Nalar Naluri – [Pegiat Social Movement Institute]
“Rasa ingin tahu adalah kerakusan paling universal!” – Celoteh Rolando Garro dalam Lima Sudut halaman 92
***
Tak ada kesempatan lagi bagi Alberto Fujimori. Rezimnya tumbang juga setelah pernah berkibar di tampuk kekuasaan sebagai penguasa Peru.
Biang keladinya tak lain dan tak bukan karena jurnalisme brengsek.
Otoritas Fujimori yang begitu kuat bukan tanpa dukungan. Siapa saja yang berani mengkritik pemerintahanya akan berujung dengan kemalangan.
Pada kondisi inilah peran kepala intelejen negara, yang kemudian terkenal dengan nama julukannya El Doktor, berfungsi bahkan lebih dari melangkahi kewenangan kepala negara.
Salah satu musuh rezim ini adalah gerakan kiri; Sandero Luminoso (populisme kiri, yang agak Maois, yang kerap disebut teroris bagi Peru di zaman Fujimori).
Hanya El Doktor yang sanggup menentukan siapa saja yang masuk daftar orang atau golongan subversif, yang dianggap membahayakan rezim, yang kemudian akan dimusnahkan.
Bukan revolusi senjata penyebab lengsernya tirani itu. Bukan pula aksi nomor cantik. Tapi, semua bermula dari sebuah berita gosip.
Kata kawan sebelah, konon berita gosip itu bila terus digesek makin sip. Makin rutin disajikan, makin tajam liputan, makin berani membuktikannya, maka makin yakin kita padanya.
Niscaya, lambat laun makin berani ia menyamakan kedudukannya dengan ibadah lima waktu, ‘kita akan percaya datangnya kebaikan dan semakin cinta kita padanya.’
Inilah kontradiktif dari jurnalisme gosip. Yang sayang, sangat sedikit minat kita untuk menggalinya lebih dalam: menyajikan desas-desus yang bisa membentur fakta berbisa.
Di negeri ini, jurnalisme gosip yang memojokkan atau sejenisnya berhamparan bagai kuaci yang begitu renyah. Tak hanya itu, sajian dan sudut pengambilan ceritanya pun cenderung sama.
Itulah mengapa rating untuk berita gosip masih menduduki peringkat teratas. Tak hanya orang tua dan anak muda, bahkan anak-anak kecil sekali pun menempatkan tontonan gosip pada acara favorit.
Jangan heran kemudian revolusi di negeri ini mandek gara-gara hegemoni sampah.
Seperti sulit mempercayai, bagaimana mungkin jurnalisme gosip, yang reputasinya tak jauh beda dengan tempat pembuangan akhir itu dapat mengguncang kekuasaan akibat keberaniannya membongkar sebuah skandal seks?
Meskipun seks adalah hak bagi setiap individu, urusan pribadi dan rahasia, tapi juga bisa jadi racun mematikan. Yang oleh penganut agama percaya, neraka adalah tempat setimpal untuk mereka.
Oleh sebab itu, foto-foto skandal seks yang diumbar oleh Rolando Garro (editor tabloid) di tabloid Destapes adalah sangat mencoreng martabat pekerjaan dan keluarga insinyur Enrique Cardenas. Karena, bukan hanya mengancam karirnya sebagai seorang pengusaha tambang yang berpengaruh dan disegani oleh El Doktor. Melainkan, inilah kegetiran kenyataan salah satu penyebab kematian ibundanya tercinta.
Meskipun Garro juga kelak menjadi martir yang unik atas upaya pemerasannya yang gagal kepada Enrique, tapi kemudian teka-teki misteri atas kematiannya dibongkar secara patriotik oleh rekan jurnalisnya Julieta Leguizamon (direktur Destapes baru yang sebelumnya dijabat Garro).
Maksud Garro halus sebenarnya. Tak sekeji terorisme. Ia hanya mengharapkan Enrique si orang kaya cabul itu sekiranya mau berinvestasi untuk tabloid Destapes yang berjalan tertatih-tatih.
Skandal ini rumit. Lebih rumit lagi andai saja La Retaquita, sahabat kepercayaan Garro, gadis berperawakan tajam dan berani, tidak memiliki keyakinan atas dogma tentang harga diri sebagai seorang jurnalis: “Memberitakan yang terang benderang.”
Berbagai upaya pengkambinghitaman El Doktor kepada Juan Peineta (sang seniman deklamator pusi) atas kematian Garro tidak bertahan lama. Meskipun Juan membenci Garro dengan piranti berita gosipnya yang juga membuat hancur hidupnya, tapi Juan tetap lah Juan. Seorang seniman yang polos berhati melo, tak sepercik pun hadir di bayanganya ingin membunuh Garro.
Beruntung La Retaquita mengurai kasus ini dengan penuh nyali dan akhirnya membeberkan fakta pahit bagi El Doktor.
Tapi pada akhirnya, Enrique adalah seorang kaya raya yang seperti gampang menebus kerumitan masalah. Sekalipun sempat frustasi akibat berita menjijikkan itu, fantasi seks threesome dengan Chabela istri sahabatnya yang juga penasihat hukumnya (Luciano), akhirnya menjadi kenyataan juga.
Semuanya berkat persetujuan istrinya Marisa, yang kemudian seakan menjadi hiburan karena mampu mengatasi problematika skandalnya yang pelik itu.
Di akhir cerita, seperti karakter asli Luciano yang selalu memberi informasi mengejutkan, sungguh kah sebenarnya Luciano paham apa yang terjadi pada perbuatan threesome mereka?
Sekali lagi Luciano akan mengejutkan, Luciano yang bertampang alim itu dengan dingin mengusulkan, “Ingin bergabung bersama pesta cabul mereka.”
Plot cerita yang mungkin mesum ini membuat aliran darah sedikit resah. Tapi itu hanya kulitnya saja. Poinnya malah jauh dari stereotip itu. Sebenarnya bahkan lebih menjijikkan.
Llosa membeberkan peristiwa di era 90-an pada rezim Fujimori yang korup, otoriter, dan biadap.
Kisah kotor dan porno ini, mungkin menjadi penerang gerakan Lava La Bandera (mencuci bendera Peru) untuk membersihkan noda negara, melengserkan kekuasaan Fujimori dan motor penjaga kedaulatan tiraninya, El Doktor.
Sungguh aksi kreatif, gagasan nan imajinatif, artistik radikal, yang memperoleh dukungan banyak dari masyarakat awam yang masih percaya nilai-nilai progresif kesenian.
Jurnalisme gosip, serangan oposisi, skandal seks orang penting, hingga berujung pada aksi lava la bandera (mencuci bendera Peru) adalah kelindan mematikan untuk menjungkalkan tirani Fujimori yang korup dan penuh gejolak.
Llosa kembali hadir di tengah kita, pada novel Lima Sudut yang tak begitu berkelakar dalam seperti karya Sang Pengoceh (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dan diterbitkan oleh OAK) yang berbicara banyak tentang masyarakat adat dan eksploitasi para etnolog atas nama modernisme.
Lima Sudut memang tidak dianjurkan bagi anak-anak dibawah umur. Hanya untuk dewasa 21+ yang sudah paham makna bahaya mesum dan aksi pornografi brutal.
Untuk kali ini, Mario Vargas Llosa membawa kita pada perhatian yang sungguh jenaka: “Memercayai jurnalisme gosip sebagai senjata, sekaligus mengajak sedikit yakin kemungkinan jurnalisme gosip tak selalu berparas sampah.”
Saya membayangkan, andaikan jurnalisme gosip Indonesia tak melulu menjadi sampah, mungkin kah bisa menjadi senjata?
***
Penulis : Mario Vargas Llosa
Judul : Cinco Esquinas (Lima Sudut)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2018
Kategori : Novel Dewasa 21+
Alih Bahasa: Aloysius Joko Purwanto