Nalar Naluri – [Pegiat Social Movement Institute]
“Iman tidak boleh mengalahkan nalar, sebab dengan nalarnya, orang mesti menjustifikasi -atau kalau perlu menolak- iman yang diwarisi” – Akbar, Kaisar India, Sang Mogul Agung
“Nilai kemanusiaan kita ditantang secara kasar manakala keragaman di antara kita dimampetkan ke dalam satu sistem kategorisasi tunggal yang semena-mena” – Amartya Sen dalam Kekerasan dan Identitas
***
Kekerasan dan Identitas saat-saat ini tengah mengguncang kerisauan kita dalam berkehidupan.
Tengok saja rangkaian aksi teror di Riau, Surabaya, ‘pendudukan 40 jam’ di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, hingga aksi massa ‘May Day’ yang merusak pos polisi di Yogyakarta.
Tentu tidak sedikit yang memandang kejadian-kejadian di atas sebagai bentuk kekerasan yang mencoba mengatasnamakan identitas.
Benarkah demikian motif sesungguhnya? Bagaimana cara kita menganalisisnya? Harus dengan sudut pandang macam apa opini di kepala kita patut dimintai pertanggungjawaban?
Menurut Amartya Sen, kita itu malas untuk belajar lebih bijak, mengedepankan nalar, dan membebaskan pilihan dalam pemikiran berbasis identitas.
Sen tidak hanya menampik dengan keras kategorisasi buruk ‘identitas’ ala Samuel Huntington.
Dia tentu akan berkeras dengan pelecehan penilaian yang cenderung membesar-sarkan bahwa setiap tindakan komunitas masyarakat dunia telah terpola dari mereka yang terlahir dari sebuah benturan peradaban.
Terorisme atas dasar fundamentalisme agama barangkali telah jamak mengalir di telinga kita. Namun ia juga bisa berpotensi merembet pada pengategorisasian ke kelompok identitas tunggal lainya yang semu.
Aksi-aksi terorisme sudah pasti jauh dari rasa simpatik kemanusiaan. Tidak ayal lagi, perhatian dan kepedulian publik akan mudah digiring dalam sebuah gerakan melawan tindakan tidak terpuji macam itu.
Kemudian stigma akan mulai bermunculan. Tidak jarang dilemparkan secara serampangan dan tidak berdasar.
Terkadang begitu perih bagi tertuduh. Beberapa wanita yang bercadar misalkan. Dengan situasi teror saat ini, mereka mendapat tekanan yang sangat tidak nyaman.
“Mereka berbahaya, semuanya pantas bagi teroris.” Mungkin pikiran kotor ini pernah hinggap dalam benak pencela, tentu termasuk pada diri kita masing-masing.
Seperti halnya seorang Yahudi yang dipandang orang lain otomatis adalah Israel, atau seorang pengagum ajaran komunis yang dianggap sebagai daki sejarah Indonesia.
Tidak jarang antipati itu berbekas dan juga dibalas tidak kalah manusiawi; ‘hukum mati para pelaku teroris’.
Slogan ‘kemanusian’ kini dicemari bukan hanya oleh pelaku teroris, tapi juga mereka yang mengutuk terorisme.
Bahkan kekuasaan sekalipun, kita bisa lihat bagaimana gelagat negara ketika riuh pengesahan RUU terorisme, kemudian menginstrukksikan agar DPR mengesahkan UU Terorisme sesegara mungkin tanpa peduli mengikutsertakan kajian HAM yang serius.
Seluruh tindakan lanjut dalam penanganan terorisme saat ini berada dalam kantong kepolisian.
Apa pun bentuknya, bahkan bila itu harus mengencingi HAM, tidak sedikit masyarakat yang tentu bakal merestuinya dengan gegap gempita.
Sekarang ini jauh lebih parah. Analisa kian menjadi runyam terhadap kategorisasi teroris. Cap teroris begitu mudah dilemparkan kepada kelompok apa pun.
Aksi massa ‘May Day’ di pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berakhir ricuh karena merusak pos polisi dapat dijadikan contoh.
Dalam aksi tersebut tidak ada perserta aksi yang menyerang atau membunuh polisi. Sekali lagi, mereka hanya merusak fasilitas non-makhluk hidup.
Memang di sana ada frasa ‘Bunuh Sultan’ yang ditulis oleh beberapa individu. Namun sayang sekali, publik hanya menangkapnya secara serampangan tanpa memaknainya lebih jauh ihwal feodalisme.
Konsekuensi dari kesederhanaan berfikir publik, para peserta aksi yang terlibat harus menanggung resikonya.
Ada beberapa yang mendapat kekerasan fisik yang cukup serius. Bahkan, beredar video balok melayang ke muka seorang peserta aksi.
Pengerusakan benda mati harus dibalas dengan pengeroyokan makhluk hidup hingga berujung luka-luka.
Kisah-kisah seperti ini sepi untuk dijadikan pertimbangan di dapur-dapur kantor berita.
Ketidakberimbangan ini tentu akan diamini secara gelap mata oleh publik. Bahkan bila itu dilakukan dengan tindakan represif.
Padahal ada cerita yang belum mereka dengar. Seorang advokat bagian dari LBH Yogyakarta, yang bertindak sebagai penasihat hukum bagi terdakwa dalam aksi massa tersebut pun turut mendapatkan serangan pemukulan yang juga dilakukan oleh aparat kepolisian.
Dan berdasarkan informasi terakhir, masih ada beberapa peserta aksi yang sampai saat ini masih meringkuk di sel tahanan Polres Sleman tanpa diperbolehkan didampingi penasehat hukum.
Ini untuk kawan-kawan gerakan. Bila sedikit mundur, pengerusakan pos polisi melibatkan berbagai elemen yang tergabung dalam aksi.
Namun, tuduhan hanya tertuju ke hidung anak-anak Anarkis. Mereka dianggap biang keladi perusak citra gerakan kiri bahkan serikat.
Padahal di tempat yang enak, para elit serikat terlihat bekerjasama dengan parpol borjuis besar, melakukan kontrak politik bersama Gubernur terpilih. Tentu semua itu tidak sama sekali menguntungkan nasib buruh, petani Kulonprogo, dan rakyat secara umum.
Mereka ini seakan bebas berlenggak-lenggok di panggung politik seakan dirinya adalah ‘pengeran suci yang muntah dari fiksi Marx’.
Saat ini, berbagai ide jalan diplomasi politik dengan kekuasaan seperti terlarung di limbah busuk pabrik kolusi. Para buruh luruh dalam pusaran ketidakpastian nasib.
Begitupun dengan persoalan perampasan lahan. Baik yang dilakukan oleh korporasi maupun negara, seolah meninggalkan jejak bangkai yang melekat tidak hanya ke hidung, tapi menusuk dalam ke ulu hati kemanusiaan kita.
Coba ingat kembali, ada berapa banyak advokasi yang diwakili elit gerakan mampu mengetuk hati penguasa hingga berbelok mendukung rakyat yang tertindas?
Itulah senyata-nyatanya tantangan bagi gerakan kritis.
Meskipun alasan kekerasan sangat sulit untuk kita terima, namun penghancuran pos polisi pada aksi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kiranya tidak sekedar dipandang sempit sebatas berakar dari sebuah kekerasan karena tuntutan ideologi satu identitas.
Sekarang, aksi penyerangan pos polisi dan frasa ‘Bunuh Sultan’ juga dilabeli sebagai sebuah aksi kekerasan. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan disejajarkan dengan aksi terorisme agama.
Pada akhirnya, tidak hanya fundamentalisme agama yang kini diasosiasikan dengan frasa teroris. Gerakan kritis kedepannya bukan tidak mungkin juga akan mengalami hal sama.
Keberagaman tiap subyek dikencingi hingga muncul generalisasi-generalisasi mematikan yang membuat HAM tidak layak masuk dalam permainan.
Sebenarnya ada yang unik dalam serangan baik yang dilakukan atas nama fundamentalisme Islam akhir-akhir ini maupun kejadian di Yogyakarta awal Mei lalu.
Mereka sama-sama menyerang simbol maupun yang berhubungan dengan kepolisian. Yang kemudian seharusnya menjadi tanda tanya besar, ada apa dengan institusi kepolisian? Mengapa dia menjadi target penting kemarahan?
Saya bersama beberapa kolega mempunyai secuil pengalaman ketika berkunjung ke Lapas Nusakambangan.
Sebuah adegan terjadi ketika hendak menjenguk napiter (napi teroris). Saat itu kami akan berangkat dari Dermaga Wijaya Kusuma yang merupakan pos pemeriksaan pertama para pengunjung Lapas Nusakambangan.
Saat itu, kami berpapasan dengan perahu yang rupanya membawa napiter yang berafiliasi dengan ISIS. Ia rencananya akan diadili karena mencoba menusuk petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP) dengan batang sikat gigi yang telah diruncingkan sebelumnya.
Motivasi itu dilakukan bukan tanpa sebab. Dari keterangan orang dekat terdakwa (juga napiter, tapi ditahan di blok sel lain), terungkap bahwa aksi itu ternyata dipicu oleh tindakan tidak manusiawi para petugas penjaga LP karena tidak memberi izin terdakwa untuk memilih rumah sakit. Padahal saat itu ia tengah dalam kondisi sakit.
Belakangan, kami mengetahui dari pengunjung napiter lainya, bahwa banyak dari napiter mengalami depresi akut akibat tindakan penjaga LP yang memberlakukan ‘sel ekstra ketat’.
Selain tidak bisa dijenguk orang lain, ukuran dan model sel tahanan yang minim sinar matahari membuat lebih rentan timbulnya sejumlah penyakit.
Itu belum termasuk makanan yang kehigenisannya masih perlu dipertanyakan.
Melompat ke peristiwa di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, kami juga mendapatkan informasi yang tidak terpublikasi dengan tuntas di jagat media.
Alasan ‘pendudukan’ yang dilakukan para napiter salah satunya dipicu tindakan aparat polisi terhadap istri tahanan.
Coba bayangkan, dengan alasan standar pemeriksaan, pengunjung harus ditelanjangi dan disuruh melompat-lompat.
Dengan rentetan kejadian di Nusakambangan dan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, sepertinya ketidakmampuan untuk menghargai sebuah kepercayaan, boleh jadi bakal memantik kobaran api yang lebih dahsyat.
Kurang lebih itulah letupan-letupan kecil yang akhirnya muntah ke permukaan seperti kejadian di Mako Brimob Kelapa Dua Depok.
Kita harus jeli membedah kemarahan aksi napiter dan serangkaian tindakan terorisme dengan aksi melempar molotov di Yogyakarta.
Pengerusakan benda mati, yakni pos polisi di Yogyakarta, lebih dilatarbelakangi kejenuhan atas perilaku institusi kepolisian yang bersikap represif terhadap aktivis dalam mengawal kasus perampasan lahan yang cenderung lebih membela korporasi ketimbang rakyat tertindas, serta deretan panjang kesewenangan kekuasaan.
Kini peluang untuk menggali sebuah alasan dan motivasi, pintu itu kian tertutup rapat.
Apalagi jika sebuah diskusi terbuka?
Berhala itu bernama opini yang serba terburu-buru dan terkadang analisis yang dangkal.
Hingga, kecurigaan yang kini menjalar bak kecambah yang mencekik nalar kritis manusia yang konon disebut memiliki akal.
Saat ini, hal lain yang juga menjadi penting bagi kita ialah, menyelidiki motivasi, validatas informasi, yang itu semua menjadi barang mahal bagi publik.
Memangnya manusia adalah makhluk sederhana yang tidak memiliki segudang pengalaman kompleks jauh sebelum akan melakukan suatu hal?
Ada banyak pertanyaan yang harus dicari jawabannya mengapa mereka sampai begitu tega melakukan tindakan kekerasan.
Itulah pentingnya mencari jawaban, bukan asal melempar hipotesa-hipotesa tidak berdasar yang juntrungnya, “Apa pun alasannya, mereka semua patut dihukum mati.”
Jangan sampai kita harus terjerumus dalam serangan ‘rudal-rudal intelektual yang terarah’.
Sen menegaskan, “Persoalan yang jauh lebih serius terdapat dalam kebijakan publik negara-negara Barat yang serupa ‘rudal-rudal intelektual yang terarah’.”
Kebijakan yang dimaksud menyajikan pandangan yang nampak lebih mulia dengan berupaya merayu para pentolan Muslim melalui strategi yang seolah-olah bersahabat dengan berusaha merumuskan makna Islam yang benar.
Mereka berupaya mencabut para teroris dari tindak kekerasan dengan bersikeras menyatakan bahwa Islam adalah agama damai, dan bahwa seorang ‘Muslim Sejati’ pastilah pribadi yang toleran. Jadi sederhananya, ‘sudahilah semua ini dan hiduplah dengan damai’.
Penolakan terhadap pandangan konfrontasional tentang Islam tentu saja tepat dan sangat penting pada masa sekarang ini.
Tetapi, kita juga mesti mempertanyakan apakah penting atau bermanfaat, atau bahkan mungkin, upaya untuk merumuskan dalam kaidah-kaidah politik seperti apa seharusnya seorang ‘Muslim Sejati’ itu?
Dan, jangan sampai hati kemanusiaan kita yang semula tergerak karena melihat aksi terorisme agama yang brutal kemudian berbalik menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Menghukum para pelaku terorisme dengan tindakan yang justru juga tidak manusiawi.
Hal ini akan terus berulang jika kecerobohan berpikir dibiarkan, tidak mengedepankan nalar, dan mencegah menyediakan kebebasan pilihan identitas.
Memandang ‘Kekerasan Identitas’ tergerak dari satu sudut pandang yang sempit, menuduhnya lahir dari satu identitas tunggal, adalah kegagalan kita menggunakan rasionalitas atas kemanusiaan yang sejatinya beragam.
Pada akhirnya, jika sudah begitu, kekhawatiran lain yang kemudian menyeruak adalah hadirnya ‘terorisme intelektual’ yang menyerang nalar kritis masyarakat.
Akhir kata, seperti frasa yang dibisikkan Haruki Murakami dalam IQ84, “Kekerasan tidak selalu bersifat fisik, luka tidak selalu mengeluarkan darah.”(*)