APA KABAR GERAKAN MAHASISWA?

 

[Eko Prasetyo]

Nyalangkan mata waktu berjalan karena di tengah jalan pasti akan bertemu dengan kesempatan. Adapun kesempatan itu sendiri buta. Peganglah dia kita-kuat. Karena datangnya tidak memberi tahu perginya pun tidak pula (Francis Bacon)

***

Saya belakangan ini sering bertanya apa yang terjadi setelah kejatuhan Soeharto. Kekuasaan otoriter yang digoyang begitu rupa oleh gerakan mahasiswa. Mirip istana kertas Soeharto seperti tak ada kekuatan: roboh kemudian diganti oleh penguasa baru. Terciptalah sistem politik liberal yang memberi kesempatan pada siapa saja. Barisan mahasiswa itu pulang ke kampus lalu menamatkan kuliahnya. Sejumlah kawan saya kemudian melabuhkan hidupnya dalam sistem politik yang baru: dipilih sebagai anggota dewan atau ditetapkan menjadi menteri. Kehidupanya berbeda dengan masa mahasiswa dulu: tak lagi hanya bermodal kepalan tangan tapi cukup dengan tanda tangan. Sebagian lain memilih menjadi pengajar di kampusnya yang dulu. Lainya seperti saya menjadi penulis dan penceramah lepas.

Saya kadang terkejut tiap ada undangan diskusi mahasiswa. Melompat pertanyaan mereka tentang apa yang telah kami lakukan dulu. Menggusur Soeharto tanpa mampu meruntuhkan watak politik yang dibangunya. Menjatuhkan Soeharto tanpa bisa memusnahkan keinginan politiknya yang bahaya; meringkus ideologi kiri hingga menindas mereka yang menolak pembangunan. Semua praktek itu masih muncul disana sini. Bahkan kian lama kebijakan yang muncul membuat kita kesal, emosi dan protes. Seperti pada kasus petani yang dikalahkan oleh industri atau rakyat yang dikriminalisasi karena protes atas kebijakan. Sepertinya kita hanya menjatuhkan boneka tanpa mampu menaklukkan panggung yang memproduksi boneka serupa. Soeharto memang mundur pada saat itu tapi kita tak menyangka kalau banyak pengikutnya yang menjelma jadi dirinya.

Berkaca pada pengalaman masa lalu saya kemudian mendatangi mahasiswa dari kampus mana saja. Di sana saya mendapatkan pengalaman berharga. Kampus yang dulu jadi kutub gerakan kini mulai mengubah peranan. Sistem perguruan tinggi bukan untuk mendidik menjadi sarjana tapi lebih persisnya adalah pekerja. Kian banyak kampus muncul untuk melatih anak-anak muda hidup tidak dengan bekal mimpi tapi kemampuan di bursa tenaga kerja. Bahkan inisiatif ini dimulai di kampus negeri yang dulu banyak melahirkan para aktivis yang bertindak berani. Kampus-kampus yang memuat mahasiswa dari berbagai wilayah itu mendesain managemenya begitu rupa: membuka kelas International hingga ciptakan sistem pembiayaan yang tinggi. Imbas dari kebijakan ini ada pada mahasiswa yang harus disiplin dalam hal apa saja; busana hingga biaya.

Kampus lalu terjatuh dalam sistem pendidikan mirip sekolah kejuruan pada umumnya. Menyuruh mahasiswa untuk tertib hingga mendorong mahasiswa untuk segera menyelesaikan waktu kuliahnya. Suasana kampus yang dulu meriah dengan diskusi kini diganti dengan pelatihan wirausaha. Kondisi kampus yang dulu padat protes kini dipadati pameran apa saja. Dari pameran senjata hingga bursa tenaga kerja. Udara kampus tak lagi dipenuhi dengan pikiran yang beragam tapi keyakinan yang seragam. Muncul jenis mahasiswa yang berbeda dengan pada masa saya: lebih pragmatis, realitis dan penuh perhitungan. Angkatan ini punya keunggulan yang luar biasa: mahir memberi tanggapan pada soal apa saja dengan tindakan yang sederhana. Bekal mereka bukan teori tapi kecakapan menggunakan tekhnologi. Cara merawat keyakinanya tidak diskusi tapi melalui jejaring sosial. Mereka menyebutnya sebagai angkatan millenial.

Angkatan yang dibesarkan oleh sistem neo liberal yang menghadiahkan kesenjangan. Secara menyolok itu tampak pada kesenjangan sosial yang terjadi diantara kampus besar. Hingga kini kelas menengah atas mengumpul di kampus negeri dan kampus swasta besar. Di lapisan tengah ke bawah memusat pada sejumlah kampus swasta. Sungguh suasana kampus yang hingar bingar ini membuat saya bertanya dimana sesungguhnya peran gerakan mahasiswa. Organisasi yang dulu pernah membawa saya berpetualang, punya mimpi dan tangga masa depan yang lebih baik. Organisasi yang masih memuja pada kata keadilan dan melakukan kritik keras pada modal serta kekuasaan. Mereka yang masih belajar tentang ideologi, taktik dan basis massa.

Saya memang berhasil menemukan mereka. Kecil, makin mengecil tetapi tetap berusaha bertahan. Mereka masih berusaha untuk mewarisi apa yang dulu saya jalani: pelatihan, diskusi dan aksi. Sebagian memutuskan untuk tetap melakukan kaderisasi dan yang lainya tetap aksi. Terkadang saya melihat mereka antusias tapi juga ada yang mulai cemas. Namun saya kagum paling tidak dengan daya tahan mereka untuk tetap mempengaruhi mahasiswa. Penyokong utama terpenting eksistensi mereka adalah para senior. Mereka yang kadang jadi rujukan tindakan. Hampir semua organ mahasiswa punya senior yang berkedudukan dimana-mana: pejabat, politisi hingga akademisi. Senior ini bisa beresiko menguntungkan tapi juga menyulitkan. Dapat menguntungkan ketika mereka jadi perisai dari upaya kampus untuk memberi sanksi tapi dapat menyulitkan kalau organ itu dikendalikan. Saya tak punya data memadai tentang peran senior tapi saya memaklumi keluhan organisasi mahasiswa atas perangai seniornya.

Saya juga melihat daya tahan mereka karena adanya dukungan. Tak hanya logistik tapi juga pilihan kebijakan. IMM kuat di kampus Muhammadiyah, PMII kuat di kampus UIN sedang HMI membesar di kampus Islam seperti UII. Ini hanya contoh karena banyak organ lain bertahan juga berpengaruh: LMND, FMN, GMNI atau PMKRI.  Lagi-lagi kebijakan ini karena peran senior yang mempertahankan pola kaderisasi dan jaringan organ mahasiswa. Tak ada yang mengancam dari pola ini kecuali pada aspek indepedensi dan kultur kebebasan. Dua aspek yang sekarang ini mengancam eksistensi gerakan dan membuatnya banyak ditinggalkan. Relasi yang tak setara akan membuat gerakan mahasiswa tak mudah mengambil posisi politik, terutama untuk soal yang melibatkan kader. Hubungan yang tak seimbang membuat gerakan jadi terjebak pada pilihan aktivitas apa yang bisa menjamin rasa aman. Yang saya katakan di awal kita berada di tengah generasi yang memang takut beresiko sekaligus punya keinginan untuk unggul dalam hal apa saja.

Situasi rawan itu yang membuat gerakan mahasiswa disandera oleh dua aspek. Pertama adalah sejarah gerakan yang menuntutnya untuk selalu bertindak heroik, kritis dan konfrontatif. Sejarah yang didengungkan berulang kali bahkan saya rekam dalam beberapa buku. Kepercayaan atas strategi itu terus jadi bahan debat yang tak bisa dipecahkan: kooperatif atau non kooperatif. Tetap jalankan pola lama atau beradaptasi dengan cara baru. Aspek berikutnya sebagai implikasi situasi itu adalah peran politik apa yang mau dimainkan: memasok kader-kader gerakan dalam lingkaran politik yang ada atau mendorong inisiatif politik baru yang didasarkan atas soal-soal yang ada. Saya tak bisa menjawabnya dengan mudah karena saya tak hidup dalam suasana zaman mereka. Saya hanya mencoba memancing diskusi untuk bisa diperdebatkan secara terbuka.

 

[Disampaikan dalam diskusi Menafsir Gerakan Mahasiswa Millenial, FH Unair, 22 Maret 2018]

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0