ANDAI AKU JADI MENTERI PENDIDIKAN

 

Optimisme adalah kegilaan untuk mempertahankan pendapat bahwa segalanya berjalan baik, padahal kenyataan adalah kebalikanya (Candide, Voltaire)

Sudah tiba masanya manusia memiliki tujuanya. Sudah tiba masanya manusia menanam benih harapanya yang paling tinggi (Zarathustra, Nietzche)

***

Yang kulakukan pertama kali adalah mengubah para guru. Kuingin mereka mulai menghargai, menghormati dan mendengarkan siswa. Tak lagi guru itu tahu segalanya dan bisa semuanya. Guru tak boleh menghakimi, mengadili apalagi mengajak siswa berkompetisi. Tiap guru musti meyakini kalau siswa tak bisa diperlakukan sama dan mulai percaya tiap siswa itu punya potensi dan keunikanya sendiri.

Yang kutanamkan pada guru bukan janji peningkatan gaji tapi ajakan pada mereka untuk berani berfikir beda. Berbeda itu wajar dan bahkan beda itu penting. Sehingga murid punya keberanian untuk menyatakan pandangan meski itu pandangan yang berbeda dengan sekitarnya. Kukatakan pada guru kalau murid itu bukan barisan serdadu tapi himpunan seniman yang unik dan istimewa. Bebaskan murid untuk berimaginasi sehingga sekolah itu bukan lahan untuk menanam kepatuhan melainkan ruang dimana kebebasan dirayakan.

Kubayangkan sekolah bukan tempat berkumpul anak yang punya pandangan, pikiran dan busana yang seragam. Sekolah adalah taman ekspresi dimana tiap anak memperagakan keunikanya. Kusederhanakan pelajaran itu hanya tiga saja: etika, estetika dan logika. Pada bidang etika anak mengembangkan konsep kebaikan dan lebih baik lagi. Sedangkan di estetika anak bergaul dengan keindahan dan imaginasi. Disusul dengan logika dimana anak dibiasakan menggunakan akal sehatnya.

Tak perlu kita takuti anak dengan hukuman hari akhir kalau dirinya sudah tahu pantasnya berbuat baik. Tak usah kita dorong anak menghapal lahirnya hari pahlawan jika mereka mengerti makna kepahlawanan. Tak penting anak menghapal ilmu berhitung karena yang utama belajar apa yang penting diperhitungkan dalam hidup ini. Semboyan sekolah itu bukan kepatuhan buta tapi keberanian untuk hidup dengan keyakinan yang berbeda.

Sebagai konsekuensinya kuubah semua buku pelajaran yang ada. Tak ada buku yang namanya lembar kerja. Kuhapus semua buku yang isinya soal melulu. Kuminta agar guru memenuhi anak dengan bacaan bermutu: Pramoedya Ananta Toer jadi bacaan wajib, disusul karya Victor Hugo, puisi Wiji Thukul, novel Ivan Dostovesky, sajak Pablo Neruda hingga karya Charles Darwin. Sastra dan buku ilmiah akan jadi latar yang membimbing anak mengenal diri dan lingkunganya. Sastra akan memahat anak untuk memahami nilai-nilai kehidupan yang dasar. Sedangkan buku ilmiah akan mendorong anak menggunakan nalar sainsnya.

Maka sekolah tak perlu repot dengan upacara apalagi kewajiban menonton film tentang Pengkhianatan 65. Karena sekolah tidak melatih siswa jadi tentara tapi anak muda yang mampu hasilkan karya. Jadilah sekolah itu tempat dimana debat, argumentasi dan budaya baca dirayakan dimana saja. Rujukan sekolah bukan kurikulum tapi pengalaman yang didapat oleh guru dan siswa. Itu sebabnya yang terjadi bukan kegiatan menghapal, ulangan dan berdoa: tapi berkarya, berdebat dan berefleksi bersama. Sehingga anak akan jadi orang terpelajar dalam makna sebenarnya.

Orang terpelajar itu mampu bersikap dewasa. Tak semua pendapat dibenarkan dan tak semua pandangan konyol dienyahkan. Tiap menyatakan pandangan didasarkan atas argumentasi dan bukti. Tak jarang dirinya ragu, sangsi dan suka bertanya. Sehingga bagi orang terpelajar: kesangsian, debat dan temuan itu jadi normal. Bagi pelajar pengetahuan itu bukan apa yang diyakini tapi apa yang bisa dibuktikan dengan dasar akal. Itu sebabnya sekolah tak lagi bisa seperti ini.

Sekolah yang tidak meletakkan siswa sebagai uji coba. Uji coba kurikulum, uji coba jam masuk hingga uji coba soal. Sekolah baiknya jadi pengalaman hidup yang istimewa. Disana tidak ada kompetisi apalagi hukuman, tapi kecintaan untuk belajar dan berbagi pengetahuan. Tak lagi ada anak bodoh, pintar dan konyol: tapi anak yang menyukai tantangan, optimis dalam melihat kesulitan serta berani dalam mengekspresikan pengetahuan.

Itu artinya sekolah bukan mengabdi pada putusan menteri tapi pengetahuan yang membebaskan. Ingatlah semua itu hanya SEANDAINYA…….

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0