Diogenes berkata: “Apa kelebihan hikmah daripada hakim? Dia menjawab, “Hakim memberi keputusan bagi manusia, sedangkan hikmah memberikan keputusan bagi hakim. Jadi, hikmah lebih agung dan lebih mulia”.
***
Laki-laki tua renta itu ditahan lama. Kini jadi tahanan di kawasan Gunung Sindur. Setelah mendekam lama di Nusa Kambangan. Tahanan yang super ketat dengan fasilitas keamanan maksimum. Sel ini ada aturan tak boleh dijenguk siapapun kecuali keluarga dan pengacara. Dikelilingi CCTV ruangan selnya terus dipantau. Katanya pernah agak lama di kamar mandi dan petugas LP langsung mengetuk pintu untuk mencari tahu kakek ini sedang merencanakan apa. Musuh utamanya bukan aturan tapi kejenuhan. Dilarang menulis dan sulit untuk berkomunikasi dengan siapapun. Dulu ada aturan kalau petugas atau tahanan lain jangan sampai bicara lebih 10 menit denganya. Dikuatirkan dipengaruhi atau diyakini akan jadi muridnya. Abu Bakar Baasyir seperti sosok yang berada dalam situasi yang ironi. Jadi musuh rezim manapun dan penguasa siapapun.
Di masa Orba dirinya tak cocok dengan azaz tunggal. Soeharto berang dan memburunya. Diadili, dijatuhi hukuman kemudian pergi ke Malaysia. Disana ia mengajar. Sikapnya soal Islam tak beringsut sama sekali: Islam sebaiknya jadi dasar bernegara. Terhadap pemerintah dirinya tak berubah: oposisi permanen. Ketika Soeharto terjungkal tak lama kemudian Abu Bakar Baasyir kembali. Didorong menjadi satu pimpinan ormas Islam yang menuntut pemberlakuan syariah. Sosoknya tak ada yang menandingi. Terutama di tubuh gerakan Islam Politik dirinya seperti paku. Tak mau ikut dalam gelombang pendirian partai dan tetap percaya dengan gerakan luar parlemen. Sikap non kooperatif itu konsisten dengan gaya hidupnya. Sederhana dan kemana-mana beri pidato. Tak pernah menolak diundang untuk memberi ceramah. Kritik dan solusi Islam jadi bahan ceramahnya. Hingga terorisme meledak dan dirinya jadi tersangka.
Di penjara karena terlibat dalam bom bali. Meski sejumlah pelaku katakan dirinya tak terlibat. Sempat bebas tapi dimasukkan lagi soal latihan perang di Aceh. Ringkasnya Abu Bakar Baasyir tak pernah lama ada di luar. Separo hidupnya dihabiskan dalam tahanan. Pada usia 80 tahun pandanganya tak berubah. Rezim juga melihatnya masih sebagai ancaman. Kadang saya menjenguknya dengan beberapa kawan mahasiswa. Terutama sejak di Nusa Kambangan. Kami agak berbeda dibanding pembesuk lainya. Dari sisi pakaian kebanyakan teman-teman pakai kaos, topi dan punya banyak beda pandangan. Tapi Abu Bakar Baasyir tak pernah menyoal itu semua. Diskusi kami selalu dimulai dengan kegelisahanya pada situasi sosial. Yang dianggapnya kian jauh dari harapan. Kehidupan penjara membawa banyak bukti bagaimana hukum itu ditegakkan. Kritiknya lantang tak hanya karena keyakinan tapi keadaan menuntutnya untuk bersikap lugas.
Tapi tak semua berisi ceramah. Kadang kami ditanya kabar. Sesekali cerita dirinya di masa kecil. Hidup di Jombang yang sejuk dan indah. Juga kerapkali bertanya tentang kuliah kami. Tak jarang ingin dapat cerita mengenai buku yang kami baca. Kami kadang tanya juga soal madu. Sesekali kami bawa makanan yang disukainya. Abu Bakar Baasyir cerita pula tentang kondisi badanya. Terutama ketika pindah bolak balik penjara. Juga cerita tentang tamu yang membesuknya. Kami menganggap dirinya juga kakek yang ingin dapat kisah dan punya banyak topik. Tapi satu hal yang saya kenang: ia merasa suka jika dibesuk. Mungkin itulah kenikmatan di penjara: dibesuk dan bicara tentang apa yang dialami.
Tapi Abu Bakar Baasyir di stigma jadi sosok bahaya. Negara musti mengurungnya. Digolongkan sebagai ideolog. Itu sebabnya perlakuan untuknya selalu berbeda. Lebih ketat, lebih dikontrol dan lebih diwaspadai. Meski itu tak menyurutkan dirinya untuk menulis. Buku-buku yang dilahirkanya selama di penjara tergolong banyak. Terutama saat di NK. Beredar diantara pengikut dan berisi kritik terutama pada penguasa. Tak pernah mau kompromi karena menganggap keyakinanya sudah benar. Pernah ajukan Peninjauan Kembali (PK) tapi tampaknya hasilnya bisa ditebak. Dirinya terlanjur dianggap bahaya dan semua yang berhubungan denganya jadi sasaran pantauan. Saya pernah alami: gara-gara kerap besuk dikeluarkan dari pekerjaan. Dunianya seperti dikelilingi api: siapa yang berhubungan dengannya akan terbakar.
Tiba-tiba kini ada kabar mengejutkan. Abu Bakar Baasyir akan dipindah dari tahanan. Keluarga menuntut untuk jadi tahanan rumah. Seperti tokoh oposan Orde Baru. Tapi pemerintah ada keinginan memindah tetap di LP. Hanya letaknya lebih dekat dengan keluarga, bisa Sragen atau Klaten. Gempar terjadi dimana-mana. Bisakah sosok yang sudah tua ini tetap dianggap berbahaya. Ditimbang dari prinsip apa saja tampaknya pemerintah belum bisa memberi jawaban memuaskan. Hanya berlindung di balik hukuman yang sudah ditetapkan maka Abu Bakar Baasyir tetap harus mendekam di LP. Lembaga Pembinaan yang memang punya fungsi bukan sekedar menghukum tapi memberikan perlakuan yang layak, manusiawi dan tetap bermartabat. Terlebih pertimbangan usia dan kesehatan. Abu Bakar Baasyir belakangan musti bolak balik RS untuk periksa kesehatan: tubuhnya kian ringkih dan penjara bukan tempat perawatan terbaik. Ditimbang dari sisi ini maka hukuman penjara untuk sosok yang renta ini menimbulkan banyak pertanyaan.
Abu Bakar Baasyir memang sosok yang tak mudah tunduk. Keyakinanya sederhana: Islam sebaiknya jadi panduan dalam hidup bernegara. Dianggap keyakinan itu bahaya maka tubuhnya di penjara. Tak ada kekayaan yang dimilikinya. Jauh dari pimpinan Ormas Islam yang mapan dan makmur. Ia sendiri, sepi dan kukuh dalam keyakinan. Kini waktunya pemerintah memperlakukan sosok tua ini dengan lebih terhormat. Saat dihukum, diisolasi hingga dipindah tahanan kesana kemari: Ia tak pernah meributkan itu semua. Keluarganya hanya meminta pindahkan dirinya ke rumah. Musti untuk itu rumah dijaga ketat. Tapi sejenak beri kesempatan dirinya menjadi kakek seperti pada umumnya: bercanda dengan cucu, ditemani anak dan dirawat oleh istri. Sebuah harapan normal yang pasti mudah untuk memenuhinya. Pemerintah saatnya beri tauladan bahwa kebijakan yang dilahirkan dengan iktikad kemanusiaan akan selalu bisa mengalahkan kekerasan yang dibakar oleh keyakinan. Kesempatanya hanya sekali dan saat ini.
[Eko Prasetyo]