Syaifuddin Gani – [Pustaka Kabanti Kendari]
#SelamatkanTamanBudayadanMuseumSultra
***
Jika negara terlalu kuat, sentralisme kekuasaan akan menjadi momok yang nyata. Ruang publik dipenuhi slogan dan kampanye yang diproduksi dari suara tunggal. Masyarakat menjadi sekumpulan makhluk yang hanya menerima dan tidak memberi. Sekadar menerima ideologi dan tidak memberi gagasan.
Sebaliknya, jika partisipasi masyarakat begitu aktif, sirkulasi ide dan kritik akan berlangsung wajar. Diskursus pengetahuan akan hidup. Suara-suara dari keanekaan pandangan mendapatkan media penyalurannya. Demokrasi tumbuh dan berkembang.
Komunitas adalah representasi masyarakat yang aktif. Bagai tubuh, kaum muda adalah tulang punggungnya. Pemuda yang terlibat dalam dialektika gagasan menjadi pilar masyarakat yang paling tegak berdiri. Itulah sebabnya, jika sebuah kota terlihat partisipasi aktif masyarakatnya, dapat dipastikan ada sekelompok pemuda yang bergerak di sana.
Meminjam sudut pandang kebudayaan Rendra, masyarakat yang lembaganya bersandar pada kerja yang memberi dan menerima, melahirkan kebudayaan yang sirkulatif. Sebuah sistem yang sirkulatif memberi ruang bagi dinamika berkebudayaan yang sehat dan wajar. Pencapaian karya cipta yang agung dan luhur dapat diraih di sana.
Kota yang maju dan berperadaban adalah sebuah situasi yang tercipta ketika sirkulasi hubungan terjalin ideal antara birokrasi/pemerintah, masyarakat/rakyat/komunitas/, dan swasta. Tidak boleh ada yang dominan yang berujung pada tirani atau kediktatoran. Tirani mayoritas dan diktator minoritas adalah gulma peradaban. Keanekaragaman dalam berkebudayaan menjadi suatu keniscayaan.
Pemerintah memberi ruang gerak yang adil dan manusiawi bagi komunitas sebagai representasi masyarakat. Sebaliknya, komunitas bekerja dan berkarya untuk membangun peradaban dan memberi tempat tertinggi bagi kemanusiaan. Swasta menjadi jembatan kreatif dan apresiatif yang dapat menjadi titian pemerintah dan komunitas.
Tidak ada kota yang menyejarah yang dipimpin penguasa yang tidak arif, tidak visioner, tetapi tidak menerima masukan dari kaum cerdik pandai atau cendekiawan. Komunitas di dalam masyarakat menjadi lembaga penting dalam menyokong lahirnya kota yang diidamkan manusia untuk bermukim dan berdiam di dalamnya.
Kota, pada akhirnya tidak hanya dibangun di atas pondasi fisik yang rapuh, tetapi juga ditopang oleh tata kota, tata nilai, tata suara, tata cahaya, dan tata budaya yang sinergis. Pada titik ini, untuk konteks Kendari, kita merindukan kota yang melibatkan penuh warganya untuk ikut serta dalam gerakan perubahan.
Kota idaman, kota yang di setiap sudutnya ada kegelisahan dan gerak kreatif yang membuatnya tumbuh dan bergeliat. Kota yang hidup.
Siang tadi, Rabu, 25 April 2018, saat saya mengendarai motor ke arah Anduonohu Kendari. Saya mendahului seorang pengendara yang di bajunya terdapat sederet tulisan yang begitu berkesan: “Manusia tidak hanya wajib berbeda, tetapi juga wajib berdebat”. Wow… Manusia ditakdirkan berbeda. Perbedaan menjadi sunnatullah. Jika ada yang menolak atau melarang perbedaan, bukankah ia menolak sesuatu pemberian dari-Nya?
Dua hari terakhir, kaum muda Kendari menggerakkan sebuah roda kata-kata. Ia menggelinding dari dunia nyata ke dunia maya. Dari medan sosial ke media sosial. Adalah Ari Ashari dan kawan-kawan menginisiasi sebuah seruan agar seniman diberi ruang gerak di Taman Budaya dan Museum Sultra. Hal ini bermula dari rencana “dilengserkannya” Rumah Pengetahuan, sebuah komunitas pimpinan Ari Ashari, dari rumah kebudayaan (Taman Budaya). Seruan tersebut, bergerak melintasi dan melewati batas personal, pembaca, dan geografi. Seruan tersebut membentuk biografi baru yakni biografi para seniman dan komunitas yang berdiri di atas kaki yang sama: soliditas dan solidaritas.
Sebagai sahabat dan sebagai seorang yang juga bergiat di sebuah komunitas kecil (Pustaka Kabanti Kendari) saya mendukung niatan itu. Tujuan saya adalah agar Taman Budaya atau Museum Sultra dan komunitas berdiri pada posisi yang sama yakni memartabatkan kebudayaan. Saya berharap agar pihak Taman Budaya Sultra dan komunitas dapat duduk bersama untuk menyandingkan gagasan. Saling memuliakan. Di ujung dari itu lahir sebuah festival kreatif bagi kebudayaan di Sulawesi Tenggara.
Demokrasi, komunitas, dan kota menjadi pilar peradaban.
[Sebuah Catatan Untuk PJ Gubernur Sulawesi Tenggara; Teguh Setyabudi]