot novel ini juga mirip kisah hidup Yukio Mishima sendiri. Karya-karyanya sangat dipenuhi dengan tema-tema seperti nasionalisme, tradisionalisme, bunuh diri dan perusakan terhadap diri sendiri. Selama hidupnya, Yukio dikenal sebagai sosok yang sangat konservatif yang bercita-cita membela Kekaisaran Jepang. Sampai-sampai didirikannya Tate no kai yang punya tujuan melindungi Kekaisaran Jepang.
Bahkan di akhir hayatnya, Yukio bunuh diri setelah gagal menyabotase sebuah pusat militer pertahanan negara di Tokyo. Dalam kejadian itu, ia sempat berorasi untuk mengembalikan kejayaan Kekaisaran Jepang sebelum Perang Dunia II. Tentu saja orasinya ditertawakan banyak orang yang mendengar. Hal ini mirip dengan yang terjadi di akhir novel ketika Noboru membunuh Ryuji. Di sini sublimasi akan Id yang terpendam dalam dirinya sangat paralel dengan kejadian di masa depan.
Berdasarkan analisa karakter di novel Pelaut yang Ternoda dengan kisah hidup Yukio sendiri, kita dapat melihat karyanya sebagai sublimasi akan pemikiran dan karakter dari Yukio Mishima yang merupakan manifestasi dari Id-nya. Yukio menulis sekaligus secara tidak langsung ‘merancang’ bagaimana cara dirinya mati di masa depan.
Sebagaimana asal-usul bagaimana ia dapat memiliki pemikiran semacam itu, belum dapat dijawab. Kalau dilihat dari masa lalunya, ada kemungkinan berakar pada masa lalu yang buruk ditambah dengan kondisi kultural yang kusut. Namun, apakah hal itu benar-benar menjadi faktor utama masih belum dapat dikonfirmasi.(*)