Oleh ; Qomar Grobbelaar
***
Selang 48 jam selepas kabar kematiannya beredar, Majalah TIME dengan semangat menggebu-gebu dan tak menyisakan malu, menulis selembar obituari jahat. Judul obituari itu sangat sarkastik, “Godfather-nya Terorisme Kristen’.
Demi menyakinkan pembaca, disusunlah kalimat-kalimat pembuka dengan bobot kebencian yang tak hendak disembunyikan. Diantaranya berbunyi semacam ini.
‘Jika Anda menduga bahwa ekstremisme Palestina atau Arab bermunculan sepenuhnya dari Islam – dari intoleransi Wahabi puritan dan sebagainya – lihatlah lebih dekat nama depan Habash ini. Dia adalah seorang Kristen Ortodoks Yunani, yang bernyanyi dalam paduan suara gereja sebagai bocah altar di kota Lidda Palestina’
Tak hanya Time yang bertindak-tanduk demikian, The New York Times turut serta dalam histeria yang serupa. Menyambut kematian Habash, dipungutlah judul tendensius, ‘George Habash, Ahli Siasat Terorisme Palestina, Mati di Usia 82’. The Independent mengambil sikap kembar, judul yang diampungkan setara vonis saja, ‘George Habash: Pemimpin Teroris Palestina.’
Mungkin hanya The Guardian yang menulisnya dengan alur yang lebih ramah. Mereka menyebut Habash sebagai ‘hati nurani revolusi Palestina’. Dia dikenang sebagai salah satu pendiri paling awal dari gerakan pembebasan Palestina. Pria yang hidup dalam keyakinan bahwa perjuangan bersenjata merupakan satu-satunya cara membebaskan Palestina.
Dikisahkan, Habash lahir di Lidda dari keluarga Kristen Ortodok Yunani. Ayahnya pedagang gandum. Peristiwa pengusiran bangsa Palestina pada tahun 1948, biasa dikenal sebagai ‘Hari Nakbah’, seketika mengubah cepat haluan hidupnya. Tahun itu ia masih kuliah di American University of Beirut [AUB]. Segeralah dia balik ke kampung halamannya. Memberikan pelayanan medis kepada penduduk yang terusir dan teraniaya.
Tak lama berselang, bersama rekan-rekan mahasiwanya dari berbagai belahan dunia Arab, dia mendirikan Harakat al-Qawmiyyin al-Arab alias Gerakan Nasionalis Arab. Dalam pendirian itu Habash menyakini, rakyat Arab harus menemukan kekuatan melalui persatuan demi menendang dominasi Barat. Hal yang dipercaya akan menjadi kunci bagi pembebasan Palestina.
Tahun 1951, dia mendapatkan gelar sarjana kedokterannya, rangking pertama di kelas. Ia lalu pergi ke Amman, Yordania. Membangun klinik rakyat dan sekolah untuk para pengungsi. Ketika Mesir menginisiasi usaha menggempur Israel, dalam apa yang kemudian dikenal sebagai ‘Perang Enam Hari’ tahun 1967, Habash menunjukkan posisi dukungannya.
Negara-negara Arab akhirnya kalah. Di tahun yang sama, Habash membentuk Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina [PFLP]. Organisasi ini bertendensi Kiri. PFLP berpendapat pembebasan Palestina tidak mungkin diwujudkan tanpa pembebasan negeri-negeri Arab dari rezim yang dikendalikan Barat dan Israel.
Dunia kemudian mengenal PFLP melalui aksi-aksi pembajakan pesawat. Taktik yang awalnya diyakini dan ditujukan sebagai cara memaksa dunia melihat Palestina. Masalahnya pada waktu itu PM Israel, Golda Meir, memang kencang mengkampanyekan: keberadaan bangsa Palestina tidak pernah ada.
Kelak, Habash menegaskan ‘aksi internasional’ tersebut semata-mata sebagai tindakan terbatas. Sesuatu yang tak bisa terus-menerus dilaksanakan. Sikap ini jugalah yang membuatnya bertikai dan kemudian berpisah dengan sahabat lamanya, Wadi Haadad.
Habash percaya bahwa standar moral dan politik yang tinggi harus menginspirasi tindakan politik dan militer. Ini bukan berarti PFLP sepernuhnya suci, tidak melakukan tindakan yang melanggar standar tersebut. Sebagai pemimpin, Habash hanya mencoba menegakkannya, walau tidak selalu berhasil mengelimir kecenderungan advonturis kawan-kawannya.
Mengenai aksi pembajakan tersebut, mengutip Profesor As’ad Abu Khalil dalam salah satu artikelnya, dijelaskan demikian,
‘Saya pernah bertemu dengan seorang pramugari Jerman yang mengatakan kepada saya bahwa ia menjadi pendukung Palestina usai mendengar Habash berbicara dalam bahasa Inggris kepada sekelompok sandera di Intercontinental Hotel di Amman – dan dia adalah salah satu sandera.’
Sepanjang hidupnya, Habash juga dikenal rajin berselisih dengan Yasser Arafat. Tahun 1974, mengetahui Arafat mengajukan proposal ‘solusi dua negara’, Habash membentuk ‘Rejectionist Front’. Menolaknya mentah-mentah. Hal yang setara ditunjukkannya saat penandatanganan Perjanjian Oslo tahun 1993. Bersama Hamas dan faksi-faksi lain berdirilah ‘Blok 10’, mengecam tindakan kapitulatif Al Fatah. Pendeknya, tujuan kemerdekaan penuh tak akan sama dengan solusi pembagian wilayah.
Masih menurut Profesor As’ad Abu Khalil, digambarkan perbedaan diantara Habash dan Arafat.
‘George Habash adalah antitesis dari Yasser Arafat: ia jujur, sementara Arafat tidak jujur; konsisten ketika Arafat tidak konsisten; berprinsip, sementara Arafat licik; transparan, sementara Arafat menipu; tulus, sementara Arafat palsu; bermartabat sementara Arafat kasar; sederhana, sementara Arafat arogan; toleran terhadap perbedaan pendapat, sementara Arafat adalah otokratis, dan seterusnya.’
Bisa saja orang berbeda penilaian dengan Profesor berjuluk ‘Arab Pemarah’ ini.
Lantas, mendapati pengaruh Hamas yang semakin meluas, sementara PFLP bukan lagi faksi utama diluar Al Fatah, Habash bicara singkat saja, tanpa nada kenyinyiran.
‘Kami telah mencoba, jadi biarkan mereka sekarang yang mencoba. Ini giliran mereka.’
Semua yang paham sejarah perjuangan Palestina pasti mengerti, PFLP 20 tahun lebih tua dari Hamas. Lebih dahulu sepak terjangnya. Habash pun berkali-kali menjadi sasaran pembunuhan Israel, namun beruntung, tidak pernah senasib kolega-koleganya. Ghassan Kanafani, satu lagi sahabatnya itu, tewas oleh bom yang ditanam di mobilnya atau Abu Ali Mustafa dibunuh dua roket yang ditembakan helikopter Israel kepadanya.
Dan hari-hari terakhir kehidupan Habash, selepas pensiun akibat masalah kesehatan yang memburuk, dilaluinya dalam kesederhanaan. Habash menolak dana pensiun bulanan lebih 300 USD dari sumbangan sekumpulan orang kaya Palestina. Orang-orang ini tak tega menyaksikan salah satu lambang revolusi mati dalam kemiskinan. Kesederhanaan, demikianlah, biasanya lahir dari pribadi-pribadi yang lembut, betapapun Barat melabelinya teroris.
Walau begitu, manusia tak ada yang sempurna, siapa pun mereka. Dan tentu saja Habash bukan serupa malaikat pula. Bila hendak dicari kesalahannya, pasti ada. Apalagi dalam perang, tiada manusia yang bersih dari perbuatan alpa. Namun, ketika Habash wafat hampir delapan tahun silam, Mahmud Abbas dari Al Fatah, selaku Presiden otoritas Palestina tak ragu mengumumkan hari berduka nasional. Tiga hari penuh. Abbas menyebut Habash sebagai ‘Pemimpin historis’.
Di lain tempat, petinggi Hamas, Muhammad Nazzal, mengatakan kematian Habash merupakan ‘kerugian sangat besar’ dalam perjuangan rakyat Palestina.
‘Kami memiliki perbedaan ideologis, tetapi Dr. Habash punya kesamaan dengan Hamas dalam menentang kesepakatan perdamaian PLO dengan Israel.’
Ismail Haniyeh juga menambahkan, Habash telah menyerahkan hidupnya untuk rakyat Palestina. Berikutnya, Jihad Islam mengekspresikan kesedihan mereka dalam frasa-frasa: ‘kehilangan simbol besar rakyat Palestina dan Arab’.
Demikianlah, kisah singkat ‘Gembong Terorisme Kristen’, sebagaimana julukan buruk yang disematkan media Amerika. Sebaliknya, rakyat Palestina menyebutnya dengan nama yang indah: ‘Al Hakim’, Si Bijaksana.