Semakin senja batang usia saya, kecemasan di atas semakin mencekam dirasakan bahwa ‘kita memang sedang menyembah sejarah’, sedangkan Allah sebagai sesembahan yang sejati dengan segala titah-Nya telah lama diabaikan (hlm 58)
Coba tunjukkan kepada saya: bangsa Muslim mana yang sekarang dapat dijadikan contoh tentang tegaknya keadilan dan unggulnya moralitas? (hlm 115)
***
Buya itu mudah ditemui. Gampang diajak diskusi. Juga ringan untuk membantu. Berulang-ulang saya minta bantuan Buya untuk isi diskusi. Tak pernah berhasil karena sibuknya. Tapi saya suka karena kejujuranya. Ingin sekali datang tapi waktunya yang tak bisa.
Buya mirip anak muda. Kesal pada agama yang disalah gunakan. Kritiknya pada pemahaman literer keras dan berani. Rasa takutnya telah putus. Banyak kalangan menganggapnya liberal. Di tubuh Muhammadyah tak banyak yang setuju dengan sikapnya. Kokoh seperti monumen yang tak gampang dirobohkan. Tampak jelas pada kasus Ahok. Buya memilih berseberangan dengan mayoritas.
Melalui essai di Resonansi Buya mengangkat topik yang hangat. Diulas dengan bahasa populer yang memikat dan indah. Tanah Minang membentuk kosa kata yang puitis sekaligus lugas. Paling tidak buku ini mewakili keresahan Buya selama ini. Menyaksikan kehidupan ummat Islam yang miskin, tertinggal dan ditindas.
Bagi Buya sebab kerusakan itu adalah perpecahan. Ummat Islam terbelah dalam kotak-kotak sempit. Diantara mereka saling serang, kutuk dan caci maki. Terpampang situasi itu sejak Rasulullah wafat: perang pecah antara pendukung Ali dan Aisyah yang populer dengan sebutan perang Unta, disusul perang antara Mu’awiyyah bin Abu Sufyan dan Ali. Perang terakhir itulah yang melahirkan aliran Sunni, Syiah dan Khawarij.
Aliran itu membentuk identitas beku yang saling ingin mengusai. Tak jarang kesuksesan invasi Mongol hingga Eropa karena dimudahkan oleh perpecahan. Kini perpecahan itu bawa Islam dalam situasi yang berbahaya. Seperti dalam kasus Palestina dan Suriah. Kantong pertempuran tak mudah dilerai karena disulut oleh keyakinan buta.
Rasa kesal Buya tampak dalam tulisan yang bernada protes. Seolah tak pernah baca kitab suci dan tak mengerti maknanya. Umat Islam terlempar dalam situasi yang ironis: kurang menghargai sesama muslim, gampang dimanipulasi untuk kepentingan keji dan mudah diadu domba. Kondisi ini meluas kemana-mana terutama di Timur Tengah. Tak pernah reda konflik yang melanda tempat dimana Nabi berdakwah.
Bagi Buya situasi demikian disebabkan oleh ketidak-acuhan dalam memahami pesan Qur’an. Tercermin dari budaya baca yang rendah. Tampak dari korupsi serta kemewahan yang dilakukan oleh para penguasanya. Moral yang kumuh itu dapat diubah jika pemahaman atas kitab suci itu lurus kembali. Terutama pesan persaudaraan. Yang bisa meredam unsur benci dan sikap merasa benar sendiri.
Buya sedari awal gelisah dengan semangat beragama yang congkak. Itu sebabnya atheisme kini jadi pilihan di Timur Tengah. Bosan orang melihat agama yang diamalkan dengan keji. Capek menyaksikan orang beragama yang memanipulasi ayat suci. Hampir tulisan dalam buku ini mengungkap protes atas keberagamaan yang tidak menuju keadilan, kecerdasan dan sikap santun.
Mungkin karena kumpulan tulisan maka ada banyak tesis yang diulang-ulang. Lebih dari itu tesis Buya beraroma rasa kecewa yang selalu diatasi dengan nasehat moralistik. Kembali baca pesan indah kitab suci kemudian mengandaikan para penguasa sadar lalu bersatu dengan harapan ideal Tuhan. Disinilah gagasan Buya tak bawa tenaga baru: berusaha memahami soal dari sudut penyimpangan ajaran. Tesis yang juga diulang oleh kaum konservatif.
Mungkin soalnya bukan disana. Islam sudah membentuk blok kekuasaan yang tak mau terhempas dalam sampah sejarah. Pada atlas sosial yang kapitalistik kiranya Islam selalu berusaha untuk direbut legitimasinya. Pesaing keras ideologi ini adalah nasionalisme. Saat terorisme merebak kemudian Barat menuding itu bahaya maka disanalah ‘Islam’ sebagai proyek sosial mulai diperhitungkan. Sadar atau tidak memahami Islam hanya sebagai ajaran serta kandungan moral akan membuat kita disesatkan oleh realitas.
Dulu (almarhum) Kuntowijoyo secara jeli mengupas struktur sosial serta model pendekatan yang bisa membawa Islam dalam kemudi kemajuan. Istilah yang saat itu tenar adalah ilmu sosial profetik. Andai Buya melanjutkan jejak pemikiran pak Kunto maka kita akan menemukan metode yang segar dan realistis. Hanya memang inilah yang lemah dari kaum pemikir Islam: perjalanan gagasan selalu dengan cara merambah jalan baru tanpa percaya kalau itu sesungguhnya pernah dikupas.
Hanya buku ini jadi petanda kegelisahan. Pada diri seorang intelektual muslim ternama. Buya Syafii tak lagi murid Fazlur Rahman tapi dirinya telah diletakkan sebagai tokoh. Musti bicara dengan lantang, harus menyatakanya dengan keras dan jika perlu mengutuk yang tak benar. Sebab bagi Buya yang dihadapi bukan batang pohon yang masih tunas tapi pohon tua yang telah lama disembah-sembah.
Beruntung masih ada Buya yang mengingatkan kita semua. Buku yang patut dibaca dengan hati terbuka.