Ali Akbar Muhammad – [Cakrawala Mahasiswa Jogja]
***
Ini mungkin sebuah diskursus yang tidak banyak dibicarakan dalam beberapa dekade ini. Selain bagaimana tindakan yang pernah terjadi dibeberapa kasus yang melibatkan atau mengklaimkan istitusi yang bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Seperti kasus di Urut Sewu Kebumen. Bahwa telah terjadi konflik yang berlangsung lama antara petani dan kesatuan tentara tersebut. Yaitu tentang lahan, yang menurut warga adalah warisan turun temurun yang dipakai sebagai ladang pertanian. Tapi tentara juga mengklaim bahwa lahan tersebut adalah zona wilayah TNI untuk latihan tempur. Siapakah dan manakah yang benar disini?
Tapi terlepas dari bebrapa kasus itu, membicarakan institusi tentara ini hampir boleh dikata sangat jarang terjadi. Baik di kampus, di komunitas, maupun lain-lain. Tentara lebih banyak di bicarakan tentang kehebatannya dalam bertarung, bertempur ataupun pensiunan yang mencalonkan diri di pilkada atau pilpres. Tapi mendiskusikan asal usul tentara serta seperti apa awal mula kesatuan baju loreng ini dibentuk, hal tersebut nyaris sepi. Banyak hal mungkin jadi alasan. Bisa saja ada kekhawatiran kalau menyerempet sesuatu yang dianggap ‘negatif’ atau bahkan mungkin tidak menarik sama sekali.
Beberapa buku pernah mengulas tentang institusi ini. Baik yang dibuat oleh TNI sendiri maupun publik lainnya. Salah satunya Coen Pontoh; TNI Bukan Tentara Rakyat; 2002. Coen mengulas pada bukunya tentang sejarah awal terbentuknya tentara. Yang menurutnya diturunkan dari tiga embrio. Yaitu hasil didikan Belanda, hasil didikan Jepang dan Laskar Rakyat. Didikan Belanda inilah yang kita kenal sebagai KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger). Sementara didikan jepang kita kenal dengan PETA (Pembela Tanah Air). Tapi kemudian setelah Indonesia merdeka, dengan adanya rencana pembentukan kesatuan yang formal bagi suatu bangsa merdeka, beberapa konflik antar ‘para calon institusi militer’ ini terjadi. Bahkan tak ketinggalan Soekarno pun diintervensi bahkan ditodong oleh salah satu kesatuan. Tidak main-main, hal itu dilakukan dengan mengarahkan moncong tank di depan istana. Tapi karena Soekarno dan pengaruhnya masih kuat, maka hal tersebut bisa diselesaikan. Dan yang bertanggungjawab atas insiden tersebut berakhir sebagai jenderal sampah.
Sedari awal, pembentukan institusi militer resmi pasca kemerdekaan memang sudah terjadi polemik. Beberapa intrik politis mewarnai pembentukan seta persaingan untuk ‘siapa yang akan ditetapkan’. Dan situasi semakin panas tatkala kesatuan yang resmi justru tidak mengakomodir semua yang pernah terlibat. Laskar rakyat tersingkir. Tentu ini sangat membuat kekecewaan mendalam sekaligus kecemburuan sosial mengingat sebelumnya ketiga embrio ini pernah berjuang bersama, bergerilya bersama bahkan sama gigihnya. Lalu tibalah setelah institusi militer resmi ini ditetapkan, maka kesatuan bersenjata ini mendominasi. Pasukan bersenjata lainnya diluar institusi ini dianggap ancaman yang berbahaya dan harus segera dilakukan operasi pembersihan.
Memang selepas dari cengkraman kolonialisme, Indonesia langsung dihadapkan pada tantangan yang serius. Mulai dari persolan ekonomi, pollitik, sosial budaya, pendidikan dan juga keamanan. Untuk itu, dalam menyiapkan kemanan negara inilah, kemudian pemerintah membentuk yang namanya Badan Keamanan Rakyat (BKR). KNIL dan PETA lalu bersama-sama bergabung dalam BKR tersebut. Dan kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah Soekarno berkoordinasi dengan Amir Sarifudin.
Namun pasca terbentuknya TKR, rupanya para tentara bekas KNIL dan PETA masih merasa kurang puas. Mereka menganggap pemerintah masih ragu-ragu dalam pembentukan Tentara Nasional dan TKR belum dirasa seperti militer pada umumnya. Kemudian sampai pada akhirnya Soekarno mengeluarkan dekrit yang mengganti TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan kemudian bertransformasi lagi menjadi TNI.
Lalu kemana Laskar Rakyat? Bubar. Padahal Laskar Rakyat sejatinya adalah embrio militer yang lahir dari dalam rahim bangsa ini sendiri. Tapi pada kenyataannya, justru hasil didikan penjajah lah yang memuncaki institusi militer kita. Bahkan sampai pada warisannya masa kini. Maka tidak heran ketika berhasil berkuasa, tindakan yang mereka lakukan hampir serupa dengan yang pernah dilakukan penjajah sebelumnya.
Apalagi pasca runtuhnya kekuasaan orde lama dan terjadinya pembantaian jutaan rakyat Indonesia pasca ‘65, kekuasaan militer warisan KNIL dan PETA ini semakin menjadi-jadi. Bahkan militer mengakui sendiri tentang pembantaian sadis jutaan kader maupun simpatisan maupun yang dianggap terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebagian sejarahwan menganggap peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru ini sebagai kudeta militer. Mereka menganggap ini sebagai kudeta merangkak. Dan kudeta ini sebenarnya tidak hanya melibatkan institusi militer, tetapi juga sentimen anti Komunis lainnya seperti golongan Islam yang menganggap PKI sebagai dalang pembunuhan ulama-ulama.
Setelah orde baru berkuasa sepenuhnya,dibawah kepemimpinan Soeharto, militer semakin merasa diatas angin. Semua yang melakukan perlawanan ataupun bertentangan dengan kebijakan yang dikeluarkan sang presiden, diselesaikan dengan cara militer; ditangkap, diculik bahkan dibunuh. Soeharto menjadi diktator dengan dukungan militer. Dan Indonesia kemudian dipimpin secara otoriter, dengan tangan besi. Bahkan sampai 32 tahun lamanya.
Orde Baru yang berkuasa otoriter ini tak segan menganggap yang berlawanan sebagai pemberontak, penghianat, dan karena itu layak dimusnahkan. Semua hal kemudian diawasi. Bahkan berkumpul, bersuara dan melakukan aksi-aksi jalanan dianggap sesuatu yang berbahaya. Hal tersebut dianggap bisa menggerogoti kekuasaan. Dan memang pada akhirnya tidak hanya mengerogoti bahkan Orde Baru bisa di tumbangkan. Reformasi pecah. Meskipun banyak makan korban seperti hilangnya beberapa aktivis yang tidak pulang juga sampai hari ini.
Pasca Soeharto berkuasa, Indonesia lalu kemudian membuka pntu secara lebar untuk kepentingan asing. Terutama bagi para investor asing dibawah bendera neo kapital dan neo liberal; dua hal yang dilawan mati-mati-an oleh Soekarno. Soeharto membuka jalur bisnis kepentingannya Lewat UUPMA (Undang-Undang Penanaman Modal Asing). Dan kemudian semakin tahun Indonesia berubah menjadi negara yang kapitalistik sekaligus konsumtif. Indonesia kemudian dikuasai oleh Militer dan para Mafia Berkley. Hal ini bisa dilihat dalam buku Richard Robison ‘INDONESIA The Rise Of Capital’; 2008. Dimana Militer bahkan memonopoli serta mendominasi penguasaan kapital tersebut. Dan puncaknya tatkala Soeharto berkuasa. Miiter kemudian tidak hanya mengurus kepentingan pertahanan melainkan juga ikut berbisnis serta terlibat dalam ranah eksekutif dan sebagainya. Dan ini berlangsung selama 32 tahun lamanya sebelum akhirnya rakyat berhasil melawan benteng kekuasaannya; Militer.
Walaupun reformasi telah tercapai, namun aroma politik orde baru masih saja tampak. Lihat saja beberapa kasus seperti pelanggaran HAM dan sebagainya yang terjadi. Justru dari beberapa laporan mengindikasikan pelaku dibalik semua itu memperlihatkan keterlibatan institusi Militer. Jadi meski rezim Orde Baru sudah berganti, tetapi warisannya tetap berjalan. Apalagi sekarang, jargon-jargon tersebut memang sengaja dihidupkan kembali. Dengan menggoreng isu PKI, maka hal tersebut menjadi cara militer menggasak semua yang dianggapnya berseberangan dengan ‘penguasa yang dilindunginya’.
Seperti apa kalau institusi militer kita dari Laskar Rakyat? Wallahualam.