–Buat Gus Roy & Romel–
***
Saya jadi penulis karena membaca tulisanya. Konyol, jenaka tapi luar biasa. Tiap pekan muncul di Kompas. Kadang terbit di mingguan Tempo. Sering pula di Panji Masyarakat. Ketika itu saya masih SD. Rasanya saya diajak tertawa. Bersamanya saya jadi pintar. Melalui tulisanya saya terpukau. Bisa-bisanya ia cerita tentang partai dengan cara tak senonoh: memang betul parpol itu produk sosial, bukanya produk setan. Ia buat saya memahami tulisan serupa pekarangan. Untuk bermain tapi juga dapat menjerat.
Entah makan apa pak Mahbub ini. Tulisanya bisa buat kita tersesat dalam diksi yang bawa gembira. Coba baca kisahnya tentang modernisasi pesantren. Pak menteri agama ingin pesantren berproduksi. Maka diantarkan banyak hewan ternak ke pesantren. Pak Mahbub heran kenapa pesantren yang jadi eksperimen? Tapi katanya, sepanjang menyangkut pesantren, orang harus banyak memahami. Tulisnya lagi: mengajak pesantren tercebur ke dalam soal-soal duniawi tidaklah sesusah yang diduga orang. Jadi kebijakan itu gampang tapi resikonya panjang. Pesantren mulai butuh bibit ayam, perlu sediakan banyak ayam dan urus penyakit ayam. Modernisasi yang malah buat celaka!
Tapi istimewanya pak Mahbub semua soal dituangkan dengan santai. Ia seperti bukan menulis tapi bercengkrama. Kolomnya bukan jenis GM yang liris, indah dan gamang. Tapi lebih serupa dengan puisi Wiji: keras, renyah dan mengiris-iris. Bacalah kolomnya sambil apa saja: makan, main bola atau pegang HP. Kita tetap saja merasakan nada gembira. Misalnya cerita soal aliran kepercayaan. Ia tak menghakimi tapi mengajak kita empati. Bukan salah atau benar tapi coba kalau kita jadi pengikutnya. Ini gaya tulisan orang NU yang tak bisa diwarisi.
Kadang malah mengharukan. Tulisanya tentang Haji bisa membuat kita teteskan air mata. Ibadah itu diperjuangkan oleh tiga pribadi bersahaja: Pak Syamsir, KH Adnan dan Saleh Suaidy. Ketiganya berangkat ke tanah suci dengan modal sendiri. Lobby pemerintah Arab agar akui kedaulatan. Hingga akhirnya merah putih ada di Arafah. Diplomasi berkembang dan Haji diurus oleh pemerintah. Pesan pada jamaah haji agar setia pada kedaulatan, benci pada imperialisme dan tekankan ideologi pemerataan. Ini tulisan yang meyentuh, atraktif dan gila!
Kira-kira apa yang membentuk pak Mahbub seperti ini? Saya tak tahu jawabanya. Bisanya paling menduga. Mungkin karena hidup di NU yang lebih berwarna dan dibiarkan bicara apa saja. Atau bisa jadi karena pergaulanya yang kaya. Berteman dengan seniman, pejabat hingga rakyat jelata. Sehingga semua pengalamanya bercampur baur. Atau ini memang bakat jika merujuk pada riwayat hidupnya. Sejak SMP sudah menulis dan menyukai sastra Rusia. Hobby yang aneh untuk saat ini tapi itu pupuk yang bagus untuk modal menulis apa saja.
Istimewanya pak Mahbub pecinta Pramoedya. Pada saat itu dan di saat pengarang ini dikutuk oleh Orba. Tak sungkan dinamai cucunya dengan nama Pramudya. Tapi pak Mahbub juga melalui koran Duta Masyarakat membela habis-habisan Hamka yang karyanya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dituding orang sebagai plagiat. Mungkin itu sebabnya ia orang NU yang kontroversial: menolak dipanggil Gus padahal patut dan pantas. Orang tua dan mertuanya adalah kyai besar: KH Muhammad Djunaidi dan mertuanya KH Asymawi.
PMII berhutang banyak padanya. Lirik mars PMII yang menyusun adalah pak Mahbub. Begitu pula lirik lagu GP Anshor. Jujur ini manusia besar yang punya bakat raksasa. Tulisanya tentang pembelaan rakyat kecil unik dan mengejutkan. Tulisnya: ..di negeri ini…di mana orang boleh sekaya-kayanya hingga perut kembung dan muntah kelebihan isi, dan di mana orang dipersilakan berkeadaan fakir sefakir fakirnya dan sejelata-jelatanya sehingga harapan sebagai harta benda terakhir dari orang paling miskin pun tidak dipunyainya lagi.
Bayangkan tulisan sangar seperti ini pada masa Soeharto berkuasa. Memasuki tahun 1978 pak Mahbub ditangkap. Tak jelas tuduhanya. Tapi sejak itu kondisi kesehatanya memburuk. Berbaring di RS dalam posisi sebagai tahanan; dirinya tetap gagah dan bisa menulis dengan hangat. Kini para pewarisnya baik di NU, PMII atau GP Anshor layak untuk bertanya: budi pekerti seperti apakah yang membuat pak Mahbub di alam sana akan bangga pada organisasi yang dirinya pernah berkurban begitu rupa? Tindakan seperti apa yang bisa dikatakan melanjutkan perjuangnya dan mewujudkan mimpinya? Pertanyaan yang tak bisa saya jawab karena saya-kebetulan- bukan orang NU!