Dua hari paling penting dalam hidup anda adalah hari Anda lahir dan hari saat anda temukan alasanya (Mark Twain)
***
Kompas, 20 April 2018, merilis hasil survai generasi millennial. Lapisan yang usianya di bawah 35 tahun. Muda, aktif dan terdidik. Seperti ditebak hasilnya tak beda dengan pilihan orang tua: puas dengan kinerja pemerintah, percaya penuh dengan kepemimpinan Jakowi dan akan memilih Jakowi sebagai Presiden berikutnya.
Tak soal jika mereka masih percaya dengan Jakowi. Bahkan tak masalah jika ingin memilihnya lagi. Tapi pandanganya yang serupa dengan orang tua itu yang unik. Bahkan sedikit ironis: orang tua yang hidup pada alam yang berbeda, suasana politik yang tak sama dan pandangan hidup yang kadang bertolak belakang. Semua itu tak membuat kedua lapisan ini punya keyakinan politik yang berlawanan.
Hasil survei Kompas menunjukkan sebagian besar (72,4%) generasi millenial dan pasca millenial puas dengan kinerja Jakowi. Jika dibandingkan dengan tingkat kepuasan responden yang bukan generasi millenial, hasilnya tak jauh berbeda. Tingkat kepuasan di luar generasi millenial 72,1%. Kompas mendefinisikan generasi millenial yang lahir rentang waktu tahun 1982 hingga tahun 2000. Usia generasi millenial antara (22-37 tahun) dan generasi pasca millenial (<22 tahun)
Kompas dengan tegas menulis: ‘bahwa generasi millenial yang selama ini dipandang sebagai generasi yang tak mudah dipahami, berkarakter tersendiri, ternyata dalam hal opini dan sikap politik mereka tidak berbeda dengan mayoritas publik’ Teks ini menyiratkan tak ada yang istimewa dalam pandangan politik anak muda. Mereka seperti mayoritas lainya: nyaman dengan situasi, memilih status quo dan bersikap seperti mayoritas lainnya. Apa yang terjadi pada mereka?
Memang mereka anak muda yang tak dibesarkan dalam lingkungan politik yang represif. Pada masanya demokrasi liberal ditanamkan: kebebasan politik dijamin, pemilu diselenggarakan dengan bebas dan media apa saja diberi kebebasan bersuara. Paling tidak anak muda hidup tidak berada di bawah intimidasi.
Berkah kebebasan itu punya resiko yang rumit: anak-anak muda itu kehilangan jejak perlawanan seperti masa lalu dan hidup dengan keyakinan politik mapan yang dicangkokkan oleh rezim yang ada. Tumbuh di alam keyakinan seperti itu membuat sikap politik mereka mendua; pada satu sisi ingin kritis pada penguasa tapi di sisi lain merasa puas dengan iklim kebebasan yang ada.
Semangat politik yang tumbuh bukan dari ideologi yang diyakini tapi dari informasi yang diterima. Informasi yang meluap melalui berbagai jalur yang kadangkala menimbulkan berbagai emosi. Sandaranya bukan pada akurasi tapi seberapa banyak yang percaya. Kian tinggi kepercayaan atas berita itu maka informasi itu dianggap benar adanya.
Suasana macam ini dimekarkan oleh praktek pembelajaran yang propagandis. Masih banyak pengetahuan yang memuat kisah sejarah palsu: soal pemberontakan 65, kisah mengenai PRRI Permesta hingga Perang Diponegoro. Sebutan pemberontakan mendangkalkan heroisme pelakunya dalam menentang kesewenang-wenangan penguasa.
Sungguh wajar jika kemudian Soekarno, Hatta maupun Tan Malaka tak dikenal gagasanya. Tiap pelaku sejarah hanya diulang adegan pendeknya: Soekarno baca proklamasi, Hatta berdiri di sebelahnya dan Tan Malaka dianggap tokoh kiri. Bahkan ada seorang novelis muda yang konyol yang sangsi dengan peran Tan Malaka.
Hilangnya ide-ide politik radikal itu yang membuat gagasan perubahan jadi buntu. Tak ada jejak untuk melacak ide perubahan sosial yang dulu digulirkan.
Maka anak-anak muda ini dipadati hidupnya oleh politisi yang tak punya jejak pikiran raksasa. Mereka mirip petinju yang siap bertarung untuk keperluan apa saja. Jejak rekam politisi itu juga sunyi dari pengalaman memberontak apalagi ide politik yang radikal. Kemunculan mereka lebih karena situasi mujur ketika Soeharto dipaksa undur diri dari tahta.
Politik dipahami bukan dari pertarungan ide tapi popularitas. Suara rakyat berlabuh tidak pada kekuatan politik tapi tokohnya yang dikenal dimana-mana. Di sisi ini maka mudah dipahami kalau mereka menyukai Jakowi, kemudian Prabowo disusul oleh Anis Baswedan serta Gatot Nurmantyo. Tokoh-tokoh politik ini yang melintasi ingatan, hidup keseharian dan digemakan komentarnya oleh media mana saja.
Kita mendapati anak muda yang kehilangan percaya diri. Pada kekuatan politiknya sendiri dan pada mimpinya. Mereka menyaksikan bagaimana kreativitas, imaginasi bahkan karya itu terwujud tak melalui jalan politik. Politik berlangsung dalam pasungan orang tua atau jika ada anak muda pandanganya sama dengan mereka yang tua.
Benar ada partai politik baru yang isinya anak muda. Tapi terang-terangan mendukung penguasa yang ada. Inisiatif politiknya berjalan tanpa upaya pengorganisasian basis secara militan. Tak ada program politiknya yang mengejutkan bahkan para petingginya ada yang pernah terjebak perkara. Jalan radikal politik anak muda tiba di jalan buntu. Mereka tak mampu menerobos lalu memilih mendayung bersama orang tua.
Survai itu tak mengejutkan tapi pantas disesalkan. Yang muda terkunci dalam bilik kesadaran politik semu sehingga percaya kalau penjara kesadaran itu seperti kemapanan yang dicari. Kalau politik berlangsung tanpa perbedaan gagasan, tanpa pertarungan ide militan dan kurang mampu menampikan kekuatan penuh anak muda: maka politik hanya menjadi arena pergeseran kekuasaan semu yang tidak merotasi apapun. Rotasi kedudukan apalagi keyakinan politik alternatif.
Yang muda telah memakamkan dirinya dalam kuburan masa depan. Sungguh ironis!