
Karakter yang baik berarti hidup dengan perilaku yang benar-perilaku yang benar terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri (Aristoteles)
***
Dua pria ini akur dan akrab. Seolah dilahirkan pada jam yang sama. Sepertinya selalu duduk sebangku. Jika keduanya tertawa jadi serupa. Kalau komentar tak banyak beda. Fadli Zon pintar dan Fahri cerdik. Kepintaran itu yang membawanya jadi pejabat tinggi. Duduk sebagai ketua dan berada di pos tertinggi partai Gerindra. Fahri berhasil raup suara terbanyak dan ketika PKS memecatnya ia gugat partainya sendiri. Uniknya Fahri menang dan partai kalah. Ini sejarah yang buat kita terperangah. Kader partai yang tak bisa dikeluarkan oleh partainya sendiri.
Bayangkan keduanya ketika bayi. Pasti lucu dan mempesona. Gemuk, putih dan gembira. Kalau ditimbang pasti petugas tak mudah membujuknya. Keduanya selalu bisa berkelit tapi juga bisa bercanda. Fahri dan Fadli akan jadi bayi yang bikin gemas siapa saja. Pipinya bisa jadi ingin dicubit karena lucu. Atau mungkin bibirnya ingin diusap karena pandai bicara. Saya kadang bayangkan saat mereka belajar ngomong. Fahri tak mungkin mengucap KPK dan Fadli pasti tak bilang Gerindra. Dua organisasi yang belum muncul pada saat mereka bayi. Mungkin kita perlu bertanya pada mereka apa yang dikatakan pertama kalinya.
Kalau di masa SD bisa jadi berdua mereka belajar hal yang sama. Fadli Zon akan baca buku membaca tentang Budi. Fahri bisa jadi hapal tentang kegiatan bapak Budi. Ibu Budi memasak dan bapak Budi baca koran. Saya rasa keduanya pasti bosan dan jemu. Mungkin protes karena pelajaran bahasa jadi kayak petuah tentang keluarga. Malah bisa saja keduanya rajin karena itulah yang diyakini oleh bapak-ibu gurunya. Tapi saya rasa keduanya akan tinggal di kelas dengan muka seperti pada umumnya. Kadang senang, gembira tapi juga jengkel. Coba tanya foto ketika mereka dapat ijazah pertama kalinya. Pasti tampan, lucu dan lugu.
Mari kita mencoba berandai-andai saat mereka SMP. Fahri mungkin pernah kelahi. Tapi Fadli bisa jadi pernah dapat juara. Keduanya belajar ketika Soeharto kurang ajar; memenjarakan tapol dan napol, menembak misterius para bandit dan menggusur banyak tanah warga. Saya tak yakin mereka demo soal-soal itu. Bukan hanya itu belum berada dalam jangkauan pikiranya. Tapi bisa jadi karena itulah yang pantas dilakukan anak SMP pada umumnya. Belajar menulis surat cinta, rajin jika waktu sekolah tiba dan duduk mendengarkan guru bicara. Pasti kadang bolos tapi juga bisa pula kelahi. Fahri mulai berani angkat bicara dan Fadli pasti sudah bakat jadi ketua. Saya tak yakin siapa diantara keduanya jadi ketua OSIS atau pimpinan Pramuka.
Fadli dan Fahri tiba pada masa SMA. Kurasa itu saat bersamaan Dilan jatuh cinta. Keduanya pasti punya kekasih pertama. Hanya saya tak yakin bisa semahir Dilan saat bicara: Rindu itu berat maka mari kita tanggung bersama. Cinta itu bukan berbalas rayuan tapi janji untuk selalu berdua. Mungkin keduanya bisa cerita bagaimana mereka jatuh cinta, mengungkap rasa rindu dan menuliskan syair tentang purnama. Kalau saja mereka romantis pasti di masa dewasa tumbuh bait puisi dan kata jenaka. Dilan walau ikut gank motor tapi masih bisa menyihir jutaan anak muda. Dan Fahri dan Fadli tak kalah hebatnya: memenangkan suara untuk duduk sebagai wakil rakyat kita.
Sayang masa bocah tak lama. Berdua mereka memang tetap bersama. Tapi tak bisa lagi seperti dulu kala: tiap digoda akan tertawa, kalau disindir akan balas menyindir dan tersinggung hanya sementara. Mungkin sesekali Fahri dan Fadli perlu tengok foto mereka ketika masih bayi: lucu, menggemaskan dan pasti tak ada polisi di sebelahnya. Ini hanya bercanda dan berandai-andai saja.