Melki AS – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Gondrong itu pilihan. Ia tidak halal dan tidak juga haram. Juga toh ia tidak merusak paru-paru atau ginjal manusia. Bahkan untuk negeri kapitalis konsumtif macam kita ini, seharusnya gondrong itu menguntungkan.
Dengan gondrong, penjualan produk-produk perawatan rambut akan meningkat. Gondrong juga menyebabkan penjual kuncir atau sekedar aksesoris rambut juga bisa kena imbasnya. So, apa ruginya dengan rambut gondrong?
Sampai disini dulu basa basi tidak perlunya.
Dasar, memang benar-benar bangsat gondrong ini. Sudah berkelebihan, menguntungkan pula. Mungkin pelaku kapital akan bergumam seperti itu. Hehe…
Gondrong adalah budaya anak muda yang trendinya selalu stabil di setiap zaman; orde lama, orde baru, reformasi bahkan sampai hari ini.
Trus mengapa hari ini kita harus anti dengan rambut gondrong? Pake tidak boleh berurusan administratif segala. Bahkan tidak boleh ikut KKN seperti yang diceritakan beberapa anak mahasiswa. Hanya karena jembutnya rambutnya panjang.
Sesuatu yang absurd dan diluar intelektualitas bagi kampus yang melarang anak mudanya berekspresi dengan bawaan lahiriahnya.
Bayangkan, kalau secara lahiriah saja dibatas-batasi, bagaimana dengan sesuatu yang dibentuk diluar lahiriahnya. Pasti akan dilarang, dilarang dan dilarang.
Disini kadang saya merasa sedih. Ternyata gondrong itu berat. Kalau kamu tidak mampu, biarlah aku saja.
Adanya wacana dilarang gondrong ini tentu membuat mahasiswa meradang. Tak ketinggalan bagi kaum gondrongers yang selama ini memang sudah berdiam di kampus.
Dan kalau wacana pelarangan gondrong ini sampai diterapkan ke beberapa kampus, sangat besar kemungkinan revolusi akan pecah. Gondrong bersatu tak bisa dikalahkan.
Bisa bayangkan kemudian bila gondrongers seluruh Indonesia bersatu, kampus pasti kalang kabut. Dan tentunya terlalu banyak kerugian yang akan diderita secara sosial dan material.
Secara sosial kampus akan ditinggalkan oleh orang yang nyeleneh dan kadang tak masuk akal. Padahal itu syarat berkemajuan dan progresif.
Secara material, kantin-kantin yang ada di kampus kini akan sepi peminat yang betah ngopi berlama-lama hanya untuk merancang ‘aksi busuk’ menggulingkan rezim. Termasuk menggulingkan kekuasaan pak rektor.
Yang diuntungkan dengan wacana gondrong ini cuma segelintir saja. Yaitu Marjin Kiri karena nerbitin buku ‘Dilarang Gondrong’, dan Aria Wiratma sebagai penulis bukunya. Selebihnya, no. Hahaha…
Seandainya saja kampus mau membaca buku tersebut, mungkin saja wacana gondrong akan berbeda. Atau bisa jadi kampus akan sangat menganjurkan bagi mahasiswanya untuk gondrong.
Karena jelas-jelas gondrong bukan tinjauan akademik yang mempengaruhi intelektualitas. Coba tanyakan, apakah ada orang goblok karena gondrong. Atau orang miskin karena gondrong. Tidak ada itu. Gondrong itu fesyen. Gondrong itu hippies. Dan kampus adalah pusatnya fesyen karena muara bertemunya anak muda dari seluruh penjuru.
Disini saya tidak sepakat kalau ada yang membawa-bawa nama pesohor untuk melegitimasi hal tersebut. Itu hanya dilakukan oleh ‘mereka’ yang menetek rente pada korporasi.
Tapi ya kampus mana yang pejabatnya suka baca buku. Alih-alih membaca, mereka lebih suka hidup dengan aturan yang dasarnya tidak akademis sama sekali. Seperti melarang gondrong bagi mahasiswa dan sebagainya. Termasuk membatasi ruang gerak dan waktu berdiskusi yang hanya boleh sampai jam 9 malam.
Dan memang sungguh keterlaluan bagi kampus yang melarang mahasiswanya gondrong. Kampus yang masih saja melarang anak mudanya gondrong, itu artinya tidak pernah membaca zaman. Mereka selalu hidup pada khayalan dan mitos yang dihidupkan orde tua bahwa gondrong itu tidak benar. Gondrong itu negatif.
Kampus yang alergi gondrong juga bisa dipastikan kurang basis pengetahuan serta kurang pengalaman. Karena selalu dihantui oleh kekhawatiran akan kriminal dan sebagainya. Padahal melarang gondrong itu sendiri adalah kriminal. Karena tidak ada dasarnya sama sekali. Konteks ilmiahnya tidak ada.
Rektor bisa dituntut ke polisi kalau seperti itu. Bisa kena pasal pencemaran nama baik, perbuatan yang tidak menyenangkan dan penghasutan publik yang tidak berdasar pada para gondrongers.
Dan kalau terus-terusan gondrong itu dilarang di kampus, maka ucapkan selamat tinggal pada mereka yang menganut aliran musik cadas macam Hallowen atau Dream Theater. Termasuk rock n roll seperti Beatles dan Rolling Stones. Apalagi kalau harus dipaksakan pula memakai sepatu pantofel dan celana kain serta atasan kemeja.
Tapi mencarikan solusi atas timbulnya wacana anti gondrong di kampus seperti sekarang ini sangat diperlukan. Biar keduabelah pihak sama-sama mencapai klimaks dan terpuaskan. Kampus tetap bisa memberlakukan kebijakannya dan mahasiswa juga masih bisa bergondrong ria.
Apa itu? iaitu Gondrong Syariah. Itu solusi yang paling aman.
Jadi para mahasiswa bisa menempelkan poster atau fotocopian serupa di dinding-dinding kampus atau kaca-kaca di depan pelayanan administratif dengan menuliskan bahwa ‘Kami Gondrong Syariah’, bersebelahan dengan poster atau spanduk pelarangan gondrong dari kampus. Saya hakul yakin itu berhasil. Apa sih yang tidak berhasil kalau ada cap syariah nya hari ini. Hehe…
Bahkan bukan tidak mungkin kampus pun setelah melihat hal terebut, mereka akan merubah aturannya menjadi ‘Yang Dilarang Itu Gondrong Saja. Kalau Gondrong Syariah, Itu Boleh’.
Hidup Mahasiswa Gondrong !
Hidup Perempuan Melawan Yang Mencintai Pria Gondrong !